Era Globalisasi membawa bangsa kepada sebuah panggung, dimana wajah bangsa ini dapat dilihat oleh mata dunia. Pilihannya sederhana, merawatnya? Atau merusaknya?
Keramahan, sopan santun, etika, baik dalam tutur dan bersikap, merupakan kebanggan bangsa Indonesia. Mayoritas negara dunia mengakuinya, hal ini semakin menasbihkan Indonesia sebagai “the smile country”, bahkan para turis menempatkan senyum sebagai syarat utama untuk mengunjungi Indonesia, “kalo belum bisa senyum, jangan berharap anda dapat berlibur di Indonesia” ujar Ricardo, turis itali kepada teman-temanya.
Namun bagaimana jadinya apabila senyum itu keluar dari wajah yang rusak? Atau bahkan wajah yang rusak membuat seseorang sangat sulit untuk tersenyum, masihkah esensi senyum itu sama dengan esensi senyum di beberapa tahun yang lalu?
Kerukunan adalah istilah yang dipenuhi oleh muatan makna “baik” dan “damai”. Intinya, hidup bersama dalam masyarakat dengan “kesatuan hati” dan “bersepakat” untuk tidak menciptakan perselisihan dan pertengkaran (Depdikbud, 1985:850) Bila pemaknaan tersebut dijadikan pegangan, maka “kerukunan” adalah sesuatu yang ideal dan didambakan oleh masyarakat manusia.
Manusia ditakdirkan Tuhan Sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual.
Ajaran setiap agama pastinya mengajakan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat beragama haruslah dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan juga agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H