ESTAFET GENETIKA SI MATA BIRU
NURJANAH, seorang gadis kecil berambut blonde, mata kebiruan, kulit putih pucat malu-malu bergelayutan di pundak ibunya di pintu sebuah rumah panggung, yang tampaknya sudah puluhan tahun dindingnya diterpa cuaca Lamno nan eksotis. Nurjanah adalah sebuah bukti sebagai kelanjutan genetis naturalisasi bangsa Portugis yang “terjebak” tinggal di Lamno ratusan tahun silam. Ia tinggal di desa Leupee, tak jauh dari rumah sewa kami yang disewa oleh organisasi tempat kami bekerja, Medecines Sans Frontieres – Belgium (MSF-B).
Berbicara masalah si Mata Biru di Aceh, tanpa dipaksa pikiran ini langsung tertuju kepada Lamno, sebuah kota kecamatan di Aceh Jaya. Dimana penduduknya sebagian besar adalah petani dan nelayan. Kota pesisir ini sungguh eksotis dengan kesuburan alamnya yang menawan. Sebuah sungai, namanya Sungai Bak Paoh mengalir membelah Lamno. Alirnya jernih hijau kebiruan, seolah mengatakan bahwa di tanahnya mengalir darah kaum bermata biru (kehijauan). Penduduknya berjumlah belasan ribu. Mereka menggunakan bahasa Aceh dengan dialek sedikit berbeda dengan etnis Aceh di pesisir utara.
Berbicara tentang Lamno akan segera mengingatkan kita kepada Po Teumeureuhom yang merupakan simbol adat Aceh. Beliau dimakamkan di sebuah bukit di tepi pantai Kuala Daya. Makam itu sering sekali diziarahi oleh penduduk lokal maupun wisatawan lokal dan mancanegara. Di sebuah bukit yang menantang langsung dengan samudra Hindia.
Lamno, juga mengingatkan kita bahwa betapa dahsyatnya daerah ini dihempas tsunami. Dua pertiga wilayahnya luluh lantak dan hampir separuh penduduknya menjadi korban keganasan tsunami, termasuk para turunan mata biru yang sebagian besarnya mendiami pesisir pantai khususnya di Desa Kuala Daya. Si mata biru hampir-hampir punah dari Bumi Lamno.
Tsunami pula yang membawa saya ke sini. Lima hari setelah tsunami saya dibawa dengan helikopter ke daerah ini, saya bergabung dengan MSF-B sebagai medical assistant. Saya mengerjakan segala hal bersama teman-teman relewan dari berbagai negara dan berbagai daerah di Indonesia. Posko kami adalah di sebuah SMP dan Puskesmas. Selain itu, kami juga menjalankan mobile clinic ke tempat-tempat cluster pengungsi.
Di daerah ini hati saya terpaut untuk ikut turut serta melanjutkan estafet genetika si mata biru. Saya “memburu” gadis mata biru yang masih tersisa dengan agak terburu, jangan sampai keburu “digaet” oleh teman-teman baru saya. :)
Bersambung.....
Oleh: Abdul Razak M.H. Pulo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H