Seniman seharusnya mendapatkan perhatian, bukan menjadi kaum marginal yang tak dikenal. Namun jamak bagi para penjaga warisan kebudayaan ini terpinggirkan karena tergerus perkembangan zaman. Barangkali itulah yang dialami oleh Mang Aris, perajin wayang golek yang terseok menjalankan profoesinya sebagai seniman berskala internasional.
Di ujung gang sempit perkampungan Desa Tegalwaru, nyenyai orang sadari terdapat seniman berbakat yang abai dari berbagai sorotan. Rumah berbata telanjang tanpa dibalut oleh plester  yang pengap dan minim furnitur adalah kediaman Mang Aris menyesapi sisa hidupnya. Di tempat sederhana tersebut Mang Aris membuka asa berbekal budaya, tiap jari kasarnya yang berbuku-buku telaten mengukir kontur kayu seolah maestro yang menumpah tinta pada lembar partitur. Ponsel arkais dan angin tropis menjadi teman dikala berbonggol-bonggol kayu diukir, melantun melodi kemerduan dendang Sunda, senada dengan apa yang menjadi rutinias Mang Aris setiap hari layaknya seniman sejati.
"Ya nasib Mamang seperti ini, mau bagaimana lagi,"ujarnya diselingi tawa ironi.
Tidak berlebihan untuk menyebut Mang Aris seniman fakir, dirinya tersenyum apabila mendengar gurauan tersebut. Lelaki yang sebenarnya terlalu tua dipanggil sebagai Mamang sebab telah berusia senja itu berujar jika memang keadaan ekonominya berada di situasi yang kurang baik. Semenjak pandemi covid-19 omsetnya tak kunjung naik, bahkan akhir-akhir ini token listriknya makin berisik. Penjualan cenderung mengalami penurunan dibandingkan saat situasi normal sebelumnya. Hal itulah yang menyebabkan Mang Aris resah, anomali apa gerangan yang menghampiri sampai-sampai pandemi yang telah berlalu kian semampai tidak berimpak besar pada mata pencahariannya itu.
Kondisi yang dialaminya ini adalah kali pertama setelah kadung merintis usaha tersebut lebih dari empat dekade. Memorinya kembali digali untuk mengingat lagi masa-masa saat Mang Aris masih berusia muda.
Pria kelahiran 1964 tersebut merintis usahanya saat berumur 12 tahun. Ia mengatakan tertarik pada pada pagelaran wayang golek sejak lama, tak lepas dari peranan orangtuanya yang acapkali mengajak Aris kecil ke sana. Perkenalannya dengan kebudayaan itu menumbuhkan rasa cinta pada pandangan pertama Mang Aris terhadap kearifan lokal khas Jawa Barat itu. Bahkan dirinya berkelakar berkali-kali jatuh cinta pada setiap pandangannya. Sehingga saat beranjak remaja Mang Aris memutuskan untuk meningkatkan kapabilitas. Tak cukup sebagai penonton, pun menjadi pelaku seni dari pentas-pentas yang digemarinya.
Sebenarnya Mang Aris memulai perjalanannya sebagai dalang. Namun, setelah sekian waktu merasa tidak cocok dengan pekerjaan tersebut. Serampangan, Mang Aris banting setir menjadi perajin wayang golek. Dirinya mulai belajar untuk mengukir dan memahat kayu, melatih diri dengan alat sapih pemberian seorang kenalannya di Cikini. Mang Aris seorang prodigi (red: prodigy--orang yang berbakat), autodidak mengasah keahlian tanpa seorang mentor. Dirinya telah terampil membuat wayang golek di umur yang terbilang muda. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, ia merintis usaha wayang golek sejak umur 12 tahun. Saat di jenjang SMP, Mang Aris mulai memasarkan buah karyanya di Ancol dan Kebun Raya Bogor untuk meraup lembar demi lembar rupiah. Peluh masaknya itu yang kemudian digunakan sebagai tambahan biaya sekolah.
Hari demi hari berjalan mulus. stimulus dari pengalaman Mang Aris berhasil meningkatkan taraf hidup keluarganya. Jadwal kegiatannya kian padat, dirinya aktif membangun relasi di tempat awal menjejak fondasi sebagai pelaku seni. Tepatnya di Cikini. Mang Aris mengenal seniman-seniman lokal lainnya di sana, terutama para dalang dan perajin wayang golek seluruh Indonesia. Dewi fortuna berpihak padanya di masa-masa itu, dirinya mengenal seorang ekspatriat asal Korea yang kebetulan sedang berkunjung di Jakarta pada dekade 80-an. Nang Aris kemudian mendapat tawaran untuk terlibat dalam produksi maskot Olimpiade Catalonia 1992 di Spanyol. Pada waktu itulah dirinya menggenapi masa keemasannya sebagai seorang seniman.
"Golek ini go internasional sejak lama. Dari partisipasi di olimpiade tersebut, akhirnya saya mendapatkan lebih banyak koneksi yang lebih luas. Menjelang tahun 1998 saya mengenal Pedro, seorang yang menawari saya untuk mengisi pameran sebuah Galeri milik pengusaha Belanda di Sanur. Alhamdulillah, saya bisa melewati krisis moneter karena kerja sama bisnis dengannya," kenang Mang Aris bangga dengan senyum lebar di balai bambunya yang sederhana.
Sayangnya, siapa pun tak bisa menampik fakta jika kegagalan adalah sebuah keniscayaan. Klimaks perjalanan hidup Mang Aris tak bertahan lama. Kerjasamanya dengan sang pemilik galeri terhenti akibat Bom Bali I dan Bom Bali II. Tragedi itu berimbas industri pariwisata mengalami kemunduran signifikan karena meningkatkan keraguan investor dan turis akan masalah keamanan. Galeri milik sang pengusaha asal Belanda ditutup. Hingga pada akhirnya kerja sama tersebut terputus laksana lilin yang padam sebab tertiup, berdampak pada produksi rutin golek Mang Aris hilang dan dirinya harus mengandalkan pesanan dari konsumen yang tak menentu.