CEO Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara), yakni Rosan Roeslani resmi mengumumkan lineup "timnas" Danantara yang akan membawa perubahan yang lebih baik pada Senin (24/3). Susunan lengkap pengurus Danantara itu terbagi menjadi beberapa bagian. Sebagai contoh, Menteri BUMN Erick Thohir, Muliaman Hadad, sampai para menteri koordinator Kabinet Merah Putih yang masuk dalam jajaran Dewan Pengawas.
Dalam susunan kabinet bagian Dewan Pengarah Danantara sah ditempati oleh Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhyono dan Presiden ke-7 Joko Widodo. Sedangkan pentolan Dewan Penasihat adalah Ray Dalio yang acapkali dielu-elukan oleh pemerintah. Penasihat Danantara lainnya, yakni Helman Sitohang, Jeffrey Sachs, Chapman Taylor, dan Thaksin Shinawatra.
Di saat yang bersamaan, ada 10 orang Managing Director, 1 Komite Manajemen Risiko, serta 1 Komite Investasi dan Portofolio. Sedangkan sisanya adalah bagian dari holding operasional yang dipimpin oleh COO Dony Oskaria dan holding investasi di dibawah komando CIO Pandu Syahrir.
Melihat perubahan yang signifikan terutama dalam jajaran kabinet Danantara, Toto Pranoto selaku Senior Consultant Lembaga Management FEB merespons pengumuman resmi "timnas" Danantara itu. Menurut pandangannya, sebagian pengurus bayi baru presiden Prabowo Subianto itu memiliki background high profile.
Dirinya melihat jajaran tim yang disusun punya nama di kancah domestik maupun internasional. Ada ahli di bidang pengelolaan investasi, keuangan, makroekonomi, dan global. Bahkan dirinya berpandangan dengan turut bergabungnya dua direktur Indonesia Investment Authority (INA) sebagai Managing Director Finance, yaitu Arief Budiman dan Managing Director Investment, yakni Stefanus Ade Hadiwidjaja.
INA adalah sovereign wealth fund (SWF) Indonesia, sebelum akhirnya lahir Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara. Kehadiran Danantara memang sekaligus menaungi INA yang memiliki aset sekitar Rp.163 Triliun. Keberadaan tokoh-tokok tersebut ia harapkan bisa membuat pengelolaan Danantara semakin optimal sehingga bisa mendukung Presiden Prabowo Subianto mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Dana kelolaan Danantara menembus US$900 miliar atau Rp.14.665 triliun (kurs Rp.16.300 per dolar AS). Namun, transparansi dari pengelolaan tersebut masih diragukan oleh berbagai elemen masyarakat. Bahkan, momen launching Danantara hingga peluncuran nama-nama pengurus badan tersebut disinyalir sebagai sentimen negatif bagi pasar. Kehadiran Danantara bahkan dituding sebagai salah satu biang kerok IHSG jeblok sampai terjadi trading halt pada perdagangan selasa (18/3).
Toto selaku pengamat BUMN menegaskan bahwa Danantara yang sudah punya formasi lengkap sudah semestinya untuk segera bergerak. Ia yakin dengan quick wins project bisa membuat publik dan market kembali mempercayai kita.
Di sisi lain, keunikan Danantara yang melibatkan pemimpin terdahulu menuai pertanyaan terkait efektivitas dan efisiensinya. sejumlah pihak bahkan skeptis atas taji SBY dan Joko Widodo di balik kursi Dewan Pengarah. Toto pun beranggapan hadirnya dua tokoh bangsa itu hanya sebatas simbol. Dirinya menilai sosok SBY maupun Joko Widodo hanya untuk memberika legitimasi berdirinya badan baru tersebut.
Seiring, Herry Gunawan selaku Peneliti NEXT Indonesia menilai dengan hadirnya SBY dan Joko Widodo tak serta-merta membuat Danantara pasti melangkah di jalan yang lurus. Potensi mismanajamen sampai korupsi diklaim bakal tetap berpotensi, tak otomatis akan lenyap begitu saja.
Dirinya memberikan sebuah contoh bagaimana selama ini perusahaan pelat merah kerap menghadapi masalah hukum. Padahal, komisarisnya diisi oleh petinggi Kejaksaan Agung (Kejagung), Polri, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), sampai mantan hakim.
Herry menilai tidak ada jaminan Danantara akan 100 persen bersih. Ada celah 'bayi' baru tersebur tetap bobol jika tidak dikelola dengan baik dan benar. Herry mengkritisi pemilihan tim Danantara. Apalagi, ada sejumlah kolega atau koneksi dari CIO yakni, Pandu Syahrir.
Dirinya secara spesifik menyoroti posisi Managing Director Finance di Holding Investasi, yaitu Djamal Attamini. Sosok tersebut adalah Komisaris PT TBS Energi Utama alias TOBA, yakni perusahaan lama tempat Pandu berkarier sebagai Wakil Direktur Utama.
Selain itu,Djamal merupakan Managing Partner & CEO Lynx Asia Partners. Perusahaan yang berbasis di Singapura itu juga berstatus pengelola dana investasi. Ada juga dua orang lain, yakni Dewan Penasihat Ray Dalio selaku pendiri Bridgewater Associates serta Dewan Penasihat Chapman Taylor yang bekerja di Capital Group. Keduanya adalah pengelola dana investasi di tempat lain yang berpotensi melahirkan benturan kepentingan alias conflict of interest.
Di lain sisi, Dirinya mendesak Rosan Roeslani mundur dari posisi Menteri Investasi dan Hilirisasi. Begitu pula dengan Dony Oskaria yang masih menjabat sebagai Wakil Menteri BUMN sekaligus Wakil Komisaris Utama PT Pertamina (Persero).
Ia menegaskan rangkap jabatan dengan posisi di pemerintahan adalah sikap yang tidak patut. Bahkan, diyakininya sebagai tindakan yang melanggar undang-undang.
Publik pada akhirnya semakin memupuk kecurigaan dengan hadirnya Danantara. Rosan yang kukuh tak mau melepas posisinya dui Kabinet Merah Putih bahkan turut mengangkut anak buahnya, yaitu Ivy Santoso selaku Staf Khusus Bidang Ekonomi dan Investasi menjadi Managing Director Head of Office Danantara.
Selain mengkritisi susunan 'timnas' Danantara, pria yang dikenal sebagai pengamat dan pemerhati BUMN itu menantang Danantara untuk membuktikan kapabilitasnya. Ia mendesak badan baru itu tak memakan waktu lama untuk bereaksi dan lebih proaktif karena mempetimbanhkan dinamika ekonomi global yang penuh gejolak dan ketidakpastian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI