Saat kau terbaring lemah di ranjang ini, aku mendoakan kau dalam sepiku. Senyap aku seperti ditelan gurita. Rasa resahku memuncak dalam setiap tarikan napas, yang berat dalam kabut, disesaki asap asap tembakau. Saat kau terbaring lemah, aku memutar otak, menyelinap lewat jendela mana aku bisa menjengukmu. Mengintai pergerakanmu dalam sunyiku yang teramat senyap. Sayup sayup terdengar gema dibawa angin utara, bahwa kau sudah terbang ke barat di sebuah pagi rona berwajah sendu di antara puing-puing asa tertinggal. Sebuah pelajaran tentang kasih sayang dan pesona hidup berenda indah di setiap bed cover yang diganti setiap hari pada ranjang batin yang dililit desah sebuah harapan. Saat kau terbaring lemah di ranjang ini, gelisahku berkalang waktu. Mungkin kau mengira aku seorang lelaki aneh. Seolah tak peduli sebuah perjuangan antara hidup dan mati. Sungguh dalam sepiku, di setiap denting waktu, aku mendoakanmu. Sebuah perjalanan sunyi mengasah batin untuk menjemput segala hikmah di tiap-tiap kejadian hidup yang paling mendebarkan. Kau bersembunyi di balik buku bukuku, film-film yang memutar waktu. Keluarlah sebagai seorang tokoh utama cerita wahai secarik rembulan perak berwajah menawan Bireuen, 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H