Mohon tunggu...
Rayhan Azhar Widyaputra
Rayhan Azhar Widyaputra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis, Pelukis, Perintis.

Hi, I'm new here!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Pity Score" dan Budaya Menyontek yang Dilestarikan Indonesia

6 Mei 2022   10:55 Diperbarui: 6 Mei 2022   10:57 842
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru yang sedang memberikan nilai (Edutopia)

Sistem pendidikan Indonesia,

Salah satu masalah terbesar pemerintahan Indonesia yang tidak pernah selesai. Pernahkah kalian bertanya-tanya, mengapa demikian? Tentunya ada banyak hal yang menjadi faktor kegagalan pendidikan Indonesia yang sampai saat ini masih perlu banyak perubahan, seperti tidak meratanya fasilitas pembelajaran, SDM yang masih belum bisa menyesuaikan diri di masa sekarang, sampai kurikulum pemerintah yang masih terasa sangat berantakan. 

Di antara semua masalah-masalah itu, sebenarnya masih ada loh masalah besar dalam sistem pendidikan Indonesia yang tidak kalah penting dengan contoh-contoh yang sudah disebutkan sebelumnya. Masalah yang ingin saya bahas di sini adalah mengenai sistem penilaian di Indonesia, khususnya yang sekarang masih diterapkan di jenjang SD hingga SMA. 

Pernah gak sih kalian mendapat nilai 70 saat kalian SMA dan merasa kalau kalian adalah murid yang bodoh? Aneh bukan? Padahal dalam skala nilai 1-100, nilai 70 seharusnya merupakan nilai yang sudah cukup tinggi dan berada di atas nilai tengah.

Ilustrasi murid yang merasa dirinya bodoh (A Conscious Rethink )
Ilustrasi murid yang merasa dirinya bodoh (A Conscious Rethink )

Namun di Indonesia, nilai 70 ini dianggap menjadi nilai yang wajar, nilai apa adanya, atau bahkan "nilai kasihan" atau Pity Score. Inilah yang menjadi akar permasalahan sistem penilaian di Indonesia yang sekarang, standar pendidikan yang terasa kompetitif, tetapi tidak bermakna.

Sistem penilaian yang sangat ketat, disertai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang selalu beranjak naik ini membuat banyak pelajar merasa kewalahan, alih-alih membuat pelajar semakin giat belajar, sistem penilaian seperti ini justru malah membuat pelajar jadi menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai yang tinggi.

Dengan sistem penilaian yang seperti itu, untuk mendapatkan validasi sebagai orang yang "tidak bodoh" saja kita harus meraih nilai yang jauh di atas rata-rata. Bahkan, KKM dengan nilai 75 atau 80 saja sudah terlihat sangat wajar di mata masyarakat sekarang, ini yang harus menjadi perhatian kita sekarang. Jika seperti ini, bagaimana dengan nasib pelajar yang ingin sungguh-sungguh belajar dengan jujur?

KKM yang sangat tinggi inilah yang akan menjadi alasan banyak pelajar melakukan kecurangan, jelas saja, dengan KKM yang tidak masuk akal seperti itu, hanya sekadar untuk lulus dari sekolah saja sudah terasa sangat sulit. Tidak aneh jika banyak sekali pelajar yang melakukan kecurangan demi mendapatkan sertifikat kelulusan. Inilah dia asal muasal dari budaya menyontek yang dengan rapihnya dilestarikan di dalam sistem pendidikan Indonesia.

Ilustrasi murid yang sedang menyontek (Shutterstock)
Ilustrasi murid yang sedang menyontek (Shutterstock)

Lebih parahnya lagi, sistem penilaian seperti ini berlaku untuk semua mata pelajaran. Bayangkan, kalian harus bisa menguasai belasan mata pelajaran yang sangat berbeda, masing-masing dengan nilai yang harus bisa memenuhi KKM. Anggapan tidak masuk akal ini akan membuat banyak pelajar di Indonesia merasa bodoh hanya karena mereka tidak pandai di salah satu pelajaran yang ada di sekolah mereka. Padahal, setiap orang pasti memiliki kelebihannya masing-masing. Apakah Albert Einstein harus pandai bermain basket untuk menjadi ilmuwan yang hebat? Tentu tidak, semua orang punya porsinya masing-masing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun