Mohon tunggu...
Abdul Razak M.H. Pulo
Abdul Razak M.H. Pulo Mohon Tunggu... -

Seorang dokter, kini bertugas di Bener Meriah, Prov. Aceh. Akan menjalani Residen Ilmu Penyakit Dalam di FK Unsri Palembang Juli 2011. Mantan Pengurus Forum Lingkar Pena Aceh, Alumni Sekolah Menulis Do Karim. Anggota Forum Penulis Aceh DIWANA.Cerpen dan Puisi dimuat media lokal dan nasional.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Di Kota Pagar Alam

7 Oktober 2010   17:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:38 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Kota Pagar Alam

aha!

sebuah perjalanan yang panjang

serupa dari Banda Aceh ke Takengon

untuk menjenguk Danau Laut tawar

lamanya sekira enam jam

lika-likunya jalan juga hampir tak beda

terjal menjurang

licin mengguncang, rusak ada juga di beberapa sisinya

tentu saja, seperti jalan-jalan lainnya di Indonesia Raya ini

duren dipajang, juga duku, manggis serta rambutan

hmm.. durennya lemak menusuk tulang

tapi juga bikin perut kejang

beda-beda tipis duren Sawang

dukunya manis menendang lidah

rambutannya tak seenak Binjai punya

tapi habis tertelan juga saat dikunyah

dan perjalanan ini tetap sangat menggairahkan

ah, jadi teringat Puncak dan Bener Meriah

hawanya lumayan dingin, tak bikin gerah

perjalanan melewati Prabumulih

kemudian Muara Enim,

lalu Lahat, bukan liang lahat lho, hehehe..

dari Lahat mendaki ke Pagar Alam:

adalah sebuah kota yang dihampar kebun teh

kebun tehnya luas (mungkin) beratus-ratus ribu hektar

hijau berbaris seluas mata memandang,

kebun ini milik PTPN-VII, milik nusantara

yang kabarnya warisan Belanda, yang sudah ditanam

sejak tahun 1930. Dan aku membayangkan,

bahwa waktu itu masih dijajah Belanda,

aku membayangkan seberapa banyak pekerja rodi

yang dipakai Kampeni,

untuk menanam (mungkin) ratusan juta bibit teh ini

dan penduduk Pagar Alam saat ini, apakah merasa terjajah juga?

aku tak sempat bertanya pada mereka.

begitulan nuansa yang ditawarkan

apalagi saat berada di “pucuk”

eh, pucuk itu “puncak” bahasa Palembang

bukan “Pucuk” di Jambi yang sarang lokalisasi

nah, dua malam kami menjuntai di dalam kebun teh

di sebuah cottage yang megah

wah, takkan terlupakan

kota Pagar Alam, yang dijuluki Kotanya Para Jendral

benar-benar memagar-kuncikan

jiwa kita di sini, dengan aroma teh dan kopi Dempo

dan aroma ikan bakar di sebuah resto di atas kolam

selamat malam Pagar Alam,

suatu hari kami akan kembali menjengukmu

berbaik-baiklah dengan pendudukmu

wahai kota yang syahdu

Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, 1 Januari 2010

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun