Mohon tunggu...
Raymond Y. Patty
Raymond Y. Patty Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku mungkin tampan, tapi yang jelas aku tidak narsis. | El Condor Times http://t.co/Npropwo3

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Suah Purnama

27 Mei 2012   09:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:43 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Lucut saja radang ini. Sebab bumi bukan lagi kertas nasi. Namun satu dua persimpanganmu yang rembesi pori-pori kepalaku. Lewat sela-sela rambut, adalah malam-malam yang mendadak onar. Tapi bukankah pengertian memang tak pernah dibuat dari berjebah salam salam; sambung-sambung sapaan; seribu satu rasian. Orang biasa membuat pengertian dari setandan pisang masak pada tiap-tiap pohon. Dan, teman, pengertian harus diciptakan dari sira yang rileks mengental pada patah-patah ombak ulang-alik yang berkelaluan.

Sementara itu, waktu adalah tipikal yang merusak sekaligus melahirkan prospek-prospek dalam rat--acap menggenang kemuakan yang meluat, juga perjumpaan-perjumpaan baru yang manis esok-esok hari. Waktu di zaman kita bertukar kerentaan dan kanak, saat darah menderu di ketukannya empat per empat. Yang membisu adalah kematian sia-sia. Seperti juga deadline-deadline yang bisu selalu menjadi hantu yang menyeringai sepanjang hari-hari. Nurani mati. Aku asing.

Apa pendapatmu tentang hantu, hai temanku orang asing? Bukankah itu samudra yang tidak pernah diselami. Atau padang-padang yang tidak pernah dijelajahi. Atau gunung-gunung tinggi tinggi. Atau muka depan zaman yang belum dilalui. Adakah hantu yang layak ditakuti hanya sebab tak dimengerti? Adakah yang benar-benar dapat dimengerti? Manusia takut hantu, namun terbiasa mencintai keabadian dalam bungkus-bungkus cokelat kemasan instan. Cokelat-cokelat yang beku. Waktu beku. Keabadian hangat melumer dalam tiap-tiap senyuman. Sayang, selalu juga ada yang membeku karena perangai kebodohan.

Karenanya, biar saja waktu itu, tapi jangan ia harus mendayung perahu. Karena sementara itu kepala-kepala meledak dalam guci-guci tua. Serta dendam yang berenang-renang dalam nadi-nadi kita. Biarkan kejujuran saja memegang caisnya. Sebab harapan, teman, sepeti biasa, dalam kenyataan adalah sejahat-jahatnya iblis yang mengulur-ngulur tragedi.

Maka lucut saja radang ini. Sebab bumi selalu memiliki paginya sendiri.

Dan bila suatu hari hujan turun di bulan ini, maka semoga masih cukup satu lagi samudra yang tersisa.

Ah... bila kau bertanya?

Apa?

Apa itu cinta?

Itu yang selalu aku lupa.

Ra.Ya.P.

13 November 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun