Alir sungai kian dangkal seiring dangkalnya hati penghuni negeri. Buaya buaya kian mengganas, merampas segala kuasa di pesisir sungai, di negeri yang mulai kelam diamuk panas gelombang daun kering yang menyapu kampung kampung. Akar kayu tak sanggup lagi menampung airmata langit. Menyusup hingga ke relung tubuh yang resah menuai panas gelombang daun serpihan napas. Mantra buaya ada di hatimu. O, turun, turunlah ke sungai ini, hiruplah napas buaya, menari bersamanya dalam air tawar kian dangkal, melumpur digempur dalam gelut kemarau merajalela. Desau napas dalam air liar yang muncrat sembur tepi sungai. Batu batu membeku. Menyempit hingga ke hulu. Menyebar hingga lumpuri seluruh tubuh hangatmu. Ditingkahi wangi cedar di sepanjang alir sungai. Mantra buaya ada di jiwamu. O, terjun, terjunlah ke sungai ini, temukan harta karun di dasarnya. Angkut ke permukaan, lalu selam lagi, angkut lagi. Maka engkau akan merasakan betapa nikmatnya warisan leluhur, yang masih terikat erat dalam untaian gen kita, gen alam kita. Mantra buaya ada di tulangmu. O, selam, selamlah ke sungai ini. Aduklah kayuh hingga ke dasarnya, maka harta karun terpendam akan muncrat keluar, dalam napasmu tertahan: takjub! Kendalikan napasmu, lalu gerakkan tubuhmu ikuti aliran air, raihlah kemenangan, hingga kau sampai di hulu. Maka naikilah bukit itu, berteduh di sana hingga fajar tiba. Pasang kupingmu lekat lekat, bila nyanyian ayam cemani mulai terdengar, kau mesti segera minggat. Bireuen, 2010 Sumber: www.savagewilderness.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H