Mohon tunggu...
Rayhan Fakhriza
Rayhan Fakhriza Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiwa

Mahasiswa biasa yang sedang belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mari Menjadi Pribadi yang "Ngajeni Wong"

20 Juni 2020   07:00 Diperbarui: 20 Juni 2020   15:52 822
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan: Karena Alasan Tertentu, saya tidak mencantumkan nama-nama dalam tulisan ini.

Saya merupakan seorang mahasiswa fisika di Universitas Airlangga. Sudah 4 semester saya menekuni ilmu yang satu ini di sebuah kota yang mengubah cara saya melihat indahnya hidup. 

Surabaya Kota Pahlawan. Dari kota inilah, saya melihat kebersamaan adalah sesuatu yang nyata dan kita sebagai manusia selalu punya hidup yang indah untuk dijalani.

Suatu ketika saya dan teman-teman saya baru saja menyelesaikan kelas kami. Namanya mahasiswa fisika yang kalau sudah masuk kelas, bisa dipastikan nanti keluar kelas dengan keadaan yang berbeda. 

Kepala terasa berasap, mata terasa lelah dan hati tak karuan. Kami terlihat seperti orang-orang bingung dan satu-satunya obat adalah nyangkruk.

Nyangkruk artinya nongkrong dalam bahasa jawa pergaulan atau ngoko. Surabaya menambah kosa kata baru bagi saya si anak rantau, termasuk kata-kata yang konotasinya cacian tetapi tentu saja tidak akan saya sebut dalam tulisan kali ini. Yang jelas, kami langsung mencari warung kopi yang bisa jadi tempat nyangkruk sampai malam.

Setibanya kami di warung kopi, biasanya kami langsung main game favorit. Kalau bukan Mobile Legends, biasanya PUBG. Tetapi ada beberapa di antara kami yang asyik mengobrol, termasuk salah satunya saya. 

Kami bisa membahas banyak hal di cangkruk-an kami. Dari mulai politik kampus, politik negeri, ngomongin masa depan sampai gibahin teman angkatan.

Hingga sampailah kami di suatu pembicaraan yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Teman saya berkata ke pada saya, “Han, koyok e kita onok salah ambek konco kita” yang artinya, “Han, kayaknya kita ada salah sama teman kita”. “Loh salah apa kita?” jawab saya kaget.

“Koyok e kita bercanda kelewatan deh Han”. “Aku ndelok De’e rodo mangkel ambek kita” yang artinya, “Aku ngeliat dia agak kesal sama kita”. Belum sempat saya menanggapi, teman saya satu ini langsung berkata, “Ancen lek nang Suroboyo, kon kudu ngajeni wong Han”.

Sontak karena saya yang anak rantau masih belajar bergaul di Surabaya bertanya, “Ngajeni Wong iku opo lur?” (Lur merupakan singkatan dari kata Dulur yang artinya saudara). Teman saya menjawab, “Ngajeni Wong iku artinya menghargai orang Han”.

Saat kata Ngajeni Wong itu saya dengar untuk pertama kalinya, yang ada di benak saya adalah “Memangnya saya tidak menghargai dia ya?”. Memangnya menghargai seperti apa sih yang menyebabkan saya bisa punya masalah sama orang. Jujur saya adalah orang paling males untuk punya masalah.

Aku lantas bertanya dengan polosnya, “Memangnya aku tidak menghargai dia ya?”. 

Temanku yang masih menyeruput kopinya itu lantas meletakkan gelas kopinya dan menjawab, “Kon lek nang Suroboyo, kon gak senyum ambek wong liyo ae isok duwe masalah ambek wong iku. Paling parah kon isok gepuk-gepukan ambek wong Han” yang artinya “Kamu kalau di Surabaya, kamu gak senyum sama orang lain bisa punya masalah sama orang itu. Paling parah kamu bisa berantem sama orang Han.”

Saya masih tidak percaya. Bagaimana bisa saya tidak senyum bisa menyebabkan saya bertengkar dengan orang. Otak polos saya masih tidak bisa membayangkan saya harus berantem karena saya tidak senyum kepada seseorang.

Singkat cerita saya dan teman saya terlibat obrolan yang sangat serius tentang kata Ngajeni. Ternyata saya baru tahu, orang-orang di daerah termasuk Jawa Timur terbiasa untuk menghargai orang. Bahkan untuk senyum kepada orang yang tidak dikenal sekalipun merupakan sebuah kebiasaan yang tidak terlepaskan.

Menghargai orang yang paling sederhananya bisa dengan memberikan senyuman kepada orang lain menjadi alasan kenapa orang-orang di daerah termasuk Kota Surabaya sangat ramah. 

Ternyata, ini toh alasan kenapa orang Indonesia terkenal ramah kepada orang lain. Bukan sekadar menghormati, tetapi Ngajeni Wong atau menghargai orang lain menjadi alasannya.

Contohnya saja saya pernah terlibat suatu obrolan yang dalam dengan seorang Bapak pensiunan atlet. Obrolan itu terjadi di pool bus saat saya dan teman-teman saya sedang mereservasi bus untuk kegiatan angkatan. 

Obrolan dengan Bapak tersebut terjadi begitu saja dan beliau dengan bangganya menceritakan pengalaman beliau mendaki gunung-gunung tertinggi di dunia. 

Obrolan singkat itu terjadi bukan karena kenal satu sama lain, tetapi karena senyuman dan Bapak tersebut ingin berbagi pesan kepada kami anak muda untuk tetap semangat.

Ternyata menghargai orang merupakan suatu kebiasaan yang sudah mulai hilang dalam diri kita. Yang saya maksud bukanlah bukti konkret di sosial media seperti like, comment dan subscribe. 

Tetapi keseharian kita untuk selalu menebarkan senyum, menghadirkan tawa, mengucapkan terima kasih dan minta tolong itu yang jadi kunci menghargai orang yang paling sederhana.

Suatu ketika saat saya berada di suatu zebra cross dekat mall di daerah Surabaya Timur. Saya hendak menyebrang sambil dibantu oleh Bapak Satpam yang bertugas menjaga zebra cross tersebut. 

Saat saya menyeberang dan mengucapkan terima kasih kepada Bapak Petugas yang membantu saya, membuat saya tenggelam dalam pikiran saya sendiri.

Bagaimana kalau ucapan terima kasih kita akan menjadi suatu kebahagiaan tersendiri untuk orang lain. Karena saya yakin semua orang punya masalahnya masing-masing, tetapi dengan mengucapkan ucapan sederhana seperti terima kasih, akan memberikan kebahagiaan dan pelipur lara orang lain yang sedang punya masalah serupa.

Zaman mungkin berubah karena teknologi dan kemudahan komunikasi. Sosial media yang menjadi media sehari-hari kita terkadang membuat kita jauh dari lingkungan. Membuat kita jauh dari kata “sosialisasi” yang sebenarnya.

Teknologi boleh membuat kita lebih individualis. Menjauhkan kita dari keluarga, teman-teman dan tetangga yang seharusnya dekat dengan kita. Kurangnya sosialisasi terjadi di mana-mana khususnya kota-kota besar. Tidak heran apabila kita lupa menjadi pribadi yang menghargai orang lain.

Zaman boleh berubah. Smartphone dan teknologi lainnya boleh berada di genggaman. Melihat prospek investasi dan urusan pekerjaan boleh dikerjakan. Tetapi kepribadian kita untuk selalu menebarkan kebahagiaan untuk diri sendiri dan orang lain juga harus dipertahankan.

Marilah kita menjadi orang yang ngajeni atau menghargai sesama. Tidak perlu menghargai karya-karya mereka. Cukup dengan tersenyum atau mengucapkan terima kasih di keseharian kita akan memberikan sedikit kebahagiaan yang akan mewarnai hari orang lain tanpa kita duga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun