Beberapa waktu yang lalu, Indonesia tengah dihebohkan kehadiran produk aneka es krim dan teh bernama Mixue yang menyebar secara cepat di setiap pelosok daerah di Indonesia. Maka tak heran jika Mixue ini sering kali disebut sebagai "pemburu ruko kosong" oleh warganet Indonesia karena hampir di setiap ruko kosong tak lama kemudian sudah menjadi cabang Mixue. Lantas, yang menjadi pertanyaan penulis adalah bagaimana Mixue mampu mengembangkan bisnisnya dengan sangat luas ? apa rahasianya ? Lalu apa dampak yang ditimbulkan dari ekspansi Mixue terhadap  ekonomi politik internasional ?
Sebelum membahas terkait strategi ekonomi dan dampak dari Mixue, alangkah lebih baik jika kita mengetahui sejarah singkatnya. Mixue Ice Cream & Tea merupakan perusahaan es krim dan teh yang didirikan pada tahun 1997 oleh seorang mahasiswa bernama Zhang Hongchao dari Universitas Henan, Tiongkok. Zhang hidup bersama keluarga yang kurang mampu, ayah dan ibunya bekerja sebagai petani.Â
Maka dari itu, alasan Zhang mendirikan Mixue adalah untuk mengurangi beban ekonomi orang tuanya. Meskipun dilahirkan dari keluarga miskin, ternyata Zhang juga memiliki ketertarikan mempelajari dunia bisnis sejak di bangku SMP. Setelah mempelajari banyak hal tentang bisnis, Zhang langsung memulai langkah kecilnya dengan membuka usaha es krim. Modal usaha Zhang berasal dari pinjaman uang neneknya sebesar 4 ribu yuan atau Rp.7000.000.Â
Kendati ditimpa banyak sekali tantangan, tetapi rasa keyakinan dan semangat Zhang untuk menjalankan usaha eskrimnya tidak pernah pudar, maka dari itu impian Zhang untuk mengurangi beban ekonomi orang tuanya terwujud. Lantaran produk es krim Mixue ala Zhang telah menjadi salah satu perusahaan es krim terbesar di dunia.
Kini perusahaan Mixue terus berkembang dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat berdasarkan data yang diambil dari Momentum Work, yaitu pada tahun 2021 Mixue menempati posisi ke lima sebagai perusahaan Food and Beverages (F&B) terbesar di dunia dengan total sebanyak 21.582 toko, dan memiliki keuntungan sebesar 10,3 milliar Yuan atau sekitar Rp 23,1 trilliun. Mixue terus melakukan ekspansi ke beberapa negara tetangga khususnya di wilayah Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Kamboja, Laos, Myanmar, dan Indonesia.Â
Perusahaan Mixue masuk pertama kali ke Indonesia sekitar tahun 2020-2021. Mengutip dari CNBC Indonesia, Mixue telah memiliki lebih dari 1000 gerai meskipun baru hadir selama dua tahun di Indonesia. Tak dapat dipungkiri bahwa kehadiran Mixue sempat viral karena sering ditemui gerai Mixue hampir di setiap pelosok daerah. Saking menjamurnya perusahaan Mixue, warganet Indonesia sampai-sampai membuat lelucon di media sosial. Contoh lelucon itu seperti "Beri satu ruko kosong maka akan kujadikan outlet Mixue," ada juga yang mengatakan "Jangan biarkan hatimu kosong nanti akan ditempati Mixue."Â
Selain itu, Mixue juga menyajikan es krim dengan harga penjualan yang cukup murah. Â Satu es krim Mixue memiliki harga antara Rp. 8000-Rp. 18.000, sedangkan untuk menu lainnya seperti aneka teh cukup membayar kisaran Rp. 10.000-Rp. 22.000. Maka tak heran jika Mixue menjadi produk F&B yang sangat laris di kalangan anak muda. Lantas, kajian diatas tentu menarik perhatian penulis untuk menganalisis bagaimana Mixue bisa menjadi produk F&B yang cukup murah sehingga menjadi favorit anak -anak muda ? dan bagaimana Mixue bisa mengembangkan bisnisnya dengan sangat luas ?
Kenikmatan yang Sementara ?
Sesuai dengan tajuk artikel ini yaitu tentang Mixue-isasi, sebenarnya istilah Mixue-isasi merupakan adopsi dari istilah McDonaldisasi yang pernah disampaikan oleh George Ritzer melalui tulisannya tentang The McDonaldization of Society edisi ke-enam tahun 2011. Menurut Ritzer, Mcdonaldisasi adalah istilah untuk menggambarkan fenomena munculnya industri-industri raksasa yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat. Ritzer menggunakan McDonald's sebagai istilahnya karena pada tahun 1980-an terdapat lebih dari setengah restoran McDonald's yang dibangun di luar Amerika Serikat, sehingga dapat dikatakan bahwa perusahaan cepat saji ini merupakan perusahaan yang sukses besar di arena internasional.
Maka dari itu, dalam konteks Mixue yang awalnya muncul Mcdonaldisasi kemudian bergeser menjadi era Mixue-isasi mungkin menjadi hal yang sangat relevan. Pasalnya, Mixue lebih menjadi perbincangan publik dibandingkan kompetitor luar Tiongkok semacam Amerika Serikat dengan produk-produknya seperti McDonald's, Starbucks, KFC, dan Burger King. Kegemilangan era Mixue-isasi ini tentu menjadi motivasi-motivasi bagi para industri dalam negeri untuk dijadikan sebagai role model terbaik dalam dunia bisnis. Berkat kalkulasi dan strategi yang apik, Mixue mampu menunjukkan kapabilitasnya sebagai perusahaan F&B terbesar yang dapat bersaing dengan negara-negara barat.
Kesuksesan Mixue tentu tidak dapat terlepas dari cara marketing yang digunakannya  untuk membantu mencapai target pasar khususnya kepada anak muda. Dosen Strategi Pemasaran UNAIR, Prof. Dr. Sri Hartini, S.E., M.Si. menyampaikan bahwa Mixue memiliki strategi marketing yang baik, salah satunya dalam menentukan harga (Price). Prof. Hartini menyampaikan jika Mixue menggunakan teori penetration pricing dalam teori marketing strategy. Jadi, penetration pricing merupakan strategi untuk menetapkan harga produk yang murah dengan tujuan untuk memudahkan jangkauan pasar. Penerapan harga rendah ini sudah nampak jelas bahwa Mixue menyasar target pasar kaum menengah kebawah. Oleh karena itu tak mengherankan lagi jika hampir sebagian besar pelanggan Mixue di Indonesia didominasi oleh anak-anak muda.