Mohon tunggu...
rayyan buftiem
rayyan buftiem Mohon Tunggu... Mahasiswa - Honorable Mention of PSNMHII 36 Diplomatic Course, Received the Outstanding Student Award 2023 of Science and Political Faculty External Campus, LSMUN 2023 Best Position Papers, UNEP Council, FPCI and China Embassy top 20 awardee of best video award, VETAMUN Honorable Mentions UNESCO Council, SNMUN Best Delegates UNHCR Council

Mahasiswa 2021, hobi berdiskusi, olahraga, dan bermain

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ancaman Konflik di Laut Cina Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia: Studi Kasus Illegal Fishing

30 Mei 2024   23:01 Diperbarui: 30 Mei 2024   23:06 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konflik di Laut Cina Selatan merupakan fenomena kompleks yang melibatkan persaingan klaim teritorial kelautan antara Cina, Taiwan, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Filipina, melimpahnya sumber daya diwilayah ini menyebabkan ketegangan semakin kompleks, contohnya pada minyak kapal-kapal Tiongkok telah mengganggu kapal-kapal survei minyak yang dioperasikan oleh Filipina. Risiko konflik menjadi signifikan karena meningkatnya kemampuan militer Tiongkok dan keterlibatan faktor eksternal di wilayah tersebut, terutama terkait kebebasan navigasi dan operasi militer di zona ekonomi eksklusif Tiongkok (Glaser, 2012). Namzun di sisi lain Indonesia sebagai negara maritim juga terdampak pada konflik Laut Cina Selatan, dimana Cina telah mengklaim sebagian dari pulau Natuna Utara dari landasan "Nine Dash Line" yang digaungkan Cina (Aditya Jaya Iswara, 2021). Hal ini menghasilkan garis pertanyaan besar, bagaimana kemudian Indonesia merespon terhadap ancaman kedaulatan ini, seperti yang diketahui Nine Dash Line yang dimiliki oleh Cina tengah bersinggungan dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Pulau Natuna Utara.

  • Teori Realisme dan Konsep power

Dalam perkembangannya pada studi hubungan internasional, perilaku negara dapat kita lihat kedalam berbagai teori dan konsep. Dalam melihat perilaku Cina setidaknya teori realisme dapat melihat rasionalitas tindakan yang diambil oleh Cina. Teori Realisme memandang negara sebagai aktor utama dalam bertindak, dan akan mementingkan kepentingan nasional di negaranya, dengan itu teori Realisme berkaitan erat dengan kepemilikan power disebuah negara, menurut salah satu tokoh Realisme, Hans J. Morghentau, power sebuah negara akan lebih dominan daripada moralitas internasional (Camiso & Antunes, 2018). Cina sebagai negara yang memiliki power terutama di bidang ekonomi, politik, dan militer, terus menggaungkan dan mengukuhkan niatnya pada strategi sembian garis putus putus (nine dash line) meskipun hal ini menyebabkan ketegangan diwilayah tersebut, ditambah kepemilikan pulau Natuna telah didaftarkan Indonesia pada tahun 1956 melalui organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa.

  • Dinamika Antara Pertahanan Indonesia dengan Cina

Agresivitas Cina pada perairan Laut Cina Selatan juga meningkat, Cina telah membangun pulau buatan di wilayah Laut Selatan, seperti Spratly Islands dan Paracel Islands, yang meningkatkan kehadiran militer dan infrastruktur di perairan tersebut, ditambah Cina juga telah meningkatkan keterlibatan kapal perang pada wilayah yang diperebutkan dengan berbagai negara di Asia Tenggara, Pusat Militer disini dikembangkan oleh Cina hingga memiliki sekitar 800.000 kapal perang di pulau buatan tersebut. Cina tidak menghormati hasil putusan terkait dengan kekuasaan wilayah yang telah dideklarasikan oleh Filipina (Sukma Utari et al., 2023). Kondisi ini telah meningkatkan kekhawatiran Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, karena Cina dapat melakukan hal yang sama di wilayah Natuna yang diperebutkan dengan Indonesia.

Bagi Indonesia dalam menghadapi ancaman geopolitik dan kedaulatan yang signifikan, terutama terkait klaim sembilan garis putus-putus (nine dash line) Cina yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) perairan teritorial Indonesia, yakni Natuna sebagai wilayah terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, klaim ini mempengaruhi kepentingan nasional dan keamanan Indonesia, maka dari itu, Indonesia menyatakan protes bersama dengan negara-negara lain dan tidak membenarkan adanya sembilan garis putus-putus di peta Republik Rakyat Tiongkok. berdasarkan hukum internasional dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), Indonesia juga sudah mendeklarasikan ZEE yang mencakup 200 mil zona laut Natuna pada tanggal 21 Maret 1980 pada PBB (Agun Aulal Muna et al., 2023).

UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) sendiri mengakui perairan Natuna sebagai bagian dari wilayah ekonomi eksklusif (EEZ) Indonesia. Indonesia mengklaim bahwa Natuna Island dan 12 mil laut sekitar itu termasuk dalam wilayahnya, berdasarkan hukum laut yang berlaku. Indonesia juga mengklaim bahwa perairan Natuna berada di luar zona ekonomi eksklusif Vietnam dan bagian selatan Laut Cina Selatan (Simorangkir et al., 2023).

Ancaman Kedaulatan ini secara mudah dapat kita lihat pada tahun 2019-2020 terhadap isu penangkapan ikan secara ilegal oleh nelayan Cina di perairan Natuna, Indonesia, memiliki kerugian pada berbagai faktor, seperti, ekonomi, lingkungan, dan keamanan. Pencurian sumber daya laut dan hasil dari tangkapan dan penjualan ke luar negeri mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar bagi Indonesia, menipisnya stok ikan dan kerusakan ekosistem laut juga dapat membahayakan ketahanan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam Indonesia, selain itu, keberadaan kapal asing di perairan Indonesia menimbulkan kekhawatiran keamanan nasional, karena dapat dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan integritas teritorial negara (Adi Putri, 2023).

Sumber daya alam yang paling berlimpah di Laut Natuna Utara adalah ikan, Potensi sumber daya ikan di Laut Natuna Utara mencapai 504.212,85 ton per tahun. Minyak dan Gas Alam, Blok Natuna Timur mengandung 222 triliun tcf (satuan untuk gas per kubik) serta 36 juta barel minyak, Kedua sumber daya alam ini membuat Laut Natuna Utara menjadi wilayah yang sangat menarik untuk eksploitasi, yang menjadi salah satu faktor ancaman kedaulatan Indonesia terhadap Cina atas wilayah ini (Sambuaga et al., 2023).

  • Kesimpulan

Wilayah yang menjadi sebuah teritorial sebuah negara sungguh penting, baik secara geopolitik dan ekonomi, hadirnya teori realisme menggambarkan peran kepentingan sebuah negara, dalam kasus ini Cina, mengklaim perairan yang saling tumpang tindih dengan perbatasan pulau Indonesia, yakni Natuna. Ketahanan yang berperang penting menjadi terancam, Indonesia dapat memperoleh kerugian dari hasil aktivitas illegal yang dilakukan Cina, dalam kasus diatas dijelaskan bahwa pelaku penangkapan ikan memberikan kerugian terhadap Indonesia, ditambah klaim atas perairan Natuna juga merugikan Indonesia, dimana, Natuna merupakan sebuah pulau yang kaya akan Sumber Daya Alam.

REFERENSI

Adi Putri, A. (2023). INDONESIA POLICY IN RESOLVING THE NORTH NATUNA SEA CONFLICT WITH TIONGKOK: A CASE STUDY OF ILLEGAL FISHING IN 2019-2020. In Jurnal Sosial dan Humaniora (Vol. 8, Issue 1).

Aditya Jaya Iswara. (2021). Kronologi Konflik di Laut Natuna, Cina Tuntut Indonesia Setop Pengeboran Migas, Klaim sebagai Wilayahnya. Kompas.Com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun