Mohon tunggu...
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Anggota Jurnalis Media Pelajar Forum OSIS Jawa Barat

Hanya bocah SMA yang bermimpi menjadi seorang Kuli Tinta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

542 Tahun Hari Jadi Bogor: CDOB Bogor Barat Menanti Realisasi Janji Otonomi

3 Juni 2024   20:03 Diperbarui: 7 Juli 2024   12:40 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upacara Hari Jadi Bogor ke-542 di Kantor Kecamatan Leuwiliang (Herlina Rosalina - 03/06/24)

Baik Pemkab Kabupaten Bogor di Cibinong maupun Pemerintah Pusat tampaknya melupakan sisi lain dari Kabupaten Bogor. Tak lain tempat tersebut adalah Bogor Barat, wilayah eks-kewedanaan Jasinga, Leuwiliang dan sebagian Parung (Rumpin) yang dibatasi oleh Sungai Cisadane di sebelah timur. Daerah ini memiliki kekayaan alam yang melimpah seperti tambang emas Pongkor, pekapuran Karst Cibodas dan pengelolaan energi Geothermal di Halimun Salak.

Sayang, berbagai kekayaan yang tersedia tidak menjamin infrastruktur di wilayah ini menjadi memadai. Pengerukan sumberdaya alam hanya berujung pada kerusakan semata. Sebut saja Parung Panjang dan Rumpin  di kedua daerah tersebut memiliki tambang pasir yang begitu masif. Truk besar hilir mudik sepanjang waktu, membayar orang-orang dengan kerikil dan debu. Jalan berlubang, rusak dan koyak. Tiap tahun tak kurang lima kasus kecelakaan yang melibatkan kendaraan besar, seperti sebuah event rutinan. Akrab saja warga dengan transformers yang menyapa, lupa mereka begitu dekat dengan maut saat berkendara. Pemkab Bogor tidak memberi tindakan nyata selain memberi jam operasional. Bahkan sekalipun Gubernur Ridwan Kamil mengatakan akan membangun jalur khusus tambang, janji itu tak kunjung tunai hingga akhir masa jabatannya.

Unjuk rasa masyarakat Parung Panjang menolak truk tambang yang kerap memakan korban jiwa. (Republika/Putra M. Akbar)
Unjuk rasa masyarakat Parung Panjang menolak truk tambang yang kerap memakan korban jiwa. (Republika/Putra M. Akbar)

Tak hanya di utara, bagian tengahnya juga tak lebih baik. Dilalui Jalan Nasional 11, jalur ini ramai dilalui pengendara. Bukan sebuah berkah, tapi menjadi petaka. Jangan bayangkan jalan selebar pantura, jalan nasional ini sempit dan hanya mempunyai dua lajur. Praktis sering terjadi kemacetan, entah di Dramaga yang dekat drmgan Kota Bogor atau bahkan ke arah pelosok seperti Cinangneng, Cemplang, Cibatok hingga Leuwiliang. Pertigaan-pertigaan berikut adalah titik macet abadi yang terus eksis sepanjang waktu. Tak mengenal jam sibuk atau mudik, selalu padat sepanjang waktu.

Jalan Nasional rute 11; Mempunyai banyak titik kemacetan, sangat sempit dan menjadi satu-satunya aksesbilitas Dramaga-Jasinga. (Dok. Pribadi)
Jalan Nasional rute 11; Mempunyai banyak titik kemacetan, sangat sempit dan menjadi satu-satunya aksesbilitas Dramaga-Jasinga. (Dok. Pribadi)

Bisa dibilang, umur masyarakat Bogor Barat mayoritas habis di perjalanan sepanjang jalan ini.

Selain lebar jalanan yang sempit, tidak ada jalan alternatif lain di sepanjang jalur tersebut. Apabila terjadi peristiwa insidental seperti kecelakaan atau jalan amblas, neraka tercipta hingga kemacetan mengular, berjam-jam lamanya. Hal inilah yang tidak disadari Pemerintah Kabupaten Bogor, karena mereka terlalu asyik berebut jatah APBD 8 trilyun dan bertindak rasyuah di Cibinong dengan politik dinastinya.

Bagi kawasan aglomerasi Jabodetabek, Bogor Barat adalah daerah pelosok dan tidak strategis. Tidak bernasib sama dengan Transyogi-Cibubur di Bogor Timur, Sentul atau Puncak yang kebanjiran proyek infrastruktur. Jika dibandingkan, bagai langit dan bumi.

Bayangkan saja, Koridor Kandang Roda-Pakansari dan Bojong Gede hingga Sentul di sekitar kantor Pemda dibeautifikasi sedemikian rupa. Jalanan mulus, marka jelas, trotoar nyaman dan lebar, lampu jalan bergaya klasik, jalur sepeda, pepohonan rindamg dan pernak-pernik perkotaan lain selevel garapan developer properti. 

Tetapi Bogor Barat, sepanjang Dramaga hingga Jasinga hanya mengandalkan satu jalan nasional milik pemerintah pusat. Maka jangan berharap ada jalur sepeda atau trotoar, pemerintah daerah saja tidak menghendaki adanya jalan alternatif lain selain jalan nasional yang sempit itu. Tidak ada perkembangan infrastruktur yang signifikan. Jika diibaratkan, Cibinong dan sekitarnya adalah Sudirman Thamrin. Tapi Dramaga ka kulon adalah jalan lintas sumatra, yang apabila dibandingkan lagi; lebih mending lintas Sumatera, sih! Karena, di Bogor Barat bukan hanya hutan sawit yang jadi pemandangan, tapi kesemrawutan tata ruang dan kemacetan juga menjadi makanan sehari-hari.

Kemacetan yang seringkali terjadi di Bogor Barat. (Dokumentasi pribadi)
Kemacetan yang seringkali terjadi di Bogor Barat. (Dokumentasi pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun