Ketika film di KKN di Desa Penari mulai tayang di khalayak bioskop Indonesia, tak ada yang menduga betapa hebat kesuksesannya. Sejak perilisannya pada bulan April lalu, film ini telah ditonton oleh lebih dari 9,18 juta orang, yang menjadikannya film asal Indonesia yang paling banyak ditonton dalam sejarah. Nuansa horornya ditambah dengan drama relatable antar keenam karakter utamanya tersebut, membuat film ini jadi favorit di antara pencinta film Indonesia. Namun, satu unsur dalam film tersebut yang cukup unik, yaitu nuansa budaya jawanya yang cukup kental. Meski film tersebut tidak memberi tahu latar tempat desanya, satu adegan dalam film tersebut nampaknya cukup jelas menunjukkan satu identitas geografis yang jelas. Ketika Widya dan Wahyu, dua mahasiswa yang ikut dalam program KKN di desa tersebut, diundang untuk mengikuti hajatan usai motor mereka mogok, mereka disuguhi dengan satu penampilan tarian cantik oleh Sang Badarawuhi. Terlihat jelas dalam adegan tersebut tarian itu tidak lain adalah tarian Gandrung, satu seni tari yang menjadi khas dalam masyarakat Osing di Banyuwangi.
Sejarah kemunculan tarian ini memiliki banyak versi. Salah satunya menyebut tari Gandrung muncul usai kejatuhan kerajaan Blambangan di tangan VOC. Kesenian ini menjadi pemersatu masyarakat Osing dan Banyuwangi setelah banyak orang Osing menjadi korban perang tersebut. Gandrung pertamanya ditarikan oleh kaum pria yang berdandan seperti perempuan. Bahkan penari Gandrung pertama adalah seorang laki-laki yang bernama Masran. Baru di akhir abad ke-19, Tari Gandrung mulai ditarikan oleh wanita. Tarian Gandrung terkenal dengan gerakannya yang anggun dan cepat dan disertai dengan iringan musik Gamelan Osing yang khas dengan suara kendang dan biolanya. Penari Gandrung biasanya berpakaian busana berwarna berwarna hitam yang dihiasi dengan ornamen berwarna emas dan manik-manik, yang ditambah lagi dengan ilat-ilatan yang menutup dada, kelat bahu di bagian lengan, dan ikat di bagian pinggang. Satu bagian busana penari Gandrung yang khas lain adalah adanya mahkota dengan pernak-pernik di bagian kepala yang bernama omprok.
Di Banyuwangi, Tari Gandrung bukanlah sekadar performa seni biasa, tapi sudah menjadi tradisi mendalam dalam masyarakat Osing. Tari Gandrung biasanya disuguhkan dalam menyambut musim panen raya, resepsi pernikahan, khitanan, serta acara spesial lainnya. Dahulu, secara tradisional Tarian Gandrung dilaksanakan dari malam sampai subuh dalam tiga tahapan tarian yaitu Jejer, Maju, dan Seblang Subuh. Namun, sekarang pertunjukan tari Gandrung hanya digelar 1 jam saja dalam bagian Tari Jejer Gandrung. Tarian Gandrung pun saat ini sudah menjadi ikon dari budaya Banyuwangi. Dimana-mana di daerah Banyuwangi patung-patung penari Gandrung menunjukkan bagaimana bangganya warga Banyuwangi terhadap eksistensi tari Gandrung ini.
Pemerintah Banyuwangi juga telah mempromosikan Tari Gandrung melalui berbagai event, seperti Tari Kolossal Gandrung Sewu, Tari Gandrung di bawah laut, dan juga pertunjukkan Tari Gandrung di berbagai kota lain seperti Jakarta dan Surabaya. Tari Gandrung pun sudah beberapa kali dipromosikan di luar negeri seperti di Jepang, Hongkong, dan Amerika Serikat. Melalui adegan tarian Gandrung di film KKN di Desa Penari tersebut, masyarakat umum pun mulai mengenal tari khas Banyuwangi. Aulia Sarah dan Aghniny Haque adalah penari yang membawa tarian tersebut dalam film KKN, dan mereka turut ikut melestarikan budaya tari Gandrung ini. Dalam film KKN ini juga, dapat dibuktikan bahwa film dapat menjadi media yang baik sebagai cara untuk memperkenalkan tradisi dan seni di Indonesia kepada para generasi muda.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H