Mohon tunggu...
Raymond Y. Patty
Raymond Y. Patty Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku mungkin tampan, tapi yang jelas aku tidak narsis. | El Condor Times http://t.co/Npropwo3

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan, Kebudayaan dan Ideologi: Intrepretasi Ulang-Alik Hubungan Kekuasaan dan Pendidikan dalam Naskah Lakon Mastodon dan Burung Kondor

27 Mei 2012   09:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:43 764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jujur aja nih, kali ini kita akan berkubang dalam isu yang agak-agak berat nih. Yup, kita akan ngomongin hubungan antara kekuasaan dan pendidikan, yang nantinya bakal kita hubungkan lagi ke dalam naskah drama karya WS Rendra yaitu Mastodon dan Burung Kondor.

Tapi sebenernya masalah ini nggak gitu berat-berat amat sih… Sebab masalah kekuasaan dan pendidikan ini toh gampang diketemuin kok bentuk nyatanya di kehidupan kita sehari-hari. Lagian juga kan WS Rendra itu orang terkenal gitu loch… Kalo nggak percaya, coba deh buka buku cetak Bahasa dan Sastra Indonesia 1 karangan Andoyo Sastro Miharjo terbitan Yudhistira tahun 2010; pasti didalemnya ada nama WS Rendra dan beberapa kutipan dari karya-karyanya. (So whaaat…!?).

Rendra dan Google

Singkat kata, WS Rendra itu seorang sastrawan dan dramawan. Nah pas tahun 1973 dulu, dia tuh mentasin sebuah drama karangannya sendiri berjudul Mastodon dan Burung Kondor yang ikut memicu sebuah peristiwa besar di Indonesia pada tahun berikutnya (yaitu di tahun 1974—red) yaitu Peristiwa Malapetaka Limabelas Januari, atau biasa disingkat sebagai Peristiwa Malari. Kalo temen-temen mau tau cerita lengkap tentang Peristiwa Malari, coba deh googling di Google. Banyak kok informasi bertebaran soal itu. Lumayan lah, buat nambah-nambah wawasan.

Lagian Tuhan menciptakan manusia kan sebagai makhluk berakal; dan dengan akal manusia menciptakan Google. Trus kenapa kita sebagai makhluk berakal kok suka ngerasa semakin o’on aja deh dari hari ke hari. Kalo ngobrolin sesuatu yang nggak dikuasain banget rasa-rasanya nggak nyambung, trus minder, trus jadi alay deh… Padahal di jaman kita sekarang ini kan ada Google. Kalo nggak ngerti sesuatu yah tinggal ketik aja apa yang nggak dingertiin itu di om Google, trus klik search deh, bereees… Tapi nih, kalo yang nggak dingertiin itu adalah perasaan seseorang, jangan deh coba-coba kamu search di google karena nggak bakalan nemu. (Ini apaaa coba!? Kenapa jadi gue yang nggak nyambung…).

Mastodon dan Burung Kondor

Ok. Back to the topic. Jadi, di dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor itu si WS Rendra melontarkan banyak kritikan kepada pemerintahan Orba saat itu. Karena kritikannya saat itu dianggap terlalu keras oleh pihak pemerintah, lakon inipun dicekal. Dan aktivitas berkesenian sang sastrawan yang berjuluk si Burung Merak ini pun juga dibanned, alias dilarang, oleh pemerintah selama beberapa tahun seusai pementasan terakhir Mastodon dan Burung Kondor di Senayan.

Kritikan-kritikan di dalam drama ini berkisar persoalan praktik kekuasaan yang mencerminkan praktik kekuasaan Orba pada pelbagai segi kehidupan masyarakat saat itu. Namun begitu, Rendra memberikan penekanan khusus tentang kekuasaan dalam dunia pendidikan di dalam drama ini. Seorang tokoh bernama Yuan Frederikho dengan lantang dan gagah berani meneriakan semangatnya untuk melancarkan perubahan berdasar pada ketidakberesan yang dirasakannya di dalam dunia pendidikan:

“Kita tidak pernah mendapatkan bimbingan jiwa yang sebenarnya. Karena sementara alam pikiran kita siap terbuka untuk menerima pencerahan ilmu pengetahuan, kita justru malahan diberi ajaran doktrin-doktrin dan dogma-dogma yang tidak boleh dipertanyakan”.

Dan lagi:

“Proses mencari kebijaksanaan, proses menyusun kebijaksanaan dan proses mengolah kebijaksanaan, tidak pernah kita alami di dalam pendidikan ini. Dan kita diajar menerima kebijaksanaan yang harus kita hafalkan dan tidak boleh kita persoalkan” (Rendra 2011: 33).

Mastodon dan Burung Kondor Bicara Soal Pendidikan

Si Yuan, yang di dalam ceritanya adalah seorang aktivis kampus, nih menganggap kalo apa yang udah diajarin di bangku sekolah ‘n di bangku kuliah itu bukan pendidikan yang sebener-benernya pendidikan. Melainkan cuma sekedar upacara menghafalkan dan meng-iya-kan pengetahuan yang udah ditetapkan dan nggak boleh dipertanyakan.

Intinya si Yuan pengen bilang kalo pengetahuan yang diajarin di institusi-institusi di dalam sistem pendidikan yang dienyamnya itu sebenernya hanyalah alat buat melanggengkan kekuasaan pihak-pihak yang sedang berkuasa. Jangan gampang ngambil kesimpulan lho, kalo kalo pihak penguasa disini itu maksudnya cuma terbatas ama urusan politik praktis aja lho (baca: pemerintahan dan partai-partai politik gitu deh—red). Karena ternyata anatomi kekuasaan di dalam pendidikan itu ternyata rada-rada ruwet juga lho…

Fungsi Pendidikan Untuk ngebongkar keruwetannya, mari kita mulai pembahasan kita dengan doa. Berdoa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing dimulai… selesai. Ok, setelah itu, mari kita mulai dengan sok-sok kritis menanyakan kembali; apa sih fungsinya pendidikan itu? Kalo kata Paulo Freire nih, seorang ahli pendidikan dari Brazil, ada dua fungsi dari pendidikan. Pertama, sebagai alat supaya generasi muda mau menerima dan melestarikan sistem nilai di masyarakat. Yang kedua adalah sebagai praktek pembebasan dimana manusia dapat berinteraksi dengan kritis dan kreatif menghadapi realitas, sehingga dapat berpartisipasi dalam mengubah dunia ke arah yang lebih baik (Freire, 1991).

Maksudnya Freire berarti kalo pendidikan itu bisa menjadi penghambat kemajuan kalo sistem nilai yang diperkokohnya malah justru ngebuat manusia menindas kemanusiaan dan juga menjadikan manusia nggak lagi kritis dan kreatif. Sebaliknya, pendidikan juga bisa jadi sarana pembebasan kalo ngebuat manusia bisa ngehargain kemanusiaan dan ngejalanin hidup secara kritis dan kreatif. Wah… pendidikan erat banget kaitannya sama sistem nilai yah…

Pendidikan dan Kebudayaan

Kalo urusannya udah sama sistem nilai nih, berarti kita nggak bisa lagi mendasari pemahaman kita tentang hubungan pendidikan dan kekuasaan tuh sebatas dalam wujudnya di lembaga-lembaga pendidikan; semisal di sekolah-sekolah, dinas pendidikan nasional, kementrian pendidikan, UNESCO, etc. Kalo udah kayak gini berarti kita musti ngeliat soal pendidikan ini dari sudut pandang yang lebih luas lagi, yang bisa ngeliat peran kekuasaan dalam mempengaruhi sistem nilai yang dianut sama masyarakat; yaitu dari sudut pandang kebudayaan!

Well, mau gimana lagi, posisi pendidikan dalam studi-studi budaya emang istimewa juga sih, sebab banyak transformasi sosial dalam sejarah kebudayaan modern bisa jalan karena peran pendidikan juga.[1]  Maka dari itu, masalah pendidikan, kekuasaan, dan studi kebudayaan mempunyai bidang garapan yang sama (Tilaar 2009: 126). Tapi sebaliknya, gimana posisi kebudayaan dalam dunia pendidikan sendiri? Dan gimana kita bisa ngeliat aspek kekuasaan didalemnya?

Praktek-praktek Pendidikan dan Ideologi Dominan yang Masuk Sa'udele Dewe

Jadi gini nih, bro ‘n sis; om ‘n tante, ncang dan ncing, enyak, babeh... Dalam prakteknya, pendidikan kan bisa kita bagi jadi tiga, yaitu: pendidikan formal, non-formal, dan informal. Pendidikan formal berarti pendidikan yang dilembagakan secara formal; misalnya di sekolah dan kampus. Trus, pendidikan non-formal berarti pendidikan yang dilaksanakan dalam lembaga-lembaga di luar struktur persekolahan formal; contohnya les, bimbel, pelatihan, workshop, etc. Yang terakhir, pendidikan informal, yaitu proses pendidikan yang berkenaan sama seluruh aspek kebudayaan yang mempengaruhi perkembangan seseorang; misalnya pendidikan yang kita dapet dari pengalaman, keluarga, bacaan, pergaulan, dll.

Di sisi yang lebih luas di dalam dunia modern kita ini, disadari atau tidak, tiap masyarakat kan juga punya ideologi yang menjadi panutan untuk ngebimbing arah perkembangan masyarakatnya. Ada ideologi liberal, neo-liberal, religius, fasis, nasionalis, anarkis; terus juga ada multikultural, lokal, demokrasi, sosialis, komunis (eh, masih ada lho… bahkan di Indonesia juga masih ada), dll.

Terus, salah satu dari ideologi-ideologi ini yang paling dominan—atau lebih tepatnya beberapa ideologi dominan yang dikompromikan untuk nggak saling bertentangan satu sama lainya—tuh ‘ngerembes’ atau masuk deh kedalam relung-relung praktek pendidikan yang tiga tadi. Akibatnya adalah pengaruh kebudayaan dari ideologi-ideologi tadi, termasuk juga didalemnya sistem nilai, pada orang-orang yang ngejalanin praksis pendidikan tersebut.[2] Nah, ideologi dominan tuh beda-beda di tiap masyarakat. Tergantung ama perkembangan masyarakatnya dan juga tergantung kebijakan-kebijakan yang dibuat ama pihak-pihak yang punya kekuasaan di masyarakat itu. Klo kita batesin ruang lingkupnya negara, yang buat kebijakan yah pemerintah. Tapi pemerintah suatu negara juga nentuin kebijakan-kebijakannya--yang akhirnya nentuin ideologi-ideologi dominan di masyarakatnya--juga dipengaruhin ama kekuasaan yang lebih gede lagi. Misalnya PBB, atau negara lain yang punya kekuasaan yang lebih gede kayak AS dan China.

Ideologi dan Kebudayaan Dominan dalam Praktek Pendidikan Formal

Kalo di pendidikan formal nih, katanya peran ideologi tuh gede banget lho. Karena pengaruhnya ama kurikulum dan sistem pendidikan yang berlaku didalem satu negara. Gak percaya? Coba deh inget-inget lagi apa aja yang udah kita terima di bangku sekolahan ‘n kuliahan. Mata pelajaran apa aja yang wajib dalam pendidikan formal selama ini? Kebijakan apa aja yang wajib kita jalanin? Kenapa musti, kudu, wajib, dijalanin? Terus, sistem nilai dan budaya apaan aja yang udah kita dapetin tuh semenjak kita TK ampe kuliah yang masih ngebekas banget sama kita sekarang? Dan, kenapa semuanya itu harus terjadi!? (Kenapa coba, tebak...).

Katanya sih itu karena ideologi dan budaya yang dominan itu merasuk kedalam pendidikan formal dalam bentuk yang formal (misalnya dalam kebijakan lembaga pendidikan, sistem, dan kurikulum), maupun informal (kalo yang informal kita bahas nanti dibawah aja yah…), dan ngupayain nilai-nilai ideologi dominan itu tertanam. Nah, kalo untuk yang formal ini bahkan bisa membentuk pola kebahasaan, sudut pandang terhadap sesuatu, dan ilmu pengetahuan tertentu[3] yang harus dikuasai. Ujung-ujungnya sih itu semua demi memperkokoh tumbuh kembangnya ideologi tersebut di masyarakat (Apple, 1979).

Ideologi dan Kebudayaan Dominan dalam Praktek Pendidikan Non-Formal

Dalam pendidikan non-formal, peran ideologi juga penting banget loh. Tapi di sini gak terlalu disetir sama yang empunya kebijakan tertinggi pendidikan formal (baca: pemerintah—red). Program pendidikan bisa dikelola sama siapa aja sesuai dengan ideologi yang dipegangnya. Bisa perusahaan, NGO, Ormas, pihak asing, sampai oleh ibu-ibu pengajian di sekitar rumah kita.

Ideologi dan Kebudayaan Dominan dalam Praktek Pendidikan Informal

Nah, kalo dalam pendidikan informal nih, peran ideologi dominan (serta turunannya dalam bentuk kebudayaan) tuh paling gGuEDdE banget pengaruhnya. Selain itu, pendidikan informal tuh jalannya beriringan dan berjalinkelindan (dan kadang berbenturan) dengan praktek pendidikan lainnya; formal dan non-formal.

Kayak yang udah kita bahas diatas, pendidikan informal itu dapetnya bisa dari mana-mana aja. Bisa dirumah, disekolah, kampus, jalan-jalan di Mall, di TV, Internet, dll. Karena kita sekarang hidup di jaman yang serba canggih, arus informasi tuh jadinya cepet banget bolak-baliknya. Karena itu ideologi-ideologi dominan pun juga sering-sering mejeng loh dimana-mana dalam bentuknya sebagai produk-produk budaya ideologi tersebut.

Selanjutnya produk budayanya ngebentuk budaya dan sistem nilai kita pribadi deh. Makanya, kalo kita nggak kritis ‘n kreatif, bisa-bisa jadinya kita telen mentah-mentah tuh produk budaya sekalian ama ideologi dan sistem nilainya tanpa ngeliat dulu realitasnya tuh kayak gimana.

Nah, karena produk budaya yang kita konsumsi itu mewakili ideologi yang bisa jadi nggak sama atau malah bertentangan satu sama lainnya. Makanya kadang-kadang kita tuh suka galau kalau ngedapetin masalah pelik dalam kehidupan. Ya, nggak...?

Tentang Galau

Yah jelas lah, itu karena secara sadar ataupun nggak sadar, sistem nilai yang kita dapet tuh pada tarik-tarikan satu sama lainnya. Cara ngehindarinnya sebenernya gampang. Sebelum kita kepentok sama produk budaya tertentu, jangan dulu kita telen mentah-mentah tuh budaya. Ntar jadinya galau lho... Kita kudu kritis dan kreatif dalam menentukan sikap kita. Kita bisa teladanin tuh sikap Yose Karosta, si protagonis dalam naskah Mastodon dan Burung Kondor:

“Aku mengandalkan kemampuanku untuk mengkritik diriku sendiri, untuk meneliti ke dalam diriku sendiri. Di samping itu aku juga menghargai kritik sesama manusia, sebagai rangsangan untuk perkembangan baru. Pandanganku di dalam kemasyarakatan pun sama; aku mengandalkan kemampuan masyarakat untuk mengkritik dirinya sendiri, untuk meneliti dirinya sendiri” (Rendra 2011: 117).

Cukup sekian dulu deh. ^_^ Trims berat yah untuk yang udah mau baca. Sorry banget yah, kalo rada-rada krik2... Tabik.

(Ra.Ya.P.)

Rawamangun, 15 Februari 2012

Referensi: Apple, Michael. (1979). Ideology and Curriculum. New York and London: Routledge. Freire, Paulo. (1991). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3S. Rendra, W. S. (2011). Mastodon dan Burung Kondor. Jakarta: Burungmerak Press. Tilaar, H.A.R. (2009). Kekuasaan dan Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

***

[1] Kita bisa ngeliat contohnya dalam perubahan kebijakan politik di Prancis tahun 1968, di Amerika Serikat tahun 70-an, di Indonesia tahun 1965 dan 1998, juga di negara-negara timur tengah belakangan ini.
[2] Dengan begini, kita bisa ngeduga-duga deh satu alternatif jawaban kenapa suka ada konflik nilai antar generasi dimana-mana (contoh lumayan klasik: konflik antara Rhoma Irama dan Inul Daratista tentang dangdut religius vs. dangdut sensual). Mungkin aja emang karena sistem nilai yang dianut satu generasi dengan generasi-generasi berikutnya emang berbeda. Karena mereka emang dididik oleh kebudayaan yang beda. Yang juga dihegemoni ama ideologi yang beda. Bisa karena ideologinya emang beda karena mereka dibesarkan oleh kebudayaan yang dari awal emang jelas beda; bisa karena ideologinya sendiri berkembang seiring berkembangnya kebudayaan masyarakat; atau bisa juga karena ideologinya berubah karena transformasi sosial dalam masyarakat.
[3] Kenapa coba kita wajib belajar Bahasa Inggris di sekolah? Kenapa ada Bahasa Inggris di kurikulum nasional kita? Padahal negara Inggris kan jauh di sono. Dan bahasa Internasional kan bukan cuman Inggris doank. Jangan-jangan ini ngaruh loh sama ideologi negara-negara kuat yang mayoritasnya berbahasa Inggris (AS, Inggris, Australia, dll) yang pengen menanamkan pengaruhnya di negara kita. Dan ini udah berlangsung sejak luaaamma banget. Dan gak cuma di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun