Mohon tunggu...
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar
Rayyi Mufid Tsaraut Muzhaffar Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Anggota Jurnalis Media Pelajar Forum OSIS Jawa Barat

Hanya bocah SMA yang bermimpi menjadi seorang Kuli Tinta.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Jejak Mang Aris dan Kang Yahya Membangun Diversitas Budaya di Ciampea

30 Mei 2024   19:43 Diperbarui: 30 Mei 2024   20:09 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wayang golek yang telah dipahat menanti tahap pewarnaan (Dokumentasi pribadi)

Bukan berarti jalan buntu, usaha Mang Aris masih berjalan tanpa masalah yang berarti. Rezeki selalu saja bertemu, menyapa lelaki separuh abad itu tanpa pandang bulu. Dirinya masih kebanjiran pesanan dari berbagai daerah. Ia berkali-kali berpartisipasi dalam produksi maskot Jambore Nasional di Cibubur dan Pameran di Arab Saudi. Tanpa diduga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengapresiasi karyanya saat kunjungan ke Ciampea di acara Gubernur Saba Lembur 2012. Mang Aris tersenyum lebar menunjukkan potret berpigura golek buatannya dipamerkan oleh SBY dan Ibu negara Ani Yudhoyono bersama dengan sang anak. Ternyata ia bekerja sebagai dalang sejak remaja.

Mang Aris konsisten menjalankan usahanya di tengah segala keterbatasan (Dokumentasi pribadi)
Mang Aris konsisten menjalankan usahanya di tengah segala keterbatasan (Dokumentasi pribadi)

Kala ditanya mengapa dirinya tidak ada di foto tersebut, Mang Aris menjawab. "Waktu itu saya sedang sakit, anak yang mewakilkan. Ternyata keberuntungan buat dia, jadi bisa bertemu dengan Pak Presiden."

Mang Aris tetaplah manusia yang lemah. Bagai lautan lepas yang tak luput dari sapaan badai yang kerap melambai, ia kembali diterpa cobaan pada 2020. Pandemi menghantam seluruh dunia tak terkecuali hingga perekonomian ambruk. Usaha golek Mang Aris terdampak sangat parah hingga omsetnya menurun drastis. Nilai jual kebudayaan Mang Aris yang mengandalkan penjualan pada turis berkurang akibat tidak adanya pergerakan sosial dan ekonomi. Kebijakan isolasi menyebabkan usaha goleknya terjerembab pada titik terendah. Lebih miris, tanpa bantuan apapun dari pemerintah hingga belum menemui situasi normal seperti sediakala.

Meski begitu, di tengah kembang-kempis akan isi dompetnya yang kian menipis, tidak ada keraguan dalam diri Mang Aris disetiap tetes keringatnya, sekalipun ia harus tertawa getir sebab khawatir apa yang menjadi pengisi perutnya besok. Percekcokan dengan cobaan tak membuatnya jatuh atau runtuh, tetapi membuatnya semakin kuat. Mang Aris tetap tekun menggenapi tiap buah golek pesanan konsumen walau tak selaris dulu.

"Belum normal lagi (seperti sebelum pandemi-red). Mungkin gairah pariwisata sudah kian membaik, tapi orientasinya tidak lagi pada objek budaya seperti ini. Pembeli mah tetap ada walau hanya sedikit," ucap Mang Aris yang masih berharap goleknya kembali laris. Bagaimanapun, akan nasibnya di esok hari penuh dengan spekulasi dan apriori.

Tak hanya Mang Aris seorang, bergeser dua-tiga petak perkampungan tempat Mang Aris tinggal, terdapat sanak saudaranya yang juga menjadi penjaga warisan kebudayaan sebagai seorang perajin gendang.

Manusia tanpa budaya, adalah raga tanpa nyawa. Pun budaya tanpa nyawa, hanyalah roh tanpa adikara berupa raga. Barangkali itulah aforisme yang diyakini oleh Kang Yahya, perajin gendang tradisional yang menekuni keahliannya itu bertahun-tahun.

Kang Yahya (kanan) dan karyawannya memberikan plitur pada kayu. Usahanya telah berjalan hingga generasi ketiga (Dokumentasi pribadi)
Kang Yahya (kanan) dan karyawannya memberikan plitur pada kayu. Usahanya telah berjalan hingga generasi ketiga (Dokumentasi pribadi)
Kang Yahya adalah generasi ketiga yang meneruskan usaha gendangnya. Keahlian itu diturunkan oleh leluhurnya secara turun menurun. Dirinya adalah sosok dibalik nada-nada tembang sunda yang  terus mengalun di era modern di masa kini. Produksi gendangnya cukup diperhitungkan walau berskala rumahan, hal itu terlihat dari banyaknya kayu Nangka yang dijemur di halaman rumahnya. Dirinya bisa merampungkan satu set gendang dalam dua minggu, akan tetapi banyak faktor membuatnya tak menentu.

"Bergantung pada cuaca, kalau musim hujan produksinya tertunda karena kayu perlu dijemur sekitar satu-dua hari. Itu tahap paling awal, kalau awalnya saja sudah terkendala sesuatu, waktu yang diperlukan menjadi lama," jelasnya.

Kang Yahya menuturkan, dirinya belajar dari sang orang tua untuk merintis usaha ini. Tanpa bantuan modal apapun, ia memulai usahanya dari nol sejak 1998. Dirinya murni hanya mendapatkan bantuan moral berupa ilmu yang diwariskan secara turun menurun dari keluarganya, lalu mengembangkan keterampilan untuk menjadi pengrajin yang ahli dengan memproduksi banyak gendang dalam skala yang lebih besar. Dibantu karyawan yang sama-sama telaten, Kang Yahya bisa memenuhi banyak pesanan sekaligus dalam satu waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun