Menurut Samovar, Porter, dan McDaniel (2010), komunikasi lintas budaya atau antar budaya terjadi ketika anggota dari satu budaya tertentu memberikan pesan kepada anggota dari budaya yang lain. Lebih tepatnya, komunikasi antar budaya melibatkan interaksi antara orang-orang yang persepsi budaya dan sistem simbolnya cukup berbeda dalam suatu komunikasi. Komunikasi lintas budaya atau antar budaya adalah komunikasi yang terjadi antara individu atau kelompok yang berbeda budaya.
Sedangkan Martin & Nakayama (2007) memberikan informasi lebih mendalam tentang komunikasi dalam konteks lintas budaya. Menurut mereka, pemahaman tersebut harus dimulai dari memahami konsep budaya dan komunikasi terlebih dahulu dan kemudian memahami kaitan di antara kedua konsep tersebut. Martin & Nakayama (2007) menjelaskan budaya sebagai pola dari perilaku dan sikap yang dipelajari dan dibagi oleh sekelompok orang. Sedangkan komunikasi adalah sebuah proses simbolik dimana realitas di produksi, dijaga, diperbaiki, dan di transformasikan. Berdasarkan dua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara komunikasi dan budaya sangat kompleks dan rumit. Budaya mempengaruhi komunikasi dan diresmikan serta dikuatkan melalui komunikasi. Komunikasi juga dapat menjadi sebuah cara dalam memerangi dan menolak budaya dominan.
Jelas dari penjelasan sebelumnya bahwa ada hubungan yang erat dan kuat antara komunikasi dan budaya sehingga penting untuk memahami dan memperoleh pengetahuan tentang komunikasi lintas budaya. Terutama di tengah tekanan zaman modern yang diciptakan oleh globalisasi dan teknologi. Mempelajari komunikasi lintas budaya sangat penting karena Indonesia adalah negara kosmopolitan dengan banyak etnis dan tradisi budaya yang berbeda, menjadikannya semakin penting untuk menjaga perdamaian antar budaya dan mencegah perselisihan.
Indonesia memberikan ide politik yang baru setelah runtuhnya era Orde Baru. Dapat dikatakan bahwa era reformasi fundamental lebih demokratis dan lebih terbuka. Tentu saja, ini terkait erat dengan globalisasi yang semakin intensif yang telah mempengaruhi seluruh dunia. Gejolak kebebasan berekspresi dan berpikir seolah melanda Indonesia. Globalisasi dan demokrasi memiliki banyak efek positif, tetapi banyak juga beberapa efek negatifnya. Salah satunya adalah eskalasi ketegangan antar suku dan masyarakat yang menimbulkan gerakan separatis yang ingin keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Indonesia adalah negara yang memiliki jumlah suku bangsa atau etnis yang terbanyak di dunia. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2010 lalu, mendapatkan data mengenai total keseluruhan etnis di Indonesia, di mana etnis Jawa menempati peringkat pertama dengan jumlah 83,86 juta jiwa atau sebesar 41,71% dari total etnis yang ada di Indonesia. Urutannya diikuti oleh etnis Melayu (6.94 juta/3,45%), Madura (6.77 juta/3,37%), Batak (6.07 juta/3,02%), Minangkabau (5.47 juta/ 2,72%), Betawi (5.04 juta/2,51%), Bugis (5.01 juta/2,49%), Banten (4.11 juta/2,05%), Banjar (3.49 juta/1,74%), Bali (3.02 juta/1,51%), Sasak (2.61 juta/1,3%), Makassar (1.98 juta/0,90%), Cirebon (1.89 juta/0,94%), dan Tionghoa (1.73 juta/0,86%).
Berdasarkan temuan data tersebut, jelaslah bahwa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak suku dan suku bangsa yang berbeda-beda sehingga menjadi bangsa yang multikultural dan sangat majemuk. Keragaman budayanya membuat Indonesia menjadi bangsa yang memiliki banyak potensi konflik. Indonesia tidak hanya memiliki penduduk yang beragam dari segi ras dan suku, tetapi juga lebih banyak perbedaan dari segi kepercayaan dan budaya. Semua ini tercampur menjadi satu di Indonesia. Sebut saja contoh kasus konflik antaretnis yang terjadi di Poso. Contoh ini menunjukkan bahwa sedikit gesekan dalam perbedaan ini dapat menimbulkan konflik yang luar biasa.
Konflik Poso adalah konflik sosial yang terjadi Sulawesi Tengah pada tanggal 24 Desember 1998 hingga 20 Desember 2001. Insiden saat itu terjadi karena pertikaian antar-pemuda yang kebetulan berbeda agama. Konflik tersebut melibatkan kelompok agama dan etnis yang berbeda antara umat Islam dan umat Kristen serta antara etnis Pamona dan etnis Poso. Akan tetapi, lantas memunculkan sentimen keagamaan yang cukup tajam antara umat Islam dan Kristen lantaran bertepatan dengan momen perayaan Natal dan Ramadan yang bersamaan. Isu tersebut berkembang sedemikian rupa hingga akhirnya mengakibatkan perpecahan. Namun begitu, Komnas HAM pada saat itu meyakinkan bahwa kerusuhan yang muncul bukan disebabkan karena ketegangan antar-agama atau etnis tertentu.
Konflik Poso menggambarkan sulitnya komunikasi lintas budaya antara penduduk Muslim dan Kristen yang mungkin disebabkan oleh perbedaan nilai, kepercayaan, dan budaya. Komunikasi yang tidak efektif antara kedua belah pihak merupakan salah satu hal yang dapat memperparah perselisihan ini. Sangat penting dalam keadaan seperti ini bahwa kedua kelompok menyadari dan menghormati perbedaan dan nilai budaya satu sama lain. Melalui komunikasi terbuka, pengenalan budaya dan kepercayaan satu sama lain, serta perluasan kemungkinan keterlibatan yang konstruktif, upaya dapat dilakukan untuk menumbuhkan pemahaman dan toleransi yang lebih besar di antara etnis.
Dari studi kasus konflik Poso tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya perbedaan budaya anatara etnis di Poso, Selawesi Tengah. Adanya interaksi antara dua orang atau lebih dengan latar budaya yang berbeda terkadang menimbulkan adanya pertikaian. Komunikasi lintas budaya dinilai sangat penting dalam mengurangi ketegangan serta meningkatkan pemahaman antar kelompok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H