Saat ini Indonesia telah secara resmi menjadi anggota penuh blok ekonomi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). Posisi Indonesia yang sudah tidak hanya sekadar mitra akhirnya diumumkan oleh pemerintah Brasil pada Senin (6/1). Negara yang memegang kepemimpinan blok tersebut menegaskan bahwa anggota lain sudah menyepakati masuknya Indonesia dalam keanggotaan BRICS.
Kementerian Luar Negeri mengapresiasi Brasil selaku Ketua BRICS 2025. Pencapaian ini mereka klaim sebagai cerminan peningkatan peran aktif bagi Indonesia dalam menyikapi isu-isu global dan sebagai bentuk komitmen untuk memperkuat kerja sama multilateral demi mewujudkan tatanan global yang lebih inklusif dan berkeadilan. Pemerintah berpandangan bahwa keanggotaan BRICS ini merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan kolaborasi dan sinergi dengan negara berkembang lainnya. Ini ditempuh berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati, dan pembangunan yang berkelanjutan.
Kementerian Luar Negeri menyatakan bahwa sebagai negara dengan perekonomian yang terus tumbuh dan beragam, Indonesia berkomitmen untuk berkontribusi secara aktif dalam agenda BRICS, termasuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kerja sama teknologi, pembangunan yang berkelanjutan, dan mengatasi tantangan global, seperti perubahan iklim, ketahanan pangan, dan kesehatan masyarakat.
Lantas kembali terbesit dalam benak kita tentang apa saja keuntungan dan kerugian Indonesia bergabung ke BRICS? Bisa saja ini merupakan jalan pintas dalam pemerintahan Prabowo Subianto yang ingin mendorong pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 8 persen?
Prabowo memang sudah menentukan target tinggi untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kendati demikian, Beliau sendiri tidak berani berjanji target itu akan tercapai pada saat masa kepemimpinannya.
Direktur Ekonomi Center of Economic Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan bahwa ada cukup banyak keuntungan besar yang sebenarnya bisa diperoleh Indonesia dari keanggotaannya di BRICS, dan terlebih juga anggota BRICS juga sudah mencakup wilayah Timur Tengah, sejalan dengan niat ekspansi Indonesia ke pasar negara di sekitar kawasan tersebut. Ia juga menjabarkan proporsi ekonomi negara BRICS mengalami peningkatan yang cukup pesat. Awalnya pada tahun 1990 proporsi ekonomi negara di kelompok ini hanya sekitar 15,66 persen, kemudian seiring berjalannya waktu melonjak hingga 32 persen di tahun 2022.
Perekonomian salah satu dedengkotnya, yakni China memang diperkirakan akan melambat. Akan tetapi, Negara Tirai Bambu tetap akan menjadi pesaing kuat Amerika Serikat. Ia juga menyatakan bahwa bergabung dengan BRICS akan memberikan kita benefit  untuk bisa lepas dari pasar tradisional, seperti AS dan Eropa. Eropa pun sebenarnya sudah mulai risih dengan kebijakan ekspor Indonesia, dimana kerapkali terjadi perselisihan dalam hal perdagangan global, salah satunya hambatan EUDR untuk komoditas kelapa sawit.
Huda pun meyakini bahwa koalisi politik dan ekonomi bisa mengakselerasi pertumbuhan indonesia di masa depan. Akan tetapi, ia menegaskan dengan status sebagai anggota penuh BRICS bukan menjadi jaminan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 8 persen. kemudian sang ekonomi menilai target ambisius Prabowo itu belum terbantu dengan bergabungnya Indonesia ke blok ekonomi BRICS. Dikarenakan, perekonomian negara ini masih mengandalkan pada sektor konsumsi domestik.
Di sisi lain, status baru Indonesia malah menimbulkan risiko bentrok kepentingan dengan negara adidaya lain, yaitu Amerika Serikat. Negara-negara BRICS dikhawatirkan berseteru soal fasilitas perdagangan AS yang bisa dikurangi atau bahkan dicabut. Hal ini berpotensi untuk memicu perang dagang AS dan juga China yang masih terbuka lebar, Terlebih juga, Donald Trump kembali memegang kendali kepemimpinan Negeri Paman Sam usai menang pilpres tahun 2024.
Sementara itu, Ekonom Core Indonesia, yaitu Yusuf Rendy Manilet merinci empat keuntungan utama yang akan didapatkan oleh Indonesia. Pertama, akses ke pasar yang lebih luas dengan total populasi negara anggota sekitar 3,5 miliar orang atau tepatnya 42 persen populasi dunia. Kedua, Yusuf melihat ada prospek Indonesia untuk memperkuat kerja sama dengan wilayah yang lain serta mengurangi ketergantungan pada ekonomi barat. Ketiga, BRICS juga menawarkan alternatif pendanaan lewat New Development bank (NDB) yang bisa menyokong proyek pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Keempat, forum ini memberikan Indonesia posisi tawar yang lebih kokoh dalam tata kelola ekonomi global. Ia tidak menutup mata ada risiko yang terus membayangi dan potensial, yakni potensi eskalasi geopolitik, mengingat bahwa persaingan AS dan China semakin intensif. Namun Ia menawarkan kiat agar pemerintah bisa menekan implikasi buruk tersebut. Yusuf mengatakan Indonesia perlu berhati-hati dan waspada terhadap keseimbangan diplomatik, terutama dalam menghindari tekanan dari negara-negara barat.
Di sisi lain, perbedaan kepentingan ekonomi antara anggota BRICS bisa saja menghambat pengambilan keputusan. Indonesia perlu mempertahankan kebijakan luar negeri bebas-aktif dan terus menjalin hubungan yang konstruktif dengan semua pihak sebagai upaya untuk meminimalisir implikasi buruk yang akan terjadi di masa mendatang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI