Prof. Dr. K.H. Abdul Mukti Ali atau yang lebih dikenal dengan nama Mukti Ali memiliki nama kecil Boedjono, lahir di Desa Balun Sudagaran Cepu pada 23 Agustus 1923, Kecamatan Cepu dalam keluarga yang berkecukupan. Desa tempat tinggalnya dulu terkenal sebagai daerah saudagar. Ayahnya, H. Abu Ali merupakan saudagar tembakau terbesar di Cepu, seorang yang sangat takzim kepada para ulama atau kyai. Ibunya bernama H. Khadidjah, adalah seorang ibu rumah tangga, sekaligus penjual kain.
Boedjono kecil yang memiliki saudara sebanyak enam orang, tiga pria dan tiga wanita, hidup dalam suasana perdagangan yang mendidik orang untuk mandiri dan tidak diatur oleh orang lain. Ayahnya selalu mengajarkan kepada putera-puterinya untuk berusaha menjadi orang yang berkecukupan, karena kemiskinan merupakan penghambat sekian banyak keinginan. Mereka dibentuk menjadi pribadi yang tidak menjadi beban bagi orang lain, justru harus menjadi penolong bagi yang membutuhkan. Falsafah inilah kemudian mempengaruhi pandangannya dalam mendidik anak-anaknya, termasuk Mukti Ali. Dia tidak membatasi anak-anaknya hanya untuk mempelajari ilmu agama saja, tetapi juga mempelajari ilmu-ilmu lain menjadi suatu keharusan. Bagi ayahnya, yang terpenting adalah anak-anaknya menjadi orang yang berkecukupan dan saleh hidupnya. Suasana desa yang penuh keakraban dan kesederhanaan, serta suasana hidup berdagang dan suasana agamis di masa kecilnya inilah yang membentuk kepribadian Boedjono muda di kemudian hari. Mukti Ali merupakan sosok intelektual Muslim yang disiplin, serta sangat menghargai ilmu Pada masa kecilnya, sebagaimana kebiasaan di zaman dulu, pagi hari, anak-anak belajar pendidikan formal, dan sorenya diisi untuk mengaji di surau atau rumah kyai terdekat. Hal ini pulalah yang dijalani oleh Boedjono kecil. Pada pagi hari dia sekolah di sekolah Belanda, dan sore harinya mengaji kepada Kyai Usman di Cepu. Selepas lulus dari ujian pegawai rendah (Klein Ambtenaar Examen), dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Tremas, Pacitan, Jawa Timur.
Selepas menyelesaikan pendidikannya di pesantren, Mukti Ali mendaftarkan dirinya di Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta sebagai mahasiswa pendengar. Setelah STI diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII), Mukti Ali kemudian meneruskan studinya di Fakultas Agama. Belum lagi studinya di UII rampung, ia disuruh oleh ayahnya untuk menunaikan ibadah haji. Ia kemudian berencana untuk menuntut ilmu di Mekkah, dan mengambil konsentrasi Sejarah Islam di Fakultas Bahasa Arab, Universitas Karachi Pakistan. Ia berhasil memperoleh gelar doktor pada tahun 1955, setelah lima tahun lamanya berada di Pakistan. Ketika mempersiapkan kepulangannya ke tanah air, A. Mukti Ali mendapatkan kabar bahwa ia mendapatkan beasiswa dari Asia Foundation untuk melanjutkan studi di McGill University, Montreal, Kanada. Ia kemudian mendaftar di Institute of Islamic Studies.
Selama menuntut ilmu di Kanada, ada satu program perkuliahan yang sangat diminati olehnya, yaitu tentang Pemikiran Islam Modern yang diasuh oleh Prof. Wilfred Cantwell Smith. Ada dua poin yang membuat Mukti Ali tertarik dengan cara pengajaran Prof Smith, pertama adalah metode penyajian perkuliahan, dan kedua adalah caranya dalam melakukan analisis. Smith melakukan aplikasi pendekatan komparatif (perbandingan), yaitu dengan melihat sesuatu dari berbagai aspek. Inilah yang disebut dengan pendekatan holistic, lewat cara analisis Smith ini, akhirnya Mukti Ali menemukan metode ilmu yang dicari- carinya selama ini. Akhirnya dalam dua tahun ia berhasil menyelesaikan program masternya pada tahun 1957 dan memperoleh gelar Master of Arts (M.A.), lalu kemudian ia pulang ke tanah air. Metodologi studi agama yang terinspirasi dari Smith diakui oleh Mukti Ali telah mengubah jalan pikiran bahkan sikapnya dalam memahami hidup, terutama terkait dengan metodologi studi agama serta perhatiannya terhadap problem kerukunan antarumat beragama. Hal ini kemudian dia perkenalkan dan kembangkan sekembalinya ke Indonesia, baik ketika bertugas sebagai dosen maupun Menteri Agama.
Sesampainya di Indonesia pada tahun 1957, Mukti Ali bekerja di Djawatan Pendidikan Agama Departemen Agama sambil mengajar di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Yogyakarta dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta, IAIN Jakarta, Universitas Islam Djakarta (UID) dan IKIP Muhammadiyah. Ketika IAIN Jakartaberdiri, ia diangkat menjadi Sekretaris Fakultas Adab pada tahun 1960 dan kemudian pada tahun 1961 ia diminta untuk membuka Jurusan Perbandingan Agama sebagai salah satu jurusan yang ada di Fakultas Ushuluddin lalu ia pun menjadi Ketua Jurusannya. Selang beberapa lama, pada tahun 1964 Mukti Ali dipindah ke IAIN Yogyakarta dan menjadi Wakil Rektor Bidang Akademis Urusan Ilmu Pengetahuan Umum. Selain mengajar di IAIN, dia juga mengajar di Universitas Gadjah Mada (UGM), IKIP Negeri Yogyakarta, Akademi Tabligh Muhammadiyah Yogyakarta, AKABRI Magelang, AU Adi Sucipto, dan SESKAU Bandung. Hingga pada tahun 1971, Mukti Ali diangkat menjadi Menteri Agama Republik Indonesia.
Abdul Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004, sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.
Karya-Karya Mukti Ali
Mukti Ali merupakan penulis yang kreatif dan produktif yang setidaknya telah menghasilkan tiga puluh karya ilmiah. Ia mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama "Jajasan Nida" yang diambil dari nama puteri kesayangannya, Nidatul Hasanah, untuk mempublikasikan sejumlah karyanya. Diantara beberapa karyanya adalah sebagai berikut:
- Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (1993);
- Ke-Esaan Tuhan dalam Alqur'an (1969);
- Etika Agama dalam Pembentukan Kepribadian Nasional dan Pemberantasan Kemaksiatan dari Segi Agama Islam (1969);
- Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini (1987);
- Agama dan Pembangunan di Indonesia (1979);
- Ijtihad dalam Pandangan Mohammad Abduh (1990);
- Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat (1990);
- Metode Memahami Agama Islam (1991); dan lain sebagainya.
Selain dari beberapa karya berupa buku diatas, masih banyak lagi karya lainnya dari Mukti Ali yang tidak tertuliskan dalam artikel ini.
Pemikiran Kerukunan Beragama Mukti Ali
Dikalangan cendekiawan muslim, mendekatkan berbagai perbedaan dan mengutamakan persamaan, untuk menegaskan bahwa umat beragama memiliki kesamaan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan dimana mereka bisa membangun hubungan yang saling memahami, menghargai dan penuh kedamaian. Pengakuan Pluralisme secara sosisologis ini juga telah kemukakan oleh Mukti Ali. Secara sosial Mukti Ali tidak mempersoalkan adanya pluralisme, dalam pengakuan-pengakuan sosial, tetapi ia sangat tegas dalam hal Teologis. Ia menegaskan bahwa dalam hal Teologis tidak bisa dipakai hukum kompromistis. Oleh karena itu, dalam satu persoalan yang sama, masing-masing pemeluk agama memiliki sudut pandang yang berbeda-beda, misalnya pandangan tentang al-Qur'an, Injil dan Nabi Muhammad, Yesus dan Maryam.
Menurut Mukti Ali, orang Islam melakukan penghargaan tertinggi terhadap Maryam dan Yesus. Hal itu merupakan bagian dari keimanan orang Islam. Orang Islam sungguh tidak dapat mempercayai (mengimani) ketuhanan Yesus Kristus dan tetap mempercayai kenabiannya sebagaimana Nabi Muhammad. Kemudian, orang Islam juga tidak hanya memandang al-Qur'an tetapi juga memandang kitab Taurat serta kitab Injil adalah Kitab Suci (Kitabullah). Yang menjadi persoalan, apakah Kitab Injil yang sekarang otentik atau tidak, dan apakah seluruhnya wahyu Tuhan. Namun hal ini buka berarti orang Islam selalu menolak Wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, Isa, atau rasul-rasul lainnya, meskipun orang Islam tidak bisa mengakui bahwa Injil sebelum saat ini adalah kalam Tuhan seluruhnya. Namun demikian, orang Islam percaya bahwasannya Injil memuat atau mengandung kalam Tuhan. Mukti Ali berpendapat bahwasannya perbedaan dalam agama, ras, suku, bahasa dan budaya harus dijadikan sebagai pedoman kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat karena masing-masing agama memiliki keyakinan teologis yang tidak bisa dikompromikan. Sama dengan agama lain, Islam juga memiliki keimananya sendiri. Misalnya konsep tentang Nabi Isa. Sama halnya Kristen yang memiliki konsepnya sendiri yang berbeda dengan Islam bahkan tentang keyakinan yang dianut Islam. Jadi, keyakinan tentang pluralisme hanya dibedakan berdasarkan tataran sosialnya saja. Yakni bahwa secara sosiologis kita memiliki keimanan atau keyakinannya masing-masing, soal benar atau tidak benar itu tergantung pada wilayah agamanya masing-masing.
Mukti Ali menjelaskan ada beberapa pemikiran dalam merumuskan kerukunan dalam persoalan kehidupan beragama. Pertama, Sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan semua agama itu sama. Kedua, Reconception, yaitu, menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrotansi dengan agama-agama lain. Ketiga, Sintesis, yaitu, menciptakan agama-agama baru yang elemennya diambilkan dari pelbagai agama, supaya dengan demikian pemeluk agama masing-masing merasakan bahwa sebagianajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) tersebut. Keempat, penggantian, yaitu, pengakuan bahwa agamanya sendirilah yang paling benar dan berusaha agar agama yang lain masuk dalam agamanya. Kelima, agree and disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu mempercayai bahwa agama yang dipeluk adalah agama yang baik dan mempersilakan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik. Serta meyakini bahwasannya antara satu agama dengan agama yang lain memiliki persamaan dan perbedaannya masing-masing. Namun diantara pemikiran beliau ada perbedaan pendapat dengan pemikir-pemikir yang lain seperti menurut wacana yang disebutkan oleh pluralisme agama Djohan Effendi berbeda dengan pluralisme yang disebutkan oleh Mukti Ali sehingga diskursusnya sampai sekarang masih menuai kontroversi adalah mengenai kerukunan antarumat beragama.
Kajiannya hanya menjadi wacana di Indonesia dan belum terimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dikenal sangat heterogen, karna berbagai macam alasan dan kekurangan penggerak untuk melanjutkan cita-cita mulia Mukti Ali dalam membangun peradaban Indonesia yang damai, aman dan Sentosa. Oleh sebab itu pendapat-pendapat Mukti Ali kurang terkenal, seharusnya ada penerus pemikir beliau dan merubah sedikit untuk disesuaikan dengan zaman sekarang yang modern namun tetap beracuan pada kedamaian agama sesuai harapan Mukti Ali salah satunya diadakan pertemuan dan pelaksanaan kegiatan antar agama-agama dengan memunculkan sikap toleransi yang baik. kesenian, lembaga pemerintah dan lain sebagainya. Karena kemajemukan tersebut adalah kekayaan dan modal sosial (sosial capital) bangsa serta merupakan sumber kearifan lokal.
Upaya Mukti Ali dalam Membangun Kerukunan Beragama
- Dialog Aksi
Dialog antar-umat beragama di Indonesia mengalami berbagai perkembangan sejakisu ini digulirkan pada tahun 1960-an. Dalam perkembangannya dialog tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yakni berdasarkan pelakunya: pemerintah,organisasi-organisasi masyarakat sipil, dan akademisi. Ketiga kategori ini dapat dikatakan pula mewakili tiga kekuatan dalam sebuah negara: pemerintah, masyarakat sipil dan pasar. Dialog agama diprakarsai pertama kali oleh Menteri Agama pada saat itu yang menjabat adalah Mukti ali pada tahun 1969. Hal ini didorong untuk membangun dialog level nasional dan Internasional pada tahun 1960-an. Di Indonesia, inisiatif dalam membangun dialog sudah ada dan pada awalnya hadir sebagai respon terhadap konflik-konflik lokal yang melibatkan komunitas-komunitas umat beragama pasca tahun 1965. Dari latar belakang tersebut bermunculan dialog-dialog yang terinstitusionalisasikan baikoleh pemerintah, organisasi-organisasi masyarkat sipil maupun akademisi enurut penelitian terdapat 7 level dalam pola dialog yang dilakukan Mukti Ali, yaitu, level pertama adalah tentang kehidupan, yang mana setiap orang yang berbeda latarbelakang kepercayaannya dan berbeda cerita kehidupannya dipersatukan dan saling berbagi kisah dan cerita masalah kehidupannya masing-masing dalam hal kepercayaan. Level kedua disebut sebagai analisis sosial dan etika kontekstual dilevel ini mereka diberi pengetahuan untuk mengetahui dan memahami realitas kehidupan secara sosial dan etis. Level ketiga yaitu diberi pemahaman mengenai sumber-sumber keimanannya sendiri,bagaimana dana apa yang harus dilakukan. Disini orang-orang berupaya mempelajari tradisi religiusnya didalam komunitas religiusnya. Pada level keempat mereka bersama-sama mengikuti komunitas inter-religius dan membangun situasi dimana mereka berbagipengalaman iman dalam rangka pengayaan dan usaha bersama untuk menemukan suatu ultimate serta selangkah lebih maju. Level kelima, mereka melakukan dialog teologi inter-religius, dimana mereka mengalami pengayaan pada level teologi, baik interpretasi maupun orientasinya. Pada level keenam barulah mereka menekankan dialog aksi, yaknimemberdayakan peserta dialog dengan perspektif-perspektif yang terkait dengan isukeadilan sosial dan gender, hak asasi manusia, dan ekologi. Level terakhir adalah dialog intra-umat beragama yang menunjukkan terjadinya kritik atas diri sendiri dimana danbagaimana imanku diperkaya dan diperbaharui, serta di tertransformasikan. Didalam makalah yang ditulis oleh Mukti Ali yang menyatakan bahwasannyauntuk menemukan titik temu sebuah perbedaan didalam pluralitas agama adalah dengan dilakukannya dialog agama, kecuali di dunia ini hanya ada satu agama, maka dialog tidak diperlukan, namun dunia dan negara memiliki banyak agama, dari agama besar sampai agama rakyat, sehingga dialog agama adalah hal penting dan yang akan menjadi titik temudalam perbedaan untuk menciptakan kedamaian dunia dalam akar agamanya.
- Kerjasama Sosial
Usaha yang dilakukan Prof. Dr. H. Mukti Ali dalam hal kerjasama sosial adalah dengan mengadakan pelatihan-pelatihan dan pembentukan suatu lembaga penelitian yaitu Balitbang agama yang tiada lain adalah Badan Penelitian dan Pengembangan Agama dalam jajaran Departemen Agama. Tahun 1975, beliau juga membuat pembentukan dan penyelenggaraan Program Latihan Penelitian Agama (PLPA) bagi para dosen IAIN serta menjalin kerja sama penelitian dengan beberapa perguruan tinggi dan LIPI. Di samping itu, Mukti ali terlibat dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial, antara lain menjadi salahseorang pengurus Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) di bawah pimpinan Selo Soemardjan menjadi pengurus Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIS). Ini yang menjadi acuan bahwasannya tidak hanya dialog antar agama namunkerjasama sosial juga penting, baik dari kalangan masyarakat biasa sampai kepemerintahan yang menjadi sumbangsih penting dalam pelaksanaan saran-saran warga yang akan diwujudkan dalam bentuk strata sosial yang sama. Apa yang dikemukakan oleh Mukti Ali, merupakan suatu gambaran tentang polarisasi antara ilmu-ilmu sosial (selain ilmu ekonomi) di satu pihak, dan ilmu ekonomi di pihak lain. Di antara produk yang disebarluaskan, berkenaan dengan agama dan pembangunan serta kerjasama sosial berupa buku: Agama dan Perubahan Sosial (Taufik Abdullah, editor) dan Kajian Agama dan Masyarakat (Sudjangi, 1992, editor). Dalam buku pertama, ditampilkan hasil penelitian yang menggambarkan Islam di Aceh (oleh dua orang ahli IAI dari IAIN Banda Aceh, Ismuha dan Baihaqi A.K) dan Sulawesi Selatan (oleh dua orang antropolog dari Universitas Hasanuddin Ujung Pandang, Mattulada dan Abu Hamid). Kontribusi Mukti Ali tercermin dalam kata pengantar yang ditulis oleh Taufik Abdullah. Sementara itu, dalam buku kedua ditampilkan berbagai tulisan para ahli IAI dan ilmu-ilmu sosial tentang agama sebagai realitas kehidupan, yang dijadikan sasaran pengkajian dan penelitian. Oleh karena buku itu disusun berkenaan dengan peringatan harijadi kelima belas tahun Balitbang Agama, tentu saja berpangkal dari apa yang digagas dan diwujudkan oleh Mukti Ali, yang juga menulis tentang "Islam, Religion and Science". Menurut Mukti Ali tanpa kerjasama sosial kesejahteraan tidak akan terwujud. Namun dapat dilihat dalam beberapa penelitian bahwasannya kerjasama sosial dalam kalangan masyarakat sangat langka dilakukan, sehingga hasil yang didapatkan dan bahkan dapat dilihat sekarang pun nihil, semua masyarakat hanya mementingkan kepentingan pribadinya saja sehingga kesenjangan terjadi disegala sudut dan kesejahteraan hanya dalam khayalan. Mukti Ali dalam beberapa dialognya menyetakan bahwasannya dalam kemajuan serta terciptanya pembangunan baik dalam segi agama maupun ekonomi seluruhnya diperlukan kerjasama sosial yang baik. Baik dari segi masyarakatnya maupun dari segi negeri untuk mencapai kerjasama dunia yang lebih luas.
- Pengembangan Peran Negara
Mukti Ali dalam bukunya menyatakan bahwa pembangunan nasional ikhtiar manusia Indonesia untuk mengadakan perobuhan, perbaikan, peningkatan mutu dan kualitas kehidupan bangsa Indonesia yang dilakukan secara sadar, terencana, dan menyeluruh. Disini jelas bahwasannya Mukti Ali menginginkan kerjasama yang baik antara masyarakat dan negara Indonesia dalam bersatu membangun bangsa dan negara yang lebih maju dan berkelas dimata dunia. Seperti halnya dijelaskan didalam teks Pancasila yaiu mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur yang merata materil dan sprirituil dan juga merdeka, berdaulat dan bersatu dalam suasana peri kehidupan yang aman, tentram, tertib dan dinamis dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan Makmur dalam ketertiban dan perdamaian. Oleh sebab itu peran negara sangatlah penting sebagaimana dijelaskan diatas dan diharapkan dengan adanya keselarasan dan kerjasama maka terciptalah suatu kehidupan bangsa dimana terdapat dan dirasakan kecukupan ekonomi, kemantapan politik, kemajuan kebudayaan, ketentraman psikologis dan kepuasan rohani. Sebagaimana sejarah menuliskan bahwasannya menjelang dasawarsa 1930-an, pergerakan nasional terus maju selangkah demi selangkah termasuk menciptakan kemerdekaan dan bebas dari penjajahan. Setelah sumpah pemuda mengeluarkan trilogi kebangsaan yaitu satu nusa, satu bangsa, dan satu Bahasa, Islam mengikuti jalur mejutersebut untuk mencapai bangsa yang berdikari dan menjadi bangsa yang maju, penjelasanyang menyatakan bahwasannya negara adalah sangat berperan penting dalam segala aspekkemajuan negara dan bangsanya.
Mukti Ali sangat menekankan pentingnya pemahaman keagamaan secara tepat, dan obsesinya adalah ingin membangkitkan dialog antarumat beragama dalam rangka menghilangkan kecurigaan, sekaligus memantapkan dan menambah pengetahuan tentang agama lain sehingga diharapkan akan timbul rasa menghormati dan toleransi terhadap agama yang lain dalam perbedaan. Mukti Ali tidak berhenti dengan hanya mengkritik, dengan semangat Religious Studies, Ia pun menunjukan perubahan-perubahan serta variasi dalam perkembangan di dalam kajian hubungan antar-agama, Mukti Ali adalah seseorang yang memiliki andil yang cukup besar dalam membentuk wajah pluralis di Indonesia. Berbagai macam gagasan Mukti Ali disampaikan melalui perguruan tinggi, sebagai pejabat pemerintahan, forum-forum diskusi, seminar, konferensi maupun karya tulis dalambentuk artikel jurnal dan buku. Karena itu, beliau menjadi ikon pemikir Islam di Indonesia baik dalam bidang pendidikan maupun keagamaan yang lebih menjurus terhadap keragaman agama dalam konteks kerukunannya. Dalam pemikiran Mukti Ali keagamaan terbangun dalam tiga etos yaitu keilmuan, kemanusiaan dan kebangsaan. Ketiganya merupakan instrumen untuk merkonstruksi agama yang responsif terhadap tantangan zaman. Kerukunan harus diciptakan, dipelihara dan dibina terus menerus. Dan dialog menurut Mukti ali memiliki peran penting dalam terciptanya kerukunan tersebut. pendapat Mukti ali yang mengatakan bahwa landasan kerukunan hidup umat beragama sudah ada yaitu pertama adalah negara Pancasila dan kedua adalah tugas nasional pembangunan bangsa, dan ini hal-hal penting yang harus ada dalam mewujudkan kerukunan beragama Harus ada pemuda penerus bangsa yang berkompeten untuk membangun bangsa beradab dan beragama dan mampu membuat trobosan baru yang lebih modern untuk lebih dipahami dan dimengerti serta diikuti
ReferensiÂ
Aceh Singgih Basuki. (2013). Pemikiran Keagamaan Mukti Ali. Yogyakarta: SUKA Press.
Almunauwar bin Rusli. "Mukti Ali dan Tradisi Pemikiran Agama di Indonesia" dalam  Jurnal Potret Pemikiran Vol. 23 No. 1 (2019).
Amin Abdullah. (2000). Metodologi Studi Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Baizawi. (2018). Kebijakan Pemerintah Abdaya dalam Membina Kerukunan Umat Beragama, Skripsi. Banda Aceh: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
Media Zainul Bahri. (2015). Wajah-Wajah Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad Ali. (1997). Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Muhammad Ali. (2003). Teologi Pluralis Multi Kultural: Menghargai Kemajemukan, Menjalin Kebersamaan, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Mukti Ali. (1975). Agama dan Pembangunan di Indonesia. Jakarta: Departemen Agama.
Mukti Ali. (1993). Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam. Bandung: Mizan.
Mukti Ali dkk. (1997). Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Toguan Rambe. "Pemikiran A. Mukti Ali dan Kontribusinya Terhadap Antar Umat Beragama " dalam Jurnal Al-Lubb Vol. 1, No. 1, 24-42 (2019).
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H