Nasib Tenaga Honorer masih terus mengisahkan cerita pilu. Pekan lalu ribuan eks Tenaga Honorer K2 (THK 2) berunjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta. Selama 3 hari, sejak tanggal 10 hingga 12 Pebruari 2016 mereka berdemo menagih “janji” Pemerintah untuk mengangkat THK 2 menjadi PNS. Belum ada hasil menggembirakan dari gelar aksi tersebut. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) hanya mengisyaratkan bahwa pengangkatan THK 2 menjadi PNS tidak dapat dilaksanakan (saat ini) karena terbentur payung hukum serta tidak adanya alokasi anggaran. Sementara itu keinginan para THK 2 untuk bertemu dan berdialog dengan Presiden RI gagal terwujud.
[caption caption="Ilustrasi - tribunnews.com"]
[/caption]
Bagi THK 2 gelar aksi unjuk rasa nasional ini adalah untuk yang kesekian kalinya dilakukan. Aksi terakhir sebelumnya mereka gelar pada tanggal 15 September 2015 di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta bertepatan dengan pelaksanaan Rapat Kerja MenPAN-RB dengan Komisi II DPR RI. Pada kesempatan tersebut MenPAN-RB menjanjikan pengangkatan THK 2 menjadi PNS. Selanjutnya pada tanggal 22 September 2015 di depan Rapat Kerja lanjutan dengan Komisi II DPR RI MenPAN-RB memaparkan Roadmap Penanganan Eks THK 2 (2016 – 2019). Perkembangan positif ini tentu saja menumbuhkan harapan, semangat, dan kegairahan baru di kalangan THK 2.
Dinamika THK 2, Fenomena Puncak Gunung Es Problematika Tenaga Honorer dan Tenaga Non PNS Lainnya
Tenaga Honorer K2 (THK 2) adalah salah satu dari sekian banyak kelompok tenaga yang mengabdikan diri pada jalur kegiatan instansi pemerintah sesuai bidangnya. Mereka ini direkrut sebelum tahun 2005 oleh instansi daerah dengan anggaran penyelenggaraan non APBN/APBD. Berbeda dengan Tenaga Honorer K1 yang menggunakan dana APBN/APBD.
Berdasarkan skema penyelesaian PP No. 56 Tahun 2012, solusi pengangkatan THK 2 menjadi PNS adalah melalui mekanisme test sesama THK 2 setelah mereka lolos tahapan uji publik.
Di antara kelompok-kelompok tenaga yang mengabdi pada pelaksanaan program-program pemerintah sesuai bidang, THK 2 ini secara kuantitas memiliki jumlah paling besar yakni sekitar 440 ribu se-Indonesia. Mereka nampak sangat eksis dan paling sering menggelar aksi tuntutan perbaikan status dalam skala nasional. Hal ini tidak lepas dari dukungan kuat pihak-pihak terkait seperti himpunan profesi guru yakni Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Pemerintah nampaknya dibuat pusing dalam menangani penyelesaian THK 2 sehingga terkesan menampilkan rencana kebijakan maju mundur.
Apakah hanya THK 2 saja yang memiliki kepentingan terhadap perbaikan dan penetapan status kepegawaian yang pasti ? Tidak. Kelompok-kelompok lain seperti tenaga kontrak penyuluh pertanian (THL TBPP), Bidan PTT dan Guru PTT juga pernah menggelar aksi tuntutan massal di Jakarta. Mereka ini juga memiliki peran penting dan strategis dalam mengisi kekosongan dan kekurangan tenaga PNS pada bidang tugas masing-masing. Hingga saat ini mereka, khususnya THL TBPP masih terus melanjutkan upaya perjuangan untuk mendapatkan status kepegawaian yang pasti yakni menjadi pegawai tetap Penyuluh Pertanian sesuai landasan yuridis undang-undang penyuluhan.
Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL TBPP)
THL TBPP adalah tenaga kontrak penyuluh pertanian yang direkrut oleh Kementerian Pertanian dalam tiga gelombang perekrutan pada tahun 2007, 2008 dan 2009. Jumlah mereka pada tahun 2010 sekitar 25 ribuan dan saat ini menyusut hingga tinggal sekitar 20 ribuan se-Indonesia.