Mohon tunggu...
R Meagratia
R Meagratia Mohon Tunggu... Dokter - pekerja lepas di sebuah rumah sakit

perhatikan - cari kebenaran - kembangkan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

"Persistency of Bakul Indomie"

16 Desember 2018   09:35 Diperbarui: 16 Desember 2018   11:05 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa mie instan yang dibuat bakul Indomi warungan terasa lebih sedap dibanding yang kita buat? Padahal bahan yang dipakai sama, bahkan topping kita lebih mahal dibanding bikinannya. Air untuk masak saja kita pakai Akua, sementara dia air isi ulang biasa. Kita pakai kompor listrik, dia pakai kompor gas subsidi. Apa ada tambahan bahan-bahan dan micin rahasia?

No, people.

Kenapa lebih sedap?

Kamu tahu untuk bisa menghidangkan semangkuk mie instan di hadapanmu ia telah melakukan sekian banyak riset sebelumnya? Riset sederhana memang, bukan di lab kece yang untuk masuk harus pakai APD (Alat Pelindung Diri) atau absensi face detection atau dicatat di log book khusus berharga mahal. Dia melakukan riset di depan kompor sederhananya. 

Mengobservasi berapa mililiter air yang dibutuhkan, berapa joule kalor yang harus diupayakan, pada sekon ke berapa mie instan harus sudah dicelupkan, apakah mie instan tersebut dicelupkan dengan posisi vertikal apakah horizontal, berapa sentimeter luas permukaan sayuran yang harus dipotong, pada ketinggian berapa telur harus dijatuhkan, apakah panci ataukah wajan konduktor yang lebih baik dalam menghantarkan panas ke seluruh bagian masakan. 

Dan masih banyak lagi hal-hal (yang kamu anggap) remeh temeh yang kamu pikir hanya ada di soal fisika SMA, yang perlu perhitungan akurat, tetapi (tanpa sadar) kamu lewatkan.

Sekian banyak riset. Tidak lantas sekali buat dia langsung bisa menemukan formula yang tepat untuk mie instannya. Tapi dari semua "kegagalan" apa dia berhenti? Agak loncat sedikit, speaking of failure, kamu pikir berapa banyak riset yang dilakukan Thomas Alva Edison sehingga saat ini kamu bisa ditilang polisi akibat tidak menyalakan lampu motor? 

Kalau Pak Thomas berhenti di riset ke 997, apa kamu masih punya kesempatan buat damai sama Pak Pol? Lantas kalau bakul Indomi itu kehilangan persistensinya, atau tidak istiqomah kalau kata anak hijrah, semangkuk mie instan mungkin tak akan tersaji di hadapanmu.

Saya berlebihan?

Coba sesekali kamu amati, gaya memasak bakul Indomi itu akan sama tiap kalinya, begitu-begitu saja. Justru karena begitu-begitu saja, menunjukkan bahwa dia punya SOP, Standard Operating Procedure. 

Mililiter air yang dituangkan, joule kalor yang dibutuhkan, sekon pencelupan mie instan, posisi celup mie instan, luas permukaan potongan sayuran, ketinggian penjatuhan telur, pilihan konduktor panas. SOP yang kita kebut keberadaannya untuk akreditasi, dia punya walaupun sederhana: tercatat di otaknya.

Kenapa buatan kita tidak lebih sedap?

Hey, berapa kali kamu memasak mie instan? Jam terbangmu sudah setara bakul Indomi? Apakah memasak sepenuh hati atau karena terpaksa akibat lapar, bokek, tak ada pilihan lain di akhir bulan? Persisten atau ngasal saja?


Persisten, istiqomah: mudah diucapkan, sulit dilakukan.
Persisten, istiqomah: apa dipikir hanya milik umat yang taat atau direktur utama?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun