Mohon tunggu...
raya anggita
raya anggita Mohon Tunggu... -

Di pinggir Danau Kinanti

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Julia dan Hendrick Dehaan

1 Oktober 2014   15:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:49 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namaku Sapto, aku sehari-hari bekerja di Stasiun Kereta Api Argomoyo, jika bukan karena keluarga kecilku, aku mungkin tidak akan memilih pekerjaan ini. Setiap hari bangun lebih pagi karena terpaksa mendengar suara istriku yang lebih nyaring dibanding suara Pleci peliharaanku.

Empat tahun silam, pertemuanku dengan Lastri ternyata membawa masalah, namun baru kusadari sekarang. Cinta butaku membuat Lastri tidak ingin melepaskan diriku. Sudah kukatakan ingin keluar daerah dulu, cari pekerjaan yang lebih baik, tapi Lastri ngotot pengen dinikahi.

“Umurku sudah 24 Mas, aku malu sama teman-temanku, setahun lagi aku bakalan diberi gelar “perawan tua” sama Sekar, sainganku”. Lastri membujukku siang itu, empat tahun lalu.

Namun sekarang panggilan Mas itu tidak lagi terdengar indah di telingaku, Lastri sekarang berubah drastis dimataku. Lastri lebih suka marah-marah dibanding tersenyum. Aku bersantai sedikit saja matanya menatap sinis, seakan-akan aku ini sampah yang harus segera disingkirkan.

“Nyari uang itu yang banyak mas, jangan nongkrong mulu di stasiun. Itu susu Bilqis udah mau habis”.

Kali ini hampir setiap hari aku lebih banyak mendengar keluhan Lastri. Aku bosan mendengarnya, kadang aku berfikir ingin menutup mulutnya dengan kain selama sehari, atau sekadar berdoa agar Lastri kena radang tenggorokan saja, biar suaranya tidak menusuk-nusuk jantungku. Makanya aku kerja di stasiun dari pagi sampai malam supaya Lastri tidak memenuhi telingaku dengan ocehannya.

Aku akhirnya menyimpulkan kalau perempuan memang selalu terlihat cantik saat masih jadi pacarmu. Tapi setelah menikah wujudnya bisa berubah jadi menakutkan, teriakannya bisa melengking, kencang, dan kamu laki-laki tidak akan pernah terbangun dengan tenang di pagi hari, setidaknya itulah gambaran pernikahanku hingga saat ini.

Pagi yang indah, sayang kalau harus dirusak gara-gara Lastri, aku mencoba menyemangati diri sendiri kali ini. Dari kejauhan penumpang sudah mulai memenuhi ruang tunggu, bahkan banyak penumpang yang terpaksa duduk di lantai. Jumlah kursi di ruang tunggu stasiun Argomoyo memang tidak banyak, sementara penumpang jumlahnya terus membludak, akhirnya mau tidak mau penumpang banyak yang duduk dilantai.

Satu yang menarik perhatianku pagi ini adalah gadis yang menggunakan gaun berwarna putih, mungkin putih tulang. Maklum aku tidak mengenal nama kombinasi warna. Jika kutaksir umurnya, mungkin masih belasan, enam belas tahun sepertinya. Gaun putihnya terlihat begitu lembut, panjangnya sampai selutut. Kulit gadis ini tidak kalah bersihnya, dia sepertinya bukan warga kota ini. Sepanjang yang kuketahui tentang selera fashion gadis di kota ini, sepertinya sudah tidak ada yang berdandan seperti gadis belia tersebut.

Keesokan harinya aku bertemu dengan gadis itu lagi, pakaiannya tetap sama dengan yang dipakai kemarin, hanya saja tatanan rambutnya dibuat berbeda hari ini. Rambutnya diurai begitu saja, dengan sedikit poni di menutupi sebagian jidatnya. Gadis ini sangat rupawan namun berkelas, dia tidak banyak bicara dengan orang disekitarnya. Mungkin orang-orang juga tidak berani menyapanya.

Hari ketiga ternyata gadis ini masih muncul di stasiun dan sama dengan hari sebelumnya, gaun yang dikenakan selalu berwarna putih. Aku pun penasaran, hingga akhirnya memperhatikan terus gerak-gerik gadis tersebut. Hari ke-empat, kelima dan akhirnya seminggu telah berlalu, namun gadis ini masih setia duduk di kursi tunggu stasiun.

Aku memberanikan diri sekadar bertanya basa basi padanya pada hari ke delapan. “Tiap hari nunggu disini terus ya mbak”? suaraku membuat gadis itu akhirnya menoleh. Tadinya kupikir dia mengabaikan pertanyaan orang seperti aku, hanya tukang bersih-bersih.

“Iya Pak, saya nuggu bapak pulang”. Aku seperti tersengat listrik mendengar suaranya. Sebenarnya suaranya biasa-biasa saja, tapi aku merasa ada yang berbeda dari caranya berbicara. Logat gadis ini tidak biasa kudengar. Aku semakin yakin dia bukan penduduk asli kota ini, caranya menatap dan bersikap benar-benar berbeda. Aku mengerti betul bagaimana tingkah remaja saat ini, yang lebih spontan dan kurang sopan santun. Tapi gadis ini berbeda, dia bukan dari kalanganku yang jelata, dia bak putri bangsawan.

Jika kuperhatikan gadis ini selalu datang pukul 07.00 pagi dan pulang pukul 17.00 sore. Namun aku tidak pernah melihat gadis itu pulang dengan seorang pria seumuran bapak-bapak. Gadis itu selalu pulang sendirian dan berjalan ke arah timur stasiun. Padahal setahuku di daerah itu tidak ada pemukiman, hanya tanah kosong milik perusahaan Kereta Api tempatku bekerja.

Memasuki minggu ke tiga aku tidak bertemu lagi dengan gadis itu, aku sebenarnya merasa ada yang berbeda hari ini. Sejak kehadiran gadis itu di stasiun aku lebih bersemangat pergi kerja, aku semangat karena penasaran apakah gadis itu masih menunggu bapaknya yang tidak pernah muncul. Pikiran ini sedikit mengalihkan diriku dari masalah di rumah bersama Lastri. Namun kini gadis itu sudah tidak pernah muncul, aku malah lebih sering mendapati seorang Bapak tua kira-kira berumur 70 tahun yang menunggu di stasiun. Bapak tua tersebut selalu menggunakan tongkat, jalannya sudah tidak terlalu cepat dan kepalanya lebih sering menuduk. Perawakan fisiknya juga tidak sama dengan kebanyakan penduduk di kota ini.

“Jangan-jangan bapak tua ini adalah ayah gadis yang sering menuggu di stasiun”. Begitu pikirku, tapi mengapa tak ada gadis itu yang menemaninya? atau bapak tua ini sedang mencari hiburan, karena sudah tua, akhirnya malas tinggal di rumah.

Tepat minggu ketiga, bapak tua itu akhirnya tidak pernah muncul di stasiun. Aku penasaran, rutinitas gadis belia dan bapak tua ini hampir sama, sama-sama menuggu di stasiun, datang pagi pulang sore dan berlangsung kurang lebih tiga minggu juga. Akhirnya iseng kutanyakan pada salah satu pegawai di stasiun kereta soal pengamatanku ini. Aku merasa bertanggung jawab untuk melaporkan gerak gerik yang mencurigakan di stasiun ini, mengingat kotaku adalah daerah tujuan wisata paling terkenal.

Saat kutanyakan soal gadis dan bapak yang selama tiga minggu hanya duduk dari pagi sampai sore di stasiun ini, para pegawai yang ada diruangan tiba-tiba terdiam dan saling melirik. Aku heran mereka serentak seperti kaget dan dialihkan oleh laporanku. Jangan-jangan gadis dan bapak tua ini teroris yang mematai-matai stasiun Argomoyo. Aku semakin panik, naluri laki-lakiku sebagai pemberani seketika muncul, aku merasa bangga bisa mengenali hal-hal yang mencurigakan. Pikiranku sudah bergerak duluan sebenarnya, belum tahu apa yang akan disampaikan pegawai stasiun KA Argomoyo.

“Sapto, sebenarnya kau tidak melihat apapun, atau apa yang kau saksikan hanya kau saksikan sendiri. Dari rekaman CCTV kami tidak menemukan seseorang dengan ciri-ciri yang baru saja kamu sebutkan”.

“ha..apa? masa gadis secantik itu tidak terekam di CCTV seantero stasiun Pak? tidak mungkin saya salah liat, saya bahkan sempat menyapa gadis itu Pak”. Aku tidak mau disangka gila atau stres gara-gara kesaksianku.

“Sapto, sepertinya kamu harus melihat sendiri video ini, dan perhatikan kejanggalannya”. Pegawai stasiun KA mengajakku untuk melihat lebih dekat lagi rekaman cctv mereka.

Aku begitu terkejut setelah menyaksikan sendiri rekaman cctv yang aku saksikan tepatnya saat aku melihat rekaman cctv hari kedelapn. Aku melihat diriku berbicara sendiri dihadapan kursi tunggu penumpang, seperti sedang bercakap dengan seseorang namun wujudnya tidak terlihat sama sekali.

Aku merinding seketika, tidak percaya dengan apa yang aku saksikan. Tiba-tiba kepalaku serasa pusing, aku kebingungan dan seperti telah berpindah ke tempat lain yang sangat asing. Aku akhirnya ditepuk oleh rekan kerja di KA, Anggito. Anggito sepertinya mengetahui dengan jelas kejadian yang menimpaku selama sebulan terakhir.

Dia mengajakku duduk dan beristirahat sejenak sambil memberikan air putih. Perasaanku berangsur-angsur pulih kembali dari kebingungan dahsyat yang susah diterima nalar manapun.

“Gadis itu bernama Julia dan bapak tua yang menunggu di minggu ke-empat adalah Hendrick Dehaan ayah Julia. Mereka adalah keturunan warga Belanda yang sudah lama tinggal di kota ini. Keluarga mereka menguasai hampir seluruh tanah di kota yang kita tinggali sekarang, termasuk stasiun Kereta Api Margoloyo”. Anggito pegawai di stasiun kereta api Margoloyo adalah pegawai senior yang sudah bekerja selama 10 tahun. Anggito mulai bercerita soal gadis belia dan ayahnya yang aku saksikan sendiri kehadirannya di stasiun.

“Saat pembangunan stasiun kereta api akan dilaksanakan, Hendrick Dehaan menolaknya, karena akan menggusur rumah kediaman mereka. Hendrick Dehaan menganggap rumah itu menyimpan kenangan yang sangat penting bagi Julia bersama mendiang ibunya. Hendrick menentang bahkan pernah mengancam utusan pemerintah dengan senjata laras panjang yang dimilikinya”.

“Saat hendak berangkat ke gereja, Hendrick berpesan ke Julia agar menuggunya di gereja Santa Maria. Hendrick tidak bisa berangkat bersama Julia hari itu. Hendrick mengatakan ingin bertemu dengan utusan pemerintah terkait rencana pembangunan stasiun Kereta Api”.

“Julia menuruti pesan ayahnya dan berangkat bersama bibinya ke gereja Santa Maria. Menjelang pukul 12.00 siang, Hendrick tak kunjung muncul menjemput Julia, malah mendapati kabar jika rumah mereka terbakar. Julia kaget dan ingat kondisi ayahnya dan ketika tiba di rumah Julia terperangah, rumah kediaman mereka sudah habis dilalap api. Julia berteriak mencari ayahnya. Namun seseorang datang memberi kabar jika Hendrick Dehaan tidak ada di dalam rumah. Julia masih memiliki harapan, dia sebelumnya khawatir ayahnya berada di dalam rumah saat api melahap rumah mereka”.

Jantungku berdegup kencang mendengar keterangan Anggito, aku semakin penasaran dengan kelanjutan kisah Julia dan Dehaan. Tidak kusadari keringatku ikut bercucuran mendengar cerita Anggito.

“Sapto, ternyata penantian Julia sia-sia saja, Hendrick Dehaan tidak pernah kembali, sehari, dua hari, seminggu kemudian sebulan, Hendrick Dehaan tidak pernah muncul di hadapan Julia. Hendrick bagaikan hilang begitu saja, dan keadaan ini membuat Julia makin frustasi. Badan Julia semakin kurus, pikirannya mulai dianggap tidak waras. Akhirnya Julia di masukkan di rumah sakit jiwa. Keadaan ini justru memperburuk keadaan Julia karena beberapa kali ingin mencoba bunuh diri”.

Aku menarik napas dalam-dalam, darahku mengalir begitu deras dan badanku terasa hangat. Ada haru yang begitu dalam di hatiku. Ada amarah, dan ada iba yang bermain dalam ragaku saat mendengar keterangan Anggito.

“Namun saat pembangunan Stasiun Kereta Api Argomoyo selesai, Julia selalu meronta ingin ke stasiun ini. Entah dari mana Julia mengetahui soal pembangunan stasiun kereta ini, namun suster di rumah sakit berusaha memenuhi keinginannya dengan pengawasan yang cukup ketat. Julia nampaknya memang lebih suka berada seharian di stasiun. Perlahan-lahan kondisinya membaik. Julia sudah jarang mengamuk, ia kembali seperti sedia kala, lebih segar dan semakin cantik”.

“Tidak ada yang tahu perubahan Julia akan berujung pada kejadian tragis dan memilukan orang-orang saat itu. Tanggal 26 Desember 1974 setelah merayakan Natal, Julia merayakan juga hari ulang tahun ayahnya Hendrick Dehaan. Julia berdandan sangat cantik menuju stasiun.

“Hari itu memang terasa sangat tenang, tidak ramai seperti biasanya, pengasuh Julia tidak berpikir macam-macam tentang rencana Julia. Dan tepat pukul 12.00 siang, berita kematian Julia menggemparkan penduduk di sekitar stasiun. Julia menabrakkan dirinya di kereta yang melaju sangat kencang. Kejadian itu berlangsung sangat cepat dan tidak dapat dicegah oleh petugas stasiun. Kematian Julia sangat tragis, dan orang-orang sekitar seperti mengalami mimpi buruk setiap mengenang tragedi keluarga Hendrick Dehaan”.

Aku juga terkejut mendegar penuturan Anggito. Julia dan Hendrick Dehaan mengalami tragedi memilukan demi memenuhi hasrat kepentingan publik saat itu. Anggito kemudian melanjutkan ceritanya.

“Sebenarnya, banyak yang menduga jika Hendrick Dehaan tidak benar-benar pergi saat kebakaran terjadi. Ada yang menyaksikan, setelah Julia ke gereja, rumah Hendrick dikunjungi tamu yang mengendarai dua mobil Hartop. Entah bagaimana akhirnya setelah pertemuan itu, tiba-tiba rumah Hendrick Dehaan terbakar”.

Ya tuhan aku bergetar mendengar penuturan Anggito, aku tidak sanggup membayangkan betapa menakutkannya kejadian saat itu. Sepertinya Hendrick Dehaan sudah mengetahui ketidakberesan rencana pertemuan itu. Sehingga menyuruh Julia pergi ke Gereja lebih dulu, mungkin bermaksud menyelamatkan gadis kecilnya. Namun tragisnya, Julia tetap terpenjara dalam duka yang tidak mampu ditanggungnya sendiri. Hendrick Dehaan adalah sosok ayah yang sangat dikasihinya.

Bagi Julia, ayahnya adalah kekuatannya berjalan di muka bumi. Saat kekuatannya direnggut tinggal kepiluan yang menggerogoti batinnya. Tidak ada yang mengetahui duka Julia selama ini, semuanya terkubur di atas hiruk pikuk Stasiun Kereta Api Argomoyo.

Salam

Raya

(Ilustrasi:manik-mata.blogspot.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun