Kepemimpinan Adolf Hitler dipengaruhi oleh konsep "Darwinisme Sosial," yang menerapkan prinsip evolusi Darwin untuk membenarkan ideologi nasionalis ekstrem dan rasial yang ia anut. Dalam pandangan ini, masyarakat dianggap berada dalam persaingan konstan untuk bertahan hidup, di mana hanya yang "terkuat" atau "terbaik" yang layak bertahan. Berikut adalah ciri-ciri utama Darwinisme Sosial yang diterapkan dalam kepemimpinan Hitler:
Perjuangan Historis sebagai Kompetisi untuk Bertahan Hidup: Dalam ideologi Hitler, sejarah adalah arena di mana berbagai kelompok masyarakat berkompetisi untuk menjadi yang paling unggul. Ia menganggap bahwa sebuah kelompok yang memiliki kemampuan bertarung dan beradaptasi yang terbaik akan menjadi kelompok yang bertahan dan mendominasi. Pandangan ini mendasari tindakan Hitler untuk "menguatkan" Jerman dengan cara-cara yang brutal, di mana segala bentuk kelemahan harus dihilangkan demi kejayaan bangsa.
Masyarakat sebagai Satu Kelompok Etnis Tertentu: Hitler melihat masyarakat sebagai satu entitas homogen yang harus berasal dari etnis atau ras yang sama. Dalam kasus Jerman, ia menekankan kemurnian ras "Arya" sebagai bentuk superioritas dan menganggap etnis atau kelompok lain sebagai ancaman terhadap kekuatan dan kejayaan negara Jerman.
Penolakan terhadap Perkawinan Antar-Etnis: Menurut Hitler, percampuran antara etnis "unggul" dengan etnis lain akan membawa kemunduran dan kehancuran. Ini melatarbelakangi kebijakan rasialnya yang melarang pernikahan dan percampuran antara etnis Arya dengan kelompok lain, terutama dengan kelompok yang ia anggap "lebih rendah." Penolakan ini berujung pada kebijakan-kebijakan diskriminatif dan persekusi sistematis terhadap kelompok-kelompok tertentu.
Persaingan Tak Berhenti untuk Bertahan Hidup: Dalam ideologi Hitler, setiap kelompok etnis dianggap selalu berada dalam pertarungan tanpa henti untuk bertahan hidup. Kondisi ini dianggap sebagai hal yang alami dan tak terhindarkan. Perang, dalam pandangannya, adalah cara alami bagi bangsa yang kuat untuk bertahan dan mengeliminasi yang dianggap lebih lemah. Keyakinan ini mendasari kebijakan agresifnya dalam melakukan ekspansi wilayah dan melancarkan perang terhadap negara-negara lain.
Pandangan Hitler yang mengadopsi Darwinisme Sosial ini memberikan dasar ideologis bagi kebijakan-kebijakan agresif dan rasial yang diterapkan oleh rezim Nazi. Ide bahwa hanya yang "terkuat" yang layak bertahan telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa, terutama bagi kelompok-kelompok yang ia anggap tidak layak untuk menjadi bagian dari masyarakat idealnya.
Pada tahun 1935, Hukum Nuremberg diberlakukan untuk memperkuat kebijakan rasial yang dikembangkan oleh Nazi. Hukum ini bertujuan untuk mengatur dan mengklasifikasikan warga negara Jerman berdasarkan garis keturunan mereka. Orang Yahudi dan individu berdarah campuran dilarang untuk menikah dengan non-Yahudi dan dibatasi dalam berpartisipasi dalam kehidupan sosial serta pekerjaan publik. Hal ini mencakup larangan bekerja sebagai PNS, pengacara, dokter, atau profesi lain yang memegang peran penting.
Hukum ini bertujuan untuk menjaga kemurnian ras Arya dengan mencegah percampuran ras yang dianggap merusak. Hitler dan Partai Nazi percaya bahwa pengaruh genetik dari kelompok yang dianggap "inferior" dapat melemahkan bangsa Jerman. Kebijakan ini menciptakan segregasi yang mendalam di masyarakat dan mendukung upaya Nazi untuk mengukuhkan dominasi kelompok Arya dalam setiap aspek kehidupan sosial dan politik.
Hukum Nuremberg diterapkan dengan dukungan penuh dari aparat negara dan lembaga-lembaga hukum. Pengawasan ketat dilakukan untuk memastikan bahwa tidak ada pernikahan campuran atau pelanggaran terhadap peraturan ini. Propaganda digunakan untuk membenarkan kebijakan ini dan menanamkan kebencian terhadap orang Yahudi serta kelompok lain, sehingga mempermudah penerapan hukum tersebut di tengah masyarakat.