Percakapan berlanjut kala Yori juga mengatakan dirinya berotak babi dan menderita sebuah "penyakit". Inilah alasan mengapa dirinya bertanya pada Minato pada suatu adegan saat mereka saling berbagi permen di Ruang Musik. Yori takut Minato beranggapan permen pemberiannya itu "kotor" dan "menjijikan". Ia juga khawatir penyakitnya akan "menular" pada Yori karena permen itu seperti yang ayahnya ucapkan.
Walaupun berkali-kali Minato menegaskan tidak ada yang salah pada temannya itu, Yori hanya mengangkat bahu, "Ayahku baik, Dia akan menyembuhkan penyakitku.". Yori tetap bersikeras bahwa dirinya mengidap penyakit. Identitas gender yang dimilikinya adalah sebuah kesalahan, pikir anak itu. Dirinya juga khawatir akan persepsi gurunya apabila menjadi seorang pengadu karena akan dilabeli tidak jantan. Sebab, lelaki akan membalas kekerasan dengan kekerasan pula, bukan diam dan mencari sosok yang lebih "kuat" untuk mencari perlindungan. Lebih-kurang itulah aturan normatif tidak tertulis mengenai perbedaan mencolok antara gender laki-laki dan perempuan dalam komunitas sosial tempat Yori tinggal.
Pedahal menurut Judith Butler, secara performatif dibentuk oleh ekspresi yang dikatakan sebagai hasilnya. Ekspresi ini umumnya terbentuk menjadi sebuah gender dasar saat anak-anak berumur 3 tahun dan sulit diubah setelahnya. Maka dapat disimpulkan, realitas masyarakat memaksa Yori merubah identitasnya saat dirinya menginjak masa pra-pubertas di Kelas 5 sekolah dasar. Tentu saja ini adalah situasi yang sulit karena Yori akan mengalami Dysphoria Gender jika dipaksakan mengikuti standar normal orang lain.
Anyway, poin plus film ini adalah bagaimana Kore-eda bisa menempatkan diri dari berbagai kacamata tokoh yang berbeda. Ditambah dirinya berhasil mengangkat topik gender dari sudut pandang anak-anak, alih-alih melakukan pendekatan dewasa dengan objektivikasi seksual pada pemerannya ala agenda barat. Karena, seringkali penonton malah merasa jijik dibanding simpati. Oleh karena itu, keputusan sang sutradara dinilai tepat karena mampu mengubah rekognisi film bertema queer tanpa mereduksi impresi di dalamnya.
Di luar hal itu, Kore-eda secara frontal menyinggung rasa sok tahu orang dewasa terkait masalah yang terjadi pada anak-anak mereka. Mereka tidak menyikapi setiap problematika yang ada dengan kepala dingin.
Seringkali karena dorongan ego dan rasa cemas berlebih, kesimpulan dapat terbentuk secara sembarangan hanya berdasarkan spekulasi. Prasangka dan tuduhan timbul secara terburu-buru. Apriori-apriori yang muncul tak terkendali inilah yang acapkali memperkeruh suasana. Mungkin saja tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak-anak mereka bermaksud baik. Akan tetapi, kadang salah sasaran dan malah memicu kesalahpahaman serta memantik konflik yang jauh lebih besar.
Memandang Kebenaran dari Berbagai Perspektif
Manusia adalah makhluk yang memiliki banyak keterbatasan, umumnya dalam memandang suatu kebenaran secara objektif. Tidak bisa dipungkiri karena ia berperan sebagai subjek sosial sehingga pandangan tersebut bersifat subjektif karena sudut pandangnya memiliki titik buta yang hanya dapat dilihat oleh manusia lain, tidak dengan dirinya sendiri. Pedahal titik buta itu bisa saja berisi fakta yang sebenarnya. Sebab menurut Correspondency Theory of Truth, benar berarti bisa dibuktikan dengan fakta yang ada. Bukan didasari pandangan individu yang tentu saja diintervensi oleh pengandaian dalam pikiran masing-masing.
Saat menyadari film ini mengkritisi hal tersebut, penonton dapat menyadari betapa jeniusnya Kore-eda. Dirinya mengemas suatu kritik sosial secara tersirat sehingga memerlukan waktu bagi penonton untuk memahami pesan itu. Karenanya, saat pesan itu tersampaikan, yang terjadi adalah penonton bisa merenung dan melakukan refleksi terhadap diri mereka pribadi tanpa terkesan digurui. Karakterisasi dari setiap pemeran sukses menjadi cerminan bagi sifat lazim manusia di dunia nyata, yaitu terlalu cepat menyimpulkan menurut subjektivitas mereka.
Sesuai judulnya, Monster mengajak kita untuk mencari siapa monster yang sebenarnya. Frasa ini diulang terus menerus oleh setiap tokoh seolah-olah monster itu adalah orang lain. Pedahal tanpa disadari, monster itu ada pada diri kita sendiri. Kita adalah monster pada kisah orang lain. Pesan ini tersampaikan secara menohok pada tiap babaknya. Dimana setiap sudut pandang berubah dari satu tokoh ke tokoh lain, kita seakan diarahkan untuk mencari dan menebak setiap monsternya. Pedahal setiap tuduhan yang kita berikan adalah sebuah kesalahan, sehingga pada akhir film penonton malah berpikir bahwasannya merekalah monster yang sebenarnya karena terlalu cepat menyimpulkan sesuatu.