Mohon tunggu...
Rayhan Abi Priyanto
Rayhan Abi Priyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi 23107030111 UIN Sunan Kalijaga

Saya memiliki sebuah hobi mendengarkan musik, juga mengikuti berita Tentang ototomotif Seperti motor, mobil dan lain sebagainya

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Menggali Potensi UMKM: Keberlanjutan Usaha Pembuatan Tempe Kedelai Tradisional

15 Juni 2024   11:37 Diperbarui: 15 Juni 2024   11:55 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah modernisasi dan kemajuan teknologi, ada satu usaha kecil yang tetap bertahan dengan cara tradisionalnya pembuatan tempe kedelai. Tempe, sebagai salah satu makanan khas Indonesia, memiliki nilai gizi yang tinggi dan kerap menjadi andalan sumber protein bagi banyak orang. Di sebuah sudut kota Yogyakarta, sebuah UMKM pembuatan tempe kedelai tradisional masih terus berkembang dengan mempertahankan metode produksi yang diwariskan turun-temurun.

Ibu Suprihatin Biasa di panggil "Suprih" pemilik usaha tempe "Tempe Sari Rasa", telah menjalankan bisnis ini selama lebih dari 30 Tahun. "Kami tetap menggunakan cara-cara tradisional yang diajarkan oleh orang tua saya. Dari memilih biji kedelai hingga proses fermentasi, semua dilakukan secara manual," jelas Ibu Suprihatin saat ditemui di tempat produksinya.

Menurutnya, salah satu kelebihan dari metode tradisional ini adalah kualitas tempe yang dihasilkan lebih baik. "Tempe yang kami produksi memiliki tekstur yang lebih padat dan rasa yang lebih kaya karena proses fermentasinya yang alami. Banyak pelanggan setia yang lebih menyukai tempe kami karena rasanya yang autentik," tambahnya.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Proses pembuatan tempe di tempat Bu Suprihatin dimulai dari pemilihan kedelai berkualitas. Setelah itu, kedelai direndam selama semalam dan kemudian direbus hingga matang. Kedelai yang telah matang kemudian dikupas kulitnya dan dicampur dengan ragi tempe. Proses ini memerlukan ketelitian dan kebersihan yang tinggi untuk memastikan hasil yang optimal.
"Proses fermentasi adalah kunci dari pembuatan tempe. Kedelai yang telah dicampur ragi harus dibiarkan dalam kondisi yang tepat selama 24-48 jam. Suhu dan kelembaban sangat mempengaruhi hasil akhirnya," jelas Bu Suprih sambil menunjukkan ruang fermentasi yang sederhana namun bersih dan terawat.

Dokumentasi Pribadi
Dokumentasi Pribadi

Di era globalisasi ini, Suprih  mengakui adanya tantangan yang dihadapi, terutama dari segi persaingan dengan produk-produk modern yang lebih praktis dan instan. "Banyak produk tempe kemasan yang lebih murah dan tahan lama, tapi menurut saya, mereka kurang dalam hal rasa dan kandungan gizi dibandingkan tempe tradisional," ungkapnya.

Namun, ia juga melihat adanya peluang besar dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap makanan sehat. "Sekarang banyak orang yang kembali mencari makanan alami dan sehat. Tempe tradisional kami menjadi pilihan bagi mereka yang peduli dengan kesehatan dan kualitas makanan yang mereka konsumsi," ujarnya optimis.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Bu Suprih tidak hanya mengandalkan cara-cara lama. Ia mulai memperluas pemasaran melalui media sosial dan berkolaborasi dengan beberapa restoran sehat di Yogyakarta. "Kami ingin memperkenalkan tempe tradisional ini ke lebih banyak orang. Dengan media sosial, kami bisa menjangkau pasar yang lebih luas dan mengedukasi masyarakat tentang keunggulan tempe tradisional," katanya.

Bu suprih juga telah mengikuti beberapa pelatihan UMKM yang diadakan oleh pemerintah setempat. "Pelatihan-pelatihan ini sangat membantu kami dalam mengembangkan usaha. Kami belajar tentang manajemen usaha, pemasaran digital, hingga cara-cara mengurus perizinan dan sertifikasi halal," tuturnya

Menurut data dari Dinas Koperasi dan UMKM, sektor UMKM memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian daerah. "Kami berusaha mendukung UMKM seperti Bu suprih  dengan memberikan pelatihan dan kemudahan akses permodalan," ujar Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Yogyakarta, Ibu Siti. Ia juga menambahkan bahwa produk tempe tradisional memiliki potensi ekspor yang besar jika dikelola dengan baik.

Bu Suprih  berharap dukungan ini terus berlanjut dan semakin banyak generasi muda yang tertarik untuk melanjutkan usaha pembuatan tempe tradisional. "Tempe bukan hanya makanan, tapi juga bagian dari budaya kita. Melalui tempe, kami ingin melestarikan tradisi dan memberikan manfaat kesehatan bagi masyarakat," tutup Bu suprih  dengan senyum semangat.
Usaha pembuatan tempe kedelai tradisional seperti yang dijalankan oleh Bu suprih merupakan contoh nyata bagaimana kekayaan budaya dan kearifan lokal dapat tetap relevan di tengah perkembangan zaman. Dengan inovasi dalam pemasaran dan dukungan pemerintah, UMKM seperti ini memiliki potensi besar untuk terus berkembang dan memberikan dampak positif bagi ekonomi lokal serta kesehatan masyarakat. Tempe tradisional, dengan segala keunikan dan kelebihannya, menjadi simbol keberlanjutan tradisi dan inovasi dalam satu produk sederhana namun kaya makna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun