Mohon tunggu...
Rayhan Fakhriza
Rayhan Fakhriza Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiwa

Mahasiswa biasa yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita yang Jatuh Cinta pada Buku Pertama

6 Maret 2021   12:59 Diperbarui: 6 Maret 2021   13:08 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kawan-kawan saya yang baik, sudah sangat lama sejak terakhir kali saya menulis di laman Kompasiana. Kesibukan di perkuliahan serta organisasi dan aktivitas lainnya menjadi salah satu alasan mengapa saya tidak berbagi di laman ini selama beberapa bulan. 

Nampaknya, istilah "Tuhan bersama mahasiswa semester 5" menjadi sesuatu yang relevan dan benar-benar terjadi pada saya. Terlebih dengan sulit dan menantangnya mata kuliah di bidang Fisika ditambah dengan perkuliahan secara daring.

"Kita yang Jatuh Cinta pada Buku Pertama", sebuah kalimat yang saya jadikan judul tulisan ini. Melalui judul ini, saya ingin membagikan sedikit pemikiran yang tersangkut di pikiran saya akhir-akhir ini. 

Tentu saja tulisan ini akan mengarahkan kawan-kawan semua tentang minat baca buku. Namun tulisan ini saya tujukan agar para pembaca sekalian dapat melihat adanya sebuah kebiasaan buruk dari membaca buku yang tanpa sadari kita lakukan. Namun sebagaimana biasanya, saya akan bercerita terlebih dahulu.

Sebagai mahasiswa, saya berusaha semaksimal mungkin mencari cara yang mudah dan masuk akal dalam menjalani perkuliahan secara daring. Walau sebagian besar terjadi banyak kemudahan dan kompromi yang dilakukan, namun penurunan kualitas pemahaman menjadi hal wajar. 

Pembelajaran daring menyebabkan tugas yang menumpuk namun pemahaman yang berkurang ( saya yakin kawan-kawan sependapat ). Ibarat seorang pekerja yang bekerja lembur namun gajinya tidak bertambah atau malah berkurang (karena pandemi).

Perkuliahan menjadi sesuatu yang tidak terlalu menyenangkan. Padahal, menuntut ilmu seharusnya bisa dilakukan dengan hati bahagia dan perasaan senang. Sehingga tidak sedikit di antara mahasiswa yang memilih untuk mencari aktivitas lain yang lebih menyenangkan dan mengesampingkan perkuliahan atau pembelajaran. 

Dari kenyataan ini, muncul sebuah trend baru di mana orang-orang mulai mengerjakan hobi. Dari mulai hobi berkebun dan merawat tanaman -- termasuk keluarga saya yang entah bagaimana menjadi hafal dengan nama latin suatu tanaman -- hingga berolahraga atau mulai menulis di laman online seperti Kompasiana.

Kawan-kawan saya yang baik, saya ingin berbagi sedikit cerita tentang hobi yang saya lakukan dan pemahaman yang saya dapatkan dari hobi saya. Sebagai seorang yang tidak pandai menggunakan kemampuan motoriknya, aktivitas seperti olahraga kurang saya perhatikan (walau saya mulai mengerti manusia tetap butuh bergerak). 

Saya memilih membaca buku sebagai kegiatan yang saya lakukan di sela-sela aktivitas perkuliahan dan organisasi. Saya mengerti bahwa mungkin kawan-kawan semua memandang hobi saya terdengar membosankan. Tetapi menurut saya, membaca buku menjadi pelarian yang menyenangkan dari realita.

Di antara beberapa buku yang saya baca, saya tertarik pada buku-buku biografi dan sejarah. Mungkin sudah kebiasaan lama sejak saya kecil untuk lebih memilih buku-buku "serius" ketimbang buku-buku dengan genre yang lebih menyenangkan. 

Ayah saya yang menyadari hal ini, dahulu hanya membolehkan buku-buku yang judulnya ia setujui. Semasa saya duduk di bangku SMP, kami sekeluarga sering diajak oleh Ayah kami ke toko buku. 

Setiap kali itu pula, buku-buku yang ingin kami baca harus melalui proses "kurasi" terlebih dahulu oleh Ayah. Namun semenjak saya mahasiswa, saya bisa lebih bebas memilih buku yang saya inginkan.

Saya menyukai buku-buku sejarah dan biografi dibandingkan buku-buku komik atau pengembangan diri. Alasannya sebetulnya cukup mudah. Menurut saya, buku-buku pengembangan diri sangatlah relevan namun saya lebih memilih belajar dari keteladanan yang sudah dicontohkan oleh tokoh-tokoh terdahulu. 

Para tokoh bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, dan banyak lagi tentu saja sudah melalui proses pengembangan diri yang sudah bukan sekadar teori. Mereka tentu saja sudah hidup sambil memakan asam garam kehidupan.

Salah satu tokoh yang saya kagumi adalah Bung Hatta dan minatnya terhadap membaca buku. Hal ini menarik minat saya untuk mengetahui lebih dalam terkait dengan kebiasaan beliau dalam membaca buku. 

Dalam sebuah buku yang ditulis oleh ketiga Putri beliau, saya mendapatkan pemahaman tentang kebiasaan beliau tentang buku. Beliau mengajarkan ketiga putri beliau untuk membaca buku dengan adab yang baik -- duduk yang rapih, buku di meja serta tangan dilipat -- tidak seperti kebanyakan kita yang membaca buku sambil tiduran atau selonjoran. Namun dari banyak kebiasaan itu, perlu digarisbawahi bahwa Bung Hatta tidak hanya membaca satu buku.

Kawan-kawan semua pasti bingung dengan kalimat saya barusan. Mungkin juga ada yang berpikir, "lha iyo, mosok Bung Hatta cuman baca satu buku". Saya mengerti, namun bukan itu maksud saya. 

Sejarah mencatat bahwa Bung Hatta membaca banyak sekali buku sampai-sampai perlu banyak peti untuk membawa buku Beliau dari Belanda ke Hindia. Namun, yang saya maksud dari kalimat tersebut adalah, Bung Hatta tidak hanya membaca satu genre buku.

(Ini bagian yang berat) Beliau dikenal sebagai orang yang mencetuskan Koperasi sebagai salah satu penyangga perekonomian bangsa. Perlu diketahui kawan-kawan, Beliau membaca buku ekonomi dari berbagai aliran dahulu baru kemudian merancang Koperasi itu sendiri. 

Dari banyak buku yang beliau baca, rasanya mustahil apabila semua buku tersebut memiliki ideologi yang sama. Kapitalisme maupun komunisme, saya rasa pastilah ada buku-buku berhaluan itu dari sekian banyak koleksi beliau. 

Dari pemahaman yang beliau dapatkan dari ideologi yang berbeda, barulah Beliau merancang perkoperasian dan perekonomian Pancasila sebagai sistem perekonomian.

Membaca buku dari berbagai ideologi, mungkin terdengar aneh di telinga kita. Mungkin banyak dari kita bingung, apakah hal itu betul-betul baik untuk kita. Sehingga tidak jarang, banyak di antara kita yang langsung jatuh cinta pada buku pertama yang kita baca. 

Kita layaknya telah berhasil menemukan kitab  suci di barat dan langsung percaya hidup dan mati ke pada isi buku tersebut. Kemudian tanpa disadari, kita terlampau cinta pada buku itu sehingga lupa kalau kita punya kehidupan, keluarga dan sahabat yang mungkin saja berbeda pendapat di luar sana.

Kawan-kawan saya yang baik, bangsa ini seharusnya bisa bersatu terlepas dari apa yang kita anggap benar. Karena sesungguhnya, pandangan apapun yang kita percayai seharusnya tidak menghalangi kita untuk menjadi pendengar yang baik. 

Para pendiri Bangsa ini telah memberikan contoh bahwa selalu ada hal yang baik yang datang dari mendengarkan perbedaan pandangan. Terkadang, kita hanya disuguhi berita atau pandangan yang sama setiap harinya. Padahal, bangsa ini bisa besar dengan pengertian akan perbedaan.

Buku pertama selalu indah untuk dibaca, terlebih untuk memulai minat baca. Namun tidak ada gunanya belajar pada satu ilmu yang sama. Bagaimanapun juga, alam semesta tidak dipelajari dari satu buku yang sama.

Marilah kita memperdalam pemahaman kita dengan menambah wawasan dari sudut pandang yang berbeda. Penyelesaian masalah di masa yang akan datang akan mengharuskan kita mengetahui perspektif yang berbeda.

Belum lagi masalah minat baca di Indonesia yang masih rendah. Masih banyak anak Indonesia yang memiliki akses yang kurang terhadap buku atau sumber pengetahuan yang lain. 

Mungkin kita merasa bahwa teknologi digital bisa menjadi solusi dalam mengatasi rendahnya minat baca. Namun kita lupa sebuah kenyataan bahwa masih banyak saudara-saudara kita yang tidak memiliki akses terhadap teknologi. Sehingga dalam keadaan apapun, saya tetap merasa buku adalah media ilmu yang akan relevan.

Saya tidak ingin membahas fanatisme yang dihasilkan oleh pandangan tertentu. Saya ingin menggarisbawahi tentang adanya kemungkinan terbukanya wawasan kita dari mendengar perbedaan pandangan atau sekadar belajar dari sudut pandang yang berbeda. 

Ketidaksukaan kita pada paham tertentu tidak boleh menghalangi kita dalam mengakui orang lain sebagai saudara kita. Adalah suatu hal yang normal manusia memiliki kecenderungan untuk percaya pada satu hal. 

Namun pengetahuan apapun yang kita miliki tidak boleh mengalahkan kemanusiaan dan persaudaraan di antara kita.

Kawan-kawan saya yang baik, sebagai penutup saya ingin memberikan sedikit pandangan saya terkait pendiri bangsa. Bung Karno pernah berkata bahwa Beliau lebih menyukai anak muda yang merokok dan minum kopi sambil berdiskusi tentang bangsa ini daripada pemuda kutu buku yang memikirkan dirinya sendiri. 

Namun, ini tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai orang yang kutu buku. Karena bagaimanapun juga, Bung Hatta adalah seorang kutu buku yang berjuang bagi bangsanya. Salam hangat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun