Sejak awal kuliah kedokteran, ada doktrin yang ditanamkan dalam benak tiap mahasiswa kedokteran: jadi dokter itu berarti siap untuk belajar sepanjang hayat. Lifelong learning. Sampai fase-fase awal menjadi dokter, saya masih percaya bahwa mahasiswa FK (fakultas kedokteran)-lah satu-satunya mahasiswa yang punya kewajiban belajar bahkan setelah dia lulus sekalipun.Â
Untuk perpanjangan STR (Surat Tanda Registrasi) tiap 5 tahun sekali dokter disyaratkan meng-upgrade pengetahuan yang bisa ditempuh dengan cara mengikuti seminar maupun pelatihan ber-SKP (Satuan Kredit Profesi). Ada syarat minimal SKP yang harus dicapai untuk bias memproses perpanjangan STR. Belum lagi jika setelah lulus ia berencana mengambil pendidikan spesialis, dipastikan dia, mahasiswa FK yang telah menjadi dokter itu harus belajar. Apalagi jika kemudian melanjutkan pendidikan konsulen atau memilih jalur akademis lewat program master dan doktoral. Atau contoh kecilnya saja, karena banyaknya diagnosis penyakit, saya yakin dokter (baca: saya) tidak mengingat tiap detilnya, apalagi penyakit-penyakit langka, maka saat itu dokter masih harus belajar (lagi). Pun modalitas terapi dan alat-alat diagnostik kedokteran yang berkembang selaras kemajuan teknologi, memaksa dokter untuk mempelajarinya.
Di titik itu saya merasa sombong, bahwa mahasiswa FK adalah mahasiswa yang punya kewajiban belajar paling berat. Kewajiban belajar yang jauh lebih besar dibanding mahasiswa-mahasiswa fakultas lain, dibanding profesi dan pekerjaan lain. Kewajiban belajar yang abadi. Karena dokter (seolah) bertanggungjawab atas kesehatan dan nyawa pasien di depannya. Dan karena nyawa manusialah yang jadi taruhannya, maka kewajiban belajar bukanlah sesuatu yang main-main.Â
Seiring berjalannya waktu, saya memahami bahwa tuntutan belajar sepanjang hayat sebenarnya tidak dimonopoli oleh mahasiswa FK dan dokter saja. Pada setiap level hidup, belajar itu sejatinya diperlukan. Lebih dari sekedar tuntutan profesi, pemenuhan SKP, syarat naik pangkat, ataupun persiapan lelang jabatan.
Pengusaha masih harus belajar bagaimana mempertahankan bisnis di tengah perubahan jaman. Petani masih harus belajar menghadapi perubahan iklim yang makin tak menentu. Tukang becak masih harus belajar bagaimana memenuhi kebutuhan hidup di tengah gempuran ojek daring. Seorang wanita masih harus belajar menjadi ibu bahkan jika ia sudah menjadi ibu, karena tiap anak berbeda karakternya, karena tiap fase usia beda tantangannya. Seorang pemimpin masih harus belajar memimpin, bahkan ketika ia sudah bertahun-tahun menjabat.
Dalam skala lebih kecil, belajar dilakukan untuk mengenali diri sendiri. Raganya, jiwanya. Apa kamu yakin sudah mengenali tiap inci dari lekuk ragamu? Banyak pasien kanker payudara datang ketika penyakitnya sudah berat atau sudah ada keluhan penyerta lain. Padahal kanker bukanlah penyakit instan, benjolan yang ada bukan proses sehari-dua. Apa kamu yakin sudah mengenali kondisi mental dan kepribadian diri sendiri? Pasien tentamen suicide melakukan percobaan bunuh diri bukan lantas diakibatkan oleh masalah yang muncul semenit-sejam yang lalu. Kondisi kejiwaannya sudah rentan, hanya perlu sedikit pemicu untuk suatu kondisi kronik menjadi eksaserbasi akut kemudian memberat. Kamu sudah pernah belajar tentang hal-hal itu belum?
Lebih dari itu, hidup merupakan sesuatu yang masih dan terus harus dipelajari. Belajar hidup merupakan suatu kebutuhan.
Lebih dari itu, hidup sendiri sejatinya merupakan sebuah pelajaran dan lembaga pembelajaran raya.
Kalau kamu mahasiswa FK atau dokter yang menganggap lifelong learning hanya kewajibanmu, plis belajar lagi coba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H