Mohon tunggu...
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Anggota Jurnalis Media Pelajar Forum OSIS Jawa Barat

Hanya bocah SMA yang bermimpi menjadi seorang Kuli Tinta.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Jejak Mang Aris dan Kang Yahya Membangun Diversitas Budaya di Ciampea

30 Mei 2024   19:43 Diperbarui: 30 Mei 2024   20:09 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sudut rumah Kang Yahya yang dipenuhi set gendang (Dokumentasi pribadi)

Bukan tanpa dasar dirinya berkata demikian, apalagi bersikap sombong. Masalahnya, membuat gendang memiliki banyak tantangan dan bukan perkara yang mudah. Kang Yahya bahkan tak segan mengakui jika dirinya sendiri tak mampu menjalankan usaha ini sendirian, maka dari itu dirinya merekrut beberapa karyawan.

"Selain soal cuaca seperti yang telah dijelaskan tadi, ada juga rintangan lainnya, yaitu ini," kelakar Kang Yahya, menunjukan otot lengannya yang kekar sambil tertawa lebar.

Gendang memang terdiri dari banyak komponen dari berbagai bahan yang berbeda. Dengan kata lain, bahan baku yang ada harus dirakit terlebih dahulu sebelum menjadi sebuah gendang. Prosesnya cukup panjang. Misalnya, dengan bahan utama kayu Nangka bukan berarti sebuah gendang bisa selesai setelah dipahat dan dihaluskan. Perlu kulit sebagai media pemukul yang harus direkatkan pada kedua sisi batang kayu dengan paku sebagai pengait tali yang juga terbuat dari kulit yang dikeringkan. Proses inilah yang menjadi bagian tersulit. Saat merekatkan tali pada paku agar kulit bisa meregang, membutuhkan keterampilan, ketelitian serta yang terpenting tenaga. Mengaitkan tali demi tali pada setiap pada paku cukup melelahkan apabila dikerjakan oleh satu orang. Maka dari itu, biasanya Kang Yahya dan karyawannya berbagi tugas dimulai dari mengampelas kayu, memaku, mengaitkan tali, dan kulit hingga tahap akhir yaitu memberikan plitur pada kayu agar terlihat estetis.

Menurut Kang Yahya, inilah yang menjadi kendala sulitnya mencari perajin gendang baru. Apalagi generasi muda sudah anti pada hal-hal konservatif yang berhubungan dengan kebudayaan, ditambah mereka enggan melakukam pekerjaan kasar seperti itu.

"Saya termasuk beruntung punya lima karyawan. Di Bogor Barat, hanya ada dua perajin seperti ini. Satu saya, satunya lagi kenalan di Cinangka. Itupun dia mengerjakan semuanya sendiri," jawab Kang Yahya kala ditanya apakah ada usaha sejenis di daerah sekitar.

Sudut rumah Kang Yahya yang dipenuhi set gendang (Dokumentasi pribadi)
Sudut rumah Kang Yahya yang dipenuhi set gendang (Dokumentasi pribadi)
Karena produsen yang langka dan berbagai tantangan itulah gendang-gendangnya dihargai dengan kocek yang tak murah. Untuk satu set gendang biasa dibanderol dengan harga di atas tiga juta rupiah. Kadang pelanggan juga meminta pesanannya dikustomisasi dengan lukisan sebagai tambahan di atas pelitur kayu. Kang Yahya menunjukkan hasil lukisannya yang menggambarkan harimau putih sebagai makhluk mitologi dari Tatar Pasundan. Menilik dari ketelatenannya, untuk membuat satu buah gendang kecil saja membutuhkan jerih payah, apalagi merampungkan satu set penuh agar bisa dijual. Gendang tak bisa diecer, maka dari itu perputaran modal dan keuntungan usaha Kang Yahya cukup besar, sebanding pula dengan usaha yang dibutuhkan.

Lalu bagaimana dengan Mang Aris? Walaupun omsetnya tidak sebesar Kang Yahya, wayangnya yang termurah dibanderol dengan harga enam ratus ribu rupiah. Lalu apabila dipesan untuk kepentingan pameran berskala internasional bisa menembus jutaan rupiah. Masih cukup mahal bagi kantong pribadi kita. Akan tetapi, seperti itulah yang seharusnya. Seniman memang pada dasarnya harus dihargai. Keahlian tidak datang dalam sekali atau dua kali, tetapi perlu distimulasi tanpa menghitung hari dengan kerja keras saban waktu hingga berada di level yang sama seperti mereka berdua.

Soal nasibnya yang terkatung-katung dan digantung oleh takdir tuhan bagai Nuh yang terombang-ambing di lautan, Mang Aris tetap optimis. Gelombang keterpurukannya pasti akan memiliki tepian, surut bersama berbagai cobaan yang menghujaninya mereda berangsur-angsur menjadi gerimis. Di masa tua, Mang Aris tetap konsisten dengan menjalankan profesinya bagai air mengalir. Walau jika diumpamakan situasinya mirip seperti Yunus yang sedang mengundi nasib dengan takdir kala perahu yang ditumpanginya dilahap oleh badai petir. Kegetiran inilah yang menjadi bahan bakar Mang Aris untuk mengulang kembali kejayaanya di masa lalu.

Pernyataan tadi bukan narasi tanpa aksi. Dirinya mencoba aktif bermedia sosial media di usia senja. Bukan semata untuk kembali meraup keuntungan, tetapi terus menghidupkan kembali kekayaan budaya agar dikenal oleh generasi muda. Seperti Namanya, Golek Waris, Mang Aris ingin nilai-nilai tradisi dan filosofi dalam wayang goleknya bisa diwariskan pada generasi muda. Ia ingin keahlian itu terhenti di ujung kukunya, saat tiba di masa penghujung usia. Setidaknya sang anak, bisa menunggangi hidup sebagai seorang dalang. Sehingga pada hari ini, Mang Aris tinggal mencari orang baru yang bisa meneruskan profesinya sebagai perajin wayang golek.

Mang Aris tersenyum kala disinggung mengenai wawancara eksklusifnya dengan salah satu staisun TV asal Singapura. Dirinya senang aktivitas bermedia sosial dengan memanfaatkan ponsel arkaisnya itu bisa menarik perhatian khalayak internasional, kembali membuka peluang untuk dirinya untuk kembali Berjaya di masa-masa yang dirindukannya dulu.

Baik Mang Aris maupun Kang Yahya sama-sama menjadi oase di tengah panasnya gurun pasir. Kabupaten Bogor yang menjadi magnet para pendatang seperti menjadi sebuah pedang bermata dua, membuka ruang bagi budaya yang baru untuk berasimilasi dan berakulturasi dengan kebudayaan setempat atau harus hilang ditelan fenomena segregasi sosial akibat urban sprawl (red: perluasan kota metropolitan) yang kian tidak terkontrol.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun