"Normalnya ada empat (karyawan). Tapi sekarang yang bantu hanya satu," jelas Kang Yahya di sela-sela kesibukannya membalut ujung kayu dengan kulit sapi
Bukan tanpa alasan tiga karyawan lainnya dirumahkan. Omset penjualan menurun baru-baru ini, menyebabkan ketiganya kehilangan jam terbang. Permintaan gendang berada di titik yang rendah. Meski kondisi ini terhitung lesu, Kang Yahya maklum. Ia menuturkan di bulan Ramadhan memang permintaan gendang tak selalu ramai, apalagi di masa menjelang pemilu. Walau dirinya tak menjelaskan secara pasti korelasinya, tetapi bisa dipahami semakin dekat dengan idul fitri kebutuhan masyarakat akan karya seni tak begitu tinggi karena orientasinya mengarah pada barang kebutuhan pokok.
"Sebenarnya mayoritas konsumen kami dari instansi. Jarang sekali individu, kalaupun ada hanya pelaku seni. Nah di masa-masa ini mereka jarang butuh set gendang baru, paling hanya minta perbaiki kerusakan saja walau masih terhitung jarang," jelasnya takzim. Lekuk wajah Kang Yahya mengisyaratkan bahwa ini adalah hal yang normal.
Sembari merekat kulit dan kayu dengan paku, dirinya juga mengatakan pemasukannya sebagai produsen gendang lumayan. Tak seperti wayang golek yang jarang mengalami kerusakan karena umumnya dipajang menjadi objek pameran, gendang secara teratur digunakan sebagai alat musik. Selama penggunaannya pasti terdapat pengurangan kualitas baik dari segi suara, kelenturan kulit ataupun kekokohan kayu. Oleh karena itu jika tidak diberikan perawatan yang baik, gendang akan rusak dan perlu perbaikan. Konsumen biasanya secara berkala datang untuk mereparasi. Inilah sumber pemasukan dari Kang Yahya berasal, selain dari produksi gendang baru.
Berbeda dengan prospek usaha Mang Aris yang tampak payah, produksi gendang Kang Yahya memberikan pertanda yang cerah. Walaupun memiliki luasan pasar yang lebih sempit, tetapi jauh dari kata pailit. Dengan kata lain minat pelestarian budaya Masyarakat sunda lebih berkiblat pada seni musik, tercermin dari persentase penjualan gendang Kang Yahya yang cukup untuk menyerap tenaga kerja lain karena tingginya permintaan. Apabila didasarkan pada asumsi, hal itu bisa terjadi karena gendang jauh lebih mudah dimainkan dan bisa dinikmati baik bagi pelaku maupun penikmat seni.
"Soal keberlanjutan, bisa dibilang aman. Toh, banyak sekolah yang mempunyai perangkat gamelan atau degung untuk dipentaskan peserta didiknya di acara tertentu. Dengan kata lain, pemain dan calon pemain gendang itu masih banyak," jelas Kang Yahya.
Tapi bukan berarti kelestarian gendang Sunda Kang Yahya aman dari kata mati. Menurutnya, ketersediaan pemain bukan faktor tunggal. Dirinya beradagium pada kasus Mang Aris. Usahanya di tahap yang kritis sebab keberadaan dalang sebagai roh dari sang wayang sudah tak lagi eksis. Oleh karena itu, nilai jual wayang telah menyusut menjadi objek pajangan, bukan lagi tontonan seperti mula saat diperkenalkan pada masyarakat.
"Baik wayang golek dan gendang Sunda berakar di tempat yang sama, yaitu wayang kulit dan gamelan Jawa," tutur Kang Yahya. "Dulu, keduanya mengemban tugas mulia sebagai media penyebaran agama, Islam rahamatan lil alamin."
Sebab alasan itulah dirinya merasa bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian warisan budaya ini. Kendati demikian, Kang Yahya menemui tantangan. Walau kepastian usahanya dinilai aman karena masih banyak yang bisa bermain gendang, ada masalah lain yang perlu diantisipasi walau hanya berdasar spekulasi. Kang Yahya tidak mau terus mengglorifikasi seakan kondisi ekonominya yang terjaga lintas generasi ini sedang berada titik tertinggi. Karena ketersediaan pencipta gendang juga harus menjadi perhatian yang perlu menjadi catatan.
"Mengajari bermain gendang mudah, yang susah itu mengajari cara membuat gendang," kata Kang Yahya dengan senyum tipis.