Mungkin sahabat-sahabat sekalian seringkali mendengar tentang istilah "Negara Islam" yang kadangkala diperbincangan. Gagasan tersebut terbentuk dari salah satu paradigma yang berkembang. Kemudian diolah menjadi suatu konsepsi khusus dari paradigma tadi. Pada dunia Islam, perbincangan mengenai hubungan antara agama dan negara merupakan sebuah wacana klasik yang selama berabad-abad telah menjadi subyek diskusi yang tidak pernah terjawab secara tuntas persoalannya. Pada dasarnya, Islam merupakan satu sistem kepercayaan yang dimana agama mempunyai hubungan erat dengan politik. Dalam kenyataannya, spiritual dan temporal menjadi satu dalam sifat komunitas Islam. Dalam bidang politik, Islam memberikan kerangka makna dan cara pandang bagi individu maupun bagi masyarakat.
Dalam sejarah perkembanagan peradaban umat manusia, termasuk juga perkembangan Islam, agama dan negara merupakan dua institusi yang sama-sama memiliki kekuatan dan pengaruh terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Berkaca pada persoalan tersebut, tidak jarang seseorang rela mengorbankan jiwa dan raganya demi agama. Begitupun demi negara, seseorang tak keberatan jika harus mengorbankan jiwa dan raganya. Dari dua contoh pengorbanan diatas, dapat dikenal konsep "syahid" dalam ajaran Islam contohnya, dan konsep "pahlawan" yang identik dengan kenegaraan. Sehingga menjadi cerminan betapa agama dan negara memiliki pengaruh yang sedemikian besarnya terhadap kehidupan umat manusa
Kuntowijoyo melukiskan bahwa agama yang memiliki fungsi sebagai pemberi legitimasi kepada negara. Ia menambahkan bahwa agama menunjang politik dengan memberikan legitimasi kepada negara, partai dan perorangan
Berbagai pandangan mengenai hubungan agama dan negara telah beredar luas di kalangan masyarakat Muslim. Meskipun dalam persoalan bentuk negara atau sistem pemerintahan, Islam tidak memberikan satu wujud absolut yang harus diikuti. Perihal itu kembali ke kebebasan umat Islam untuk memilih mana yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Â Sejarawan Islam Indonesia, Azyumardi Azra dalam bukunya "Reposisi Hubungan Agama dan Negara" mengklasifikasikan secara teoritis hubungan antara agama dan Negara modern saat ini ke dalam tiga paradigma yakni integralistik, simbiotik, dan sekularistik.
- Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik mengajukan konsep bahwa agama dan negara tidak dapat dipisahkan, wilayah agama juga meliputi wilayah politik atau negara. Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Penyelenggaraan pemerintahan negara didasarkan atas "kedaulatan Ilahi" (divine sovereignty), karena memang kedaulatan itu berasal dan berada pada "tangan" Tuhan. Ajaran normatif bahwa Islam tidak mengenal dikotomi antara agama dari negara didukung pula oleh pengalaman umat Islam Madinah dibawah kepemimpinan Rasulullah Saw.
- Paradigma Simbiotik
Paradigma simbiotik memandang bahwa hubungan agama dan negara bersifat timbal balik. Dalam hal ini, agama memerlukan negara, karena dengan adanya negara, agama dapat berkembang. Begitupun sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama, negara dapat berkembang dalam bimbingan etika moral-spiritual. Paradigma simbiotik lebih menekankan hal-hal yang berbau substansi ketimbang legal-formal, seperti contoh pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertiannya yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting.
- Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik mengajukan disparitas (pemisahan) antara agama atas negara begitupun sebaliknya. Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara pada Islam atau paling tidak menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu dari negara. Pandangan paradigma ini, bahwa agama hanya mengatur hubungan dengan Tuhan, sedangkan untuk urusan lainnya diluar itu seperti bermasyarakat dan bernegara itu diserahkan kepada umat manusia untuk memutuskan. Kedua sisi tersebut tidak dapat saling mengintervensi karena mempunyai urusan masing-masing.
Menurut pendapat sebagian para pemikir politik Islam, dalam Islam itu sendiri, tidak terdapat konsepsi khusus tentang bentuk negara/pemerintahan, karena kekayaan dan keanekaragaman dari tradisi pemikiran politik Islam itu sendiri. Sehingga berbicara mengenai konsepsi tentang negara Islam tidak akan gampang diakuisisi atas suatu bentuk tertentu.
ReferensiÂ
Achmad A. Sofyan dan Roychan Madjid (2003). Gagasan Cak Nur tentang Negara & Islam. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Azyumardi Azra. (2002). Reposisi Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Bachtiar Effendy. (1998). Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
Kuntowijoyo. (1997). Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.