Mohon tunggu...
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Anggota Jurnalis Media Pelajar Forum OSIS Jawa Barat

Hanya bocah SMA yang bermimpi menjadi seorang Kuli Tinta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tren Hunian Berklaster, Sel Kanker bagi Perkotaan di Indonesia

23 November 2024   20:26 Diperbarui: 26 November 2024   16:06 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemukiman organik di Pagedangan. Selain mengalami Gentrifikasi, masyarakat juga tersegregasi. Kontras dengan wilayah BSD di sekitarnya (©Google Earth)

Bicara soal perkotaan, tak terlepas dari masalah tata ruang yang dihadapi. Entah itu kemacetan, minimnya aksesbilitas transportasi publik, slum area dan beragam kesemrawutan lainnya. 

Kecil kemungkinan kota-kota di Indonesia terbebas dari berbagai masalah tersebut, sehingga seringkali banyak orang-orang menghindari tempat tinggal di tengah kota untuk meningkatkan kualitas hidupnya di wilayah-wilayah satelit. 

Selain karena harga tanah dan properti yang masih cukup murah, daerah pinggiran seringkali diminati apabila bernilai strategis dan memiliki akses langsung ke pusat-pusat daerah kegiatan atau CBD.

Meningkatnya minat orang-orang untuk tinggal di wilayah suburban memang memberikan dampak yang signifikan bagi suatu kota. Pertumbuhan di daerah satelit secara otomatis mendistribusikan beban populasi secara merata sehingga pusat kota yang sempit tidak lagi harus mengakomodasi berbagai kegiatan manusia. Akan tetapi, fenomena ini justru melahirkan permasalahan baru yang lebih serius; tak lain adalah urban sprawl.

Salah satu klaster perumahan di kawasan Bumi Serpong Damai (ANTARA foto/Muhammaad Iqbal)
Salah satu klaster perumahan di kawasan Bumi Serpong Damai (ANTARA foto/Muhammaad Iqbal)

Perambahan Kota sebagai Sumber Masalah

Urban Sprawl dapat diartikan sebagai anomali perkembangan kota yang terjadi secara acak dan tidak terencana. Gejalanya dapat dilihat dari pola pembangunan kota meluas secara horizontal dengan densitas yang rendah dan masifnya alih fungsi lahan di wilayah pinggiran. 

Contohnya bisa kita lihat wilayah Bekasi dan Tangerang yang mengalami perubahan drastis karena terkena dampak dari urban sprawl. Hal ini bisa diwajarkan karena kedua kota itu berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Jakarta yang menjadi urat nadi perekonomian bagi wilayah di sekitarnya.

Pola Perkembangan Kota Jakarta. Tampak beberapa
Pola Perkembangan Kota Jakarta. Tampak beberapa "kantong" hijau yang telah dikelilingi oleh area terbangun (Research Gate/Waleed Alzamil)

Walau demikian, dalam kasus yang lebih ekstrem wilayah yang jauh dari PDK/CBD-pun terkena impak dari fenomena ini. Sehingga, secara otomatis akan membentuk pola perkembangan kota leapfrog yang agaknya dibenci oleh mayoritas pakar planologi di dunia. 

Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan kota yang sangat cepat melampaui batas administratif di sekelilingnya, sehingga membentuk kantong-kantong lahan kosong di antara kawasan yang sudah lama terbangun dengan daerah-daerah yang baru dikembangkan. Tentu saja situasi ini merupakan anggai dari pola perkembangan yang tidak teratur dan sulit untuk dikontrol.

Seiring dengan meluasnya perkotaan, jalan-jalan menjadi lebih panjang. Area terbangun dan menyebar ke segala arah. Hal ini menyebabkan pemerintah dan otoritas kota terkait menjadi lebih sulit mengatur wilayahnya karena yuridiksi mereka membengkak hingga berkali-kali lipat. Pelayanan publik mau tidak harus mencakup area yang luas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun