Mohon tunggu...
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Anggota Jurnalis Media Pelajar Forum OSIS Jawa Barat

Hanya bocah SMA yang bermimpi menjadi seorang Kuli Tinta.

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kala Identitas Bertentangan dengan Realitas, Mengulas Film Monster (2023)

24 Juni 2024   20:42 Diperbarui: 25 Juni 2024   00:30 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soya Kurokawa sebagai Minato Mugino (Source: Tiff Trailers/Screenshot)

Dihujani oleh plot twist.

Lebih-kurang inilah yang dialami penonton saat tiap babak silih berganti dalam Film Monster (2023) karya Hirokazu Kore-eda.

Dirilis 2 Juni 2023 dan tayang di bioskop Indonesia awal 2024, Monster cukup memberikan kesan yang impresif. Mungkin sedikit terlambat bagi saya untuk mengulasnya. Tak apalah, maka anggap saja timing-nya tepat karena sekarang adalah bulan Juni--bersamaan dengan bulan perilisannya. Bukan karena maksud lain, ya. Sungguh!

Film ini dibintangi oleh Sya Kurokawa sebagai Minato Mugino yang tinggal bersama ibu kandungnya, Saori yang dialihperan oleh Eita Nagayama. Aktor cilik Hinata Hiiragi menjadi yori Hoshikawa, teman sekelas Minato. Selain itu, Eita Nagayama sebagai Mr. Hiro dan Yuko Tanaka sebagai Makiko Fushimi juga mengambil peran sentral di dalamnya. Mereka adalah guru dan kepala sekolah tempat Minato dan Yori belajar. Mereka nantinya yang akan terlibat konflik besar yang berhubungan satu sama lain.

Sebelum lanjut, mari intip dulu ringkasannya.

Sinopsis


Di awal, plot berfokus pada keseharian Minato, murid kelas lima sekolah dasar yang ditinggalkan sang ayah dalam sebuah kecelakaan. Dirinya hanya tinggal berdua dengan Saori, seorang ibu yang mengambil peran simultan sebagai pencari nafkah. Pendeknya; ibu tunggal.

Soya Kurokawa sebagai Minato Mugino (Source: Tiff Trailers/Screenshot) Sebelumnya ia dikenal berperan dalam Live-Action Anime  Populer; Takagi-san.
Soya Kurokawa sebagai Minato Mugino (Source: Tiff Trailers/Screenshot) Sebelumnya ia dikenal berperan dalam Live-Action Anime  Populer; Takagi-san.

Hubungan ibu dan anak ini bisa dikatakan baik, sangat baik malah. Baik Minato maupun Saori saling menyayangi satu sama lain. Sebelum akhirnya kedekatan mereka retak karena suatu permasalahan yang menyangkut Minato. Terlihat tindak-tanduk aneh dari bocah tersebut.

Dimulai dari Minato yang selalu mengulang frasa yang sama; Siapakah monsternya?, Saori menyadari ada sesuatu yang ganjil pada putranya. Ia juga memergoki Minato memotong rambutnya tanpa sebab serta dirinya juga pulang hanya dengan sebelah sepatunya. Lalu pada puncaknya saat Minato hilang pada malam hari, dirinya ditemukan oleh sang ibu yang cemas mencarinya. Di perjalanan pulang, tanpa alasan yang jelas Minato keluar dari mobil yang sedang berjalan hingga memnuat ibunya shock.

Di seperempat film terungkap jika Minato menerima kekerasan verbal dan fisik dari Mr. Hori, wali kelasnya sendiri. Itulah alasan dibalik perubahan perilakunya yang radikal. Pengakuan ini yang menyebabkan Saori murka, berusaha menginvestigasi perihal yang dialami putranya yang justru malah memicu efek domino konflik dengan tokoh lain. Pada bagian inilah para tokoh saling menuduh monster satu sama lain.

PERINGATAN SPOILER - Lompat pada sub-judul: Romansa di antara Dua Pemeran Utama jika ingin menghindari bocoran plot inti.

Babak Baru: Pembelaan M. Hori

Saori mengajukan tuntutan, di mana dia berhadapan langsung dengan Makiko sebagai Kepala Sekolah. Tetapi respons yang Saori terima tak sesuai harapan. Makiko seperti mayat hidup, dirinya hanya menganggap keluhan itu sebagai angin lalu. Walau belakangan terungkap jika Makiko baru saja kehilangan cucunya, yang dirumorkan tewas akibat ditabrak oleh Makiko sendiri saat mengendarai mobil.

Soya Kurokawa sebagai Minato Mugino (Source: Tiff Trailers/Screenshot)
Soya Kurokawa sebagai Minato Mugino (Source: Tiff Trailers/Screenshot)

Karena ketidakpuasan Saori, ia akhirnya meminta klarifikasi langsung dari Mr. Hori. Sang guru dipanggil, lagi-lagi dirinya diperlakukan dingin. Mr. Hori hanya mengulang kata-kata permintaan maaf yang sama hingga membuat Saori jengkel.

Disaat Saori mempertanyakan permasalahan yang menyangkut putranya, Mr. Hori tanpa rasa bersalah bersaksi jika dirinya memang benar melakukan kekerasan tersebut. Namun ia menganggap perbuatannya bisa dimaklumi lantaran Minato dicurigai merundung Hinata, dan itu adalah bentuk wewenangnya sebagai guru untuk mencegah kasus bullying di kalangan pelajar.

Keraguan timbul di benak Saori, tidak mungkin putranya melakukan hal seperti itu. Lalu dirinya meminta teman sekelas Misato memberikan kesaksian. Hasilnya adalah, mereka tidak mengakui perkataan Mr. Hori. Bahkan saat Hinata dipanggil langsung, dirinya bilang Minato sama sekali tidak bersalah. Apa yang dituduhkan Mr. Hori itu dusta. Hal ini kemudian memantik amarah Mr. Hori, yang kemudian malah menjadi boomerang karena pada akhirnya dirinya tersudut dan dipaksa untuk meminta maaf. Hidupnya lalu berakhir kala nama baiknya tercemar dan sang kekasih meninggalkannya. Mr. Hori resmi berhenti sebagai guru.

"Kau harus lebih hati-hati pada wali murid. Zaman sekarang, mereka jauh lebih merepotkan ketimbang anak-anaknya sendiri. Mereka adalah monster yang menghabisi guru-guru."

Mengintip Tirai Kebenaran

Poros film kemudian berpindah menuju sudut pandang Mr. Hori. Babak ini menguliti keseharian Mr. Hori, yang tak seculas apa yang dikira penonton pada awal-awal film.

Mr. Hori adalah lelaki yang humoris. Ia memiliki seorang kekasih yang hidup bersamanya. Menurut sang kekasih, wajah Saori sedikit "menyeramkan", inilah satu dari banyak alasan mengapa dirinya dengan mudah disalahkan orang-orang.

Mr. Hori (Source: Tiff Trailer/Screenshot)
Mr. Hori (Source: Tiff Trailer/Screenshot)

Kemudian ditayangkan adegan dimana Mr. Hori memergoki Yori yang dirundung. Dirinya membantu merapikan barang sang murid yang berserakan. Kemudian pada suatu waktu saat jam masuk kelas, ia melihat Minato mengacak-acak barang milik teman sekelasnya. Di situ dirinya refleks menahan perbuatan Minato dan tanpa sengaja menyikut hidung muridnya itu hingga berdarah.

Di sinilah awal kesalahpahaman itu terjadi. Walau merasa bersalah pada Minato, dirinya tetap menanggap sang murid itu nakal. Kejadian demi kejadian dalam kacamatan Mr. Hori memunculkan persepsi bahwa Minato adalah monster yang kerap merundung Yori. Pada suatu waktu Mr. Hiro melihat Minato keluar dari toilet dan mendapati Yori yang terkunci dengan sengaja. Kemudian, Yori dan Minato juga pernah berkelahi dan kemudian dilerai oleh Mr. Hori.

Karena berbagai peristiwa tersebut, Mr. Hori amat yakin jika dirinya tidak bersalah. Maka saat nama baiknya tercemar, Mr. Hori akhirnya pergi ke sekolah untuk meminta penjelasan pada Minato dan tanpa diduga Minato hilang setelah terjatuh dari tangga saat menghindari kejaran Mr. Hori.

Babak Akhir : Rahasia diantara Minato dan Yori

Di tengah segala kebingungan itu, sudut pandang kembali berubah. Kali ini sentral film berada di antara Minato dan Yori. Penonton diajak untuk memandang lebih dekat hubungan mereka.

Minato adalah siswa yang normal, hubungannya dengan teman sekelas baik-baik saja. Akan tetapi ia menyimpan rasa penasaran pada Yori, siswa yang dikucilkan di sana. Yori adalah anak yang pendiam, jarang bergaul dengan sesama lelaki dan sedikit feminim. Identitasnya yang tidak umum ini membuatnya asing. Namun di mata Minato, Yori adalah sosok yang istimewa hingga dia memiliki keinginan untuk berteman dengannya.

Sayang, lingkungan di sekitar tidak menghendaki mereka bersatu. Karena kedekatannya dengan Yori, Minato menjadi sasaran rundungan teman-teman lelaki di kelasnya. Tak mau hal itu terjadi, Minato memutuskan untuk ikut "membenci" Yori di kelas.

Source: Clip via X/Twitter
Source: Clip via X/Twitter

Walaupun lebih sering diam sebagai bentuk langkah diplomatisnya, dirinya tak lepas dari ejekan teman sekelas yang menyebut mereka berdua sebagai burung camar yang kasmaran atau dua pasangan yang menjijikan.

Lalu sampailah di suatu peristiwa Yori dirundung begitu parah oleh teman-teman sekelasnya. Minato tidak tahan melihat hal itu, hingga kemudian mengamuk dan melempar barang-barang milik temannya di luar kendali. Beberapa menit kemudian Mr. Hori datang dan terjadilah insiden sikut menyikut itu yang menyebabkan Minato mengalami pendarahan di telinga dan hidung.

Di titik ini pada akhirnya penonton tahu, monster sesungguhnya adalah orang-orang di sekitar mereka berdua. Karena fakta yang sesungguhnya adalah, Minato dan Yori sering menghabiskan waktu bersama di luar sekolah. Mereka memiliki virginity woolf-nya sendiri, sebuah kereta usang di balik bukit yang bisa diakses oleh terowongan. Disanalah tempat kedua bocah itu tertawa dan bercanda dengan bebas tanpa dusta satu sama lain.

Romansa di antara Dua Pemeran Utama

Terungkap fakta bahwa Yori mengalami kekerasan di rumahnya. Ia memiliki ayah pemabuk yang tak layak memegang mandat sebagai orangtua. Acapkali Yori dipukuli karena dianggap "mengidap sebuah penyakit". Selain itu, dia juga dipaksa sang ayah untuk "menyembuhkan" kondisinya.

Situasi ini sejalan dengan Minato yang memiliki tekanan batin atas ibunya yang mengatakan; Aku telah berjanji pada Ayahmu untuk terus menjagamu hingga kau bisa menikah dan memiliki anak. Sedang kala mendengarnya, dia tidak senang karena itu bukan masa depan yang dia inginkan. Minato merasa gagal sebagai seorang anak sebab impiannya tidak berjalan pararel dengan orang tuanya sendiri.

Minato dan Makiko (Clip via Medium user/@salvatore)
Minato dan Makiko (Clip via Medium user/@salvatore)

Keintiman antara Minato dan Yori juga dibuktikan dengan pengakuan Minato atas perasaannya. Saat hilang pasca-dikejar Mr. Hori di tangga, terungkap dirinya sedang berbincang dengan Kepala Sekolah.

"Aku tidak begitu yakin, tapi aku menyukai seseorang. Aku tak bisa bilang ke siapa-siapa, jadi aku berbohong, karena mereka akan tahu aku tidak akan pernah bisa bahagia."

Wajah senja Makiko tersenyum kala mendengar hal itu. Dirinya memahami orang yang dimaksud Minato adalah Yori. Sang Kepala sekolah menimpali;

"Kalau hanya sebagian orang yang memilikinya itu bukan kebahagiaan. Itu hanya omong kosong. Kebahagiaan adalah sesuatu yang bisa dimiliki semua orang."

Jadi, bisa disimpulkan keduanya menanggung beban yang sama; ketidaksesuaian identitas dengan realitas masyarakat yang mereka tempati. Kebahagiaan hanya angan semata karena orientasi seksual mereka bertentangan dengan nilai sosial yang ada.

Kritik Sosial Hirokazu Kore-eda

Kore-eda seringkali menampilkan kritik sosial lewat berbagai film di bawah arahannya. Sebelum Monster, Kore-eda lebih dulu merilis Film Shoplifters pada tahun 2018 dan meraih prestasi mentereng dengan 49 kemenangan dari 76 nominasi di Cannes Film Festival. Di sana, ia mengangkat tema kesenjangan sosial dan kehidupan masyarakat miskin yang marginal di Jepang. Ia seakan ingin mengulangnya kembali di film ini dengan tema yang lebih berani.

Walaupun banyak pendapat yang tidak mengamini orientasi seksual antara Minato dan Yori karena usia mereka yang terlalu dini, tampaknya persepsi itu terbantahkan. Secara resmi Kore-eda mengatakan produksi film ini tak lepas dari peran Komunitas LGBTQ+ di Jepang. Sang Sutradara mengaku berkonsultasi pada beberapa seksolog terkait bagaimana respons masyarakat terhadap minoritas gender dan orientasi seksual serta pengalaman mereka sebagai kelompok rentan. Hal tersebut disajikannya dalam Film Monster dengan menampilkan spektrum identitas gender dari sudut pandang anak-anak.

Source: Clip via Pinterest user/@rieI
Source: Clip via Pinterest user/@rieI

Oleh karena itu, kita bisa menyaksikan pada banyak scene kedekatan antara Minato dan Yori. Salah satunya saat Minato bertanya pada Yori mengapa tidak mengadukan teman sekelas yang menjahilinya pada Mr. Hori yang saat memergoki dirinya terkunci dalam toilet.

"Dia hanya akan bilang aku tidak berlagak seperti lelaki," jawab Yori.

Percakapan berlanjut kala Yori juga mengatakan dirinya berotak babi dan menderita sebuah "penyakit". Inilah alasan mengapa dirinya bertanya pada Minato pada suatu adegan saat mereka saling berbagi permen di Ruang Musik. Yori takut Minato beranggapan permen pemberiannya itu "kotor" dan "menjijikan". Ia juga khawatir penyakitnya akan "menular" pada Yori karena permen itu seperti yang ayahnya ucapkan.

Walaupun berkali-kali Minato menegaskan tidak ada yang salah pada temannya itu, Yori hanya mengangkat bahu, "Ayahku baik, Dia akan menyembuhkan penyakitku.". Yori tetap bersikeras bahwa dirinya mengidap penyakit. Identitas gender yang dimilikinya adalah sebuah kesalahan, pikir anak itu. Dirinya juga khawatir akan persepsi gurunya apabila menjadi seorang pengadu karena akan dilabeli tidak jantan. Sebab, lelaki akan membalas kekerasan dengan kekerasan pula, bukan diam dan mencari sosok yang lebih "kuat" untuk mencari perlindungan. Lebih-kurang itulah aturan normatif tidak tertulis mengenai perbedaan mencolok antara gender laki-laki dan perempuan dalam komunitas sosial tempat Yori tinggal.

Pedahal menurut Judith Butler, secara performatif dibentuk oleh ekspresi yang dikatakan sebagai hasilnya. Ekspresi ini umumnya terbentuk menjadi sebuah gender dasar saat anak-anak berumur 3 tahun dan sulit diubah setelahnya. Maka dapat disimpulkan, realitas masyarakat memaksa Yori merubah identitasnya saat dirinya menginjak masa pra-pubertas di Kelas 5 sekolah dasar. Tentu saja ini adalah situasi yang sulit karena Yori akan mengalami Dysphoria Gender jika dipaksakan mengikuti standar normal orang lain.

Source: Clip via X/Twittwr user/@saeguks
Source: Clip via X/Twittwr user/@saeguks

Anyway, poin plus film ini adalah bagaimana Kore-eda bisa menempatkan diri dari berbagai kacamata tokoh yang berbeda. Ditambah dirinya berhasil mengangkat topik gender dari sudut pandang anak-anak, alih-alih melakukan pendekatan dewasa dengan objektivikasi seksual pada pemerannya ala agenda barat. Karena, seringkali penonton malah merasa jijik dibanding simpati. Oleh karena itu, keputusan sang sutradara dinilai tepat karena mampu mengubah rekognisi film bertema queer tanpa mereduksi impresi di dalamnya.

Di luar hal itu, Kore-eda secara frontal menyinggung rasa sok tahu orang dewasa terkait masalah yang terjadi pada anak-anak mereka. Mereka tidak menyikapi setiap problematika yang ada dengan kepala dingin.

Seringkali karena dorongan ego dan rasa cemas berlebih, kesimpulan dapat terbentuk secara sembarangan hanya berdasarkan spekulasi. Prasangka dan tuduhan timbul secara terburu-buru. Apriori-apriori yang muncul tak terkendali inilah yang acapkali memperkeruh suasana. Mungkin saja tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak mereka bermaksud baik. Akan tetapi, kadang salah sasaran dan malah memicu kesalahpahaman serta memantik konflik yang jauh lebih besar.

Memandang Kebenaran dari Berbagai Perspektif

Manusia adalah makhluk yang memiliki banyak keterbatasan, umumnya dalam memandang suatu kebenaran secara objektif. Tidak bisa dipungkiri karena ia berperan sebagai subjek sosial sehingga pandangan tersebut bersifat subjektif karena sudut pandangnya memiliki titik buta yang hanya dapat dilihat oleh manusia lain, tidak dengan dirinya sendiri. Pedahal titik buta itu bisa saja berisi fakta yang sebenarnya. Sebab menurut Correspondency Theory of Truth, benar berarti bisa dibuktikan dengan fakta yang ada. Bukan didasari pandangan individu yang tentu saja diintervensi oleh pengandaian dalam pikiran masing-masing.

Saat menyadari film ini mengkritisi hal tersebut, penonton dapat menyadari betapa jeniusnya Kore-eda. Dirinya mengemas suatu kritik sosial secara tersirat sehingga memerlukan waktu bagi penonton untuk memahami pesan itu. Karenanya, saat pesan itu tersampaikan, yang terjadi adalah penonton bisa merenung dan melakukan refleksi terhadap diri mereka pribadi tanpa terkesan digurui. Karakterisasi dari setiap pemeran sukses menjadi cerminan bagi sifat lazim manusia di dunia nyata, yaitu terlalu cepat menyimpulkan menurut subjektivitas mereka.

Source: Clip via Medium user/@salvatore
Source: Clip via Medium user/@salvatore

Sesuai judulnya, Monster mengajak kita untuk mencari siapa monster yang sebenarnya. Frasa ini diulang terus menerus oleh setiap tokoh seolah-olah monster itu adalah orang lain. Pedahal tanpa disadari, monster itu ada pada diri kita sendiri. Kita adalah monster pada kisah orang lain. Pesan ini tersampaikan secara menohok pada tiap babaknya. Dimana setiap sudut pandang berubah dari satu tokoh ke tokoh lain, kita seakan diarahkan untuk mencari dan menebak setiap monsternya. Pedahal setiap tuduhan yang kita berikan adalah sebuah kesalahan, sehingga pada akhir film penonton malah berpikir bahwasannya merekalah monster yang sebenarnya karena terlalu cepat menyimpulkan sesuatu.

Nah, jadi berbanggalah bagi kalian yang belum menontonnya dan memutuskan untuk melewati bagian spoiler pada artikel ini, karena feel yang didapat tidak akan mengecewakan!

Harapan bagi Minoritas Gender sebagai Kelompok Rentan

Seperti yang disinggung sebelumnya, Monster bukan hanya mengangkat isu gender sebagai sebuah tempelan. Lebih daripada itu, film ini memberikan sebuah pemahaman bagi penonton mengenai identitas dan definisi gender dari sudut pandang yang objektif. Inilah yang kemudian menjadi harapan bagi  kelompok minoritas ini yang sekian lama menjadi outgroup dalam masyarakat untuk dapat diterima sebagai sesama manusia.

Source: Clip via X/Twitter user/@literarybase
Source: Clip via X/Twitter user/@literarybase

Hal itu dibuktikan pada banyak scene kedekatan antara Minato dan Yori. Salah satunya saat Minato pertama kali diajak Yori menuju markas rahasia. Di sana, dimulailah percakapan sederhana yang dimulai dengan antusiasme Yori memperkenalkan nama-nama bunga pada Minato. Lantas Mianto berkata; "Ibuku berkata, gadis tidak tertarik pada lelaki yang tahu banyak mengenai nama bunga."

Yori  tertawa, "Kalau begitu aku terlihat menyeramkan?"

"Tidak, bukan seperti itu. Lagipula ibuku wanita bukan seorang gadis," elak Minato

Lalu saat langkah Misato terhenti saat mereka sampai di terowongan yang lembab dan gelap Yori membalasnya, "Gadis tidak menyukai lelaki yang takut pada kegelapan." Hingga pada akhirnya Minato mampu menembus kegelapan terowongan tersebut. Adegan ini seakan memberitahu kita bahwa mereka yang dipandang lemah oleh ruang komunal di sekitarnya dapat saling menguatkan apabila melakukan sesuatu bersama.

Pujian dan Penerimaan

Saat dirilis, film ini langsung menerima banyak pujian kritis dari berbagai pihak. Bahkan di situs agregator Rotten Tomatoes, 97% kritikus mengulasnya dengan positif. The Guardian memberikan bintang 4 dari 5, Alissa Wilkinson dari Vox juga memuji Kore-eda sebagai sutradara yang berbakat dengan mengarahkan anak-anak dalam tema film yang cukup berani.

Soya Kurokawa, Hinata Hiragi dan Hirokazu Kore-eda saat menghadiri Cannes Film Festival 2023 (M-Castle Korea Media)
Soya Kurokawa, Hinata Hiragi dan Hirokazu Kore-eda saat menghadiri Cannes Film Festival 2023 (M-Castle Korea Media)

Seperti biasa, Kore-eda memang ditakdirkan untuk menjadi bintang. Dalam Cannes International Film Festival 2023, Monster meraih kemenangan pada nominasi Queer Palm dan Best Scenario. Naskah yang ditulis Kore-eda yang berkolaborasi dengan Yuji Sakamoto berhasil dieksekusi dengan baik. Selain itu, mantan presiden Amerika Serikat Barrack Obama memberikan apresiasi pada film ini lewat akun instagram pribadinya. Monster bertengger di urutan keenam, sejajar dengan Oppenheimer besutan sutradara legendaris Christoper Nolan.

Sebenarnya, tidak mengherankan apabila Monster bertabur penghargaan dan menerima berbagai macam pujian. Rekam jejak Hirokazu Kore-eda sebagai sutradara tak perlu diragukan. Film ini mengulang kembali kejayaan karya Kore-eda sebelumnya yang juga menerima penghargaan bergengsi dari Cannes Film Festival, Shoplifters pada tahun 2018. Mempunyai kesamaan tema yang  berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, Kore-eda mengemas kritik sosial dengan plot cerita yang kompleks secara sederhana sehingga bisa diterima oleh banyak pihak.

Kesimpulan

Akhir kata, saya secara pribadi memberikan penilaian positif pada film ini. Terlepas dari berbagai kontroversi karena mengangkat isu yang sangat sensitif, Monster mengubah persepsi bagaimana cara kita untuk memandang orang lain. Kisah antara Minato dan Yori membuka mata banyak orang untuk memahami anak-anak dengan cara yang tepat dan tidak tergesa-gesa menyimpulkan sesuatu.

Nah, omong-omong terkait ending dari film ini, sengaja tidak dibahas sama sekali. Pada intinya penonton diajak berimajinasi terkait dengan apa yang terjadi pada Minato dan Yori. Saat berakhirnya film, akan banyak pertanyaan yang timbul dan sayangnya tidak ada jawaban konkret atas pertanyaan itu. Kore-eda mengembalikan hak untuk menafsirkan adegan penutup yang mengambang itu pada penonton. Ia seolah-olah mengajak kita untuk kembali bermain tebak-tebakan bahkan saat durasinya telah berakhir. Agak menyebalkan memang. Tapi jika mengingat kembali pesan tersirat yang sebelumnya bermakna; kebenaran dalam perspektif seseorang berbeda-beda, maka Kore-eda ingin perspektif penonton menjadi acuan dalam arti sebenarnya dari akhir film Monster. Jadi, dirinya membebaskan siapa saja untuk menebak sesuai pandangan masing-masing. Yang jelas, open-ending ala Kore-eda ini sangat manis sekalipun kita bakal diliputi emosi yang campur aduk saat menyaksikannya.

So, tunggu apa lagi? Selamat menonton!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun