Peristiwa macet akibat genangan air dan banjir semalam masih membekas di benak pengendara, termasuk saya. Kemacetan paling parah yang baru saya alami selama tinggal di Jakarta.
Sejak keluar mengantri kendaraan, hanya untuk keluar kompleks kantor di daerah Jakarta Pusat yang menghabiskan waktu hampir 1 jam. Hingga masuk ke jalan raya dan berupaya untuk masuk tol tomang menuju alam sutra adalah pergulatan fisik dan bathin yang cukup melelahkan.
Belum lagi melihat kerumunan orang-orang yang menanti kendaraan umum, bus atau metro mini yang berjubel di pinggir jalan. Berdiri berjam-jam menanti angkutan yang tak pasti datangnya tentu bukan hal yang menyenangkan.
Setelah mendapat kendaraan, tantangan lain siap mengancam. Bus atau metro mini mogok dan kemacetan yang berlangsung terlalu lama adalah bentuk penyiksaan lain. Padahal banyak penumpang yang berdiri kegerahan, hingga akhirnya mereka terpaksa turun dan berjalan kaki sambil berharap lalu lintas menjadi semakin lancar dan kendaraan umum lain akan lewat.
Saya yakin dalam benak setiap orang yang mengalami hal serupa, akanbertanya dalam hati, apa yang sebenarnya yang sudah dilakukan pejabat dan pemimpin Jakarta untuk mengatasi masalah kemacetan, banjir dan genangan air ini. Padahal masalah serupa sudah kerap terjadi dari waktu ke waktu. Nyatanya bukan perbaikan yag didapat, melainkan keadaanyang semakin parah. Parah banget.
Sebagai bagian dari warga Jakarta, sudah sepantasnya kita menuntut perbaikan dan pembenahan atas masalah ini. Warga ingin melihat bukti secara nyata perbaikan itu, sekarang, bukan lagi dalih-dalih, ngeles, atau perumpamaan bodoh yang kerap kali dilontarkan birokrat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H