Ini memang situasi dilematis karena dua sektor ketahanan nasional tersebut sama-sama penting karena sama-sama dibutuhkan dan kebutuhan itu terus meningkat seiring pertambahan penduduk. Artinya kedua sektor tersebut mesti dapat dijawab sekali jalan tidak bisa satu persatu.Â
Dalam konteks strategi nasional. masalah singkong sebenarnya bukan hanya pada keributan kita akan impor dari Thailand. Impor tersebut bisa dikurangi atau dinihilkan dengan kebijakan strategis yang diimplementasikan dalam upaya riil di lapangan. Bahwa impor singkong merugikan petani, jawabannya sudah pasti. Tarif impor untuk produk singkong dan turunannya dari negara-negara ASEAN dan China sudah diatur pemerintah sebesar 0%. Artinya, singkong kita bertarung bebas dengan singkong Thailand. Silakan lihat pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/Pmk.011/2012 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Asean-China Free Trade Area (ACFTA).
Lantas kenapa takut bersaing dengan singkong Thailand? Jawabannya adalah efisiensi produksi dan dukungan teknologi. Dan hal tersebut tidak lepas dari peran aktif pemerintahnya dalam mendukung sektor pertanian (termasuk singkong) sebagai andalan devisa. Jadi jangan dibandingkan dengan Indonesia.
Katakanlah kita bisa meningkatkan produksi dengan perluasan lahan dan peningkatan produktivitas lahan baik dengan bibit unggul maupun penggunaan pupuk organik yang ramah lingkungan dan menjaga kesuburan tahah jangka panjang. Apakah lantas kita bisa berhenti mengimpor?
Di sini letak masalahnya. Impor kita untuk produk turunan singkong dilakukan untuk kebutuhan industri pangan karena produksi domestik kita tidak mampu memenuhinya. Jadi  kita perlu meningkatkan produksi singkong bukan hanya dalam jumlah banyaknya ton singkong segar saja, namun harus spesifik untuk terlebih dahulu memenuhi kebutuhan industri pangan domestik kita. Logikanya, kalau sudah terpenuhi maka tidak perlu impor. Lebih bagus lagi kalau surplus dan bisa melakukan ekspor.
Namun belum juga jelas upaya ke arah itu, kita juga sibuk dengan masalah ketahanan energi dan menggagas kebijakan energi terbarukan yang salah satunya berasal dari tumbuhan/nabati. Singkong jelas memiliki potensi besar berdasar kandungan yang ada dalam umbinya sebagai salah satu sumber bahan baku bioetanol. Dan upaya mengkonversi singkong menjadi bioetanol sudah mulai berjalan.
Walhasil, terjadi perebutan peruntukan dalam urusan persingkongan ini. Satu mau ke arah pangan dan mendukung ketahanan pangan, di sisi lain mau ke arah energi guna mendukung ketahanan energi. Perebutan inilah yang akan mengancam kita langsung dari dua sektor ketahanan nasional: pangan dan energi.
Dari sisi petani, tentu saja mau ke arah mana peruntukan singkong ini tidak menjadi penting selama secara ekonomis mampu menopang dan menyejahterakan. Dan tidak ada yang salah dengan hal itu. Di sinilah peran pemerintah mesti jelas mulai dari strategi, implementasi hingga insentif atas dukungan implementasi strategi tersebut.
Ini memang situasi dilematis karena dua sektor ketahanan nasional tersebut sama-sama penting karena sama-sama dibutuhkan dan kebutuhan itu terus meningkat seiring pertambahan penduduk. Artinya kedua sektor tersebut mesti dapat dijawab sekali jalan tidak bisa satu persatu.
Lalu bagaimana menjawabnya tantangan tersebut? Sebenarnya tidak terlalu sulit kalau saja kita tidak memandang sebelah mata komoditas yang satu ini. Singkong yang selama ini dianggap komoditas ‘ndeso sudah saatnya dengan tegas dinyatakan sebagai produk strategis unggulan dan diperlakukan sama atau bahkan lebih dari komoditas strategis lainnya. Dengan status sebagai komoditas strategis, singkong akan mendapat perhatian besar. Perhatian tidak hanya dari kalangan pertanian namun juga dari kalangan industri dan perbankan.
Perhatian tersebut diharapkan akan memacu peningkatan produksi, luas panen dan produktivitas dengan peruntukan jelas untuk pangan atau non pangan. Jadi tidak ada yang dikorbankan baik ketahanan pangan maupun ketahanan energi. Semua dilakukan sejalan seiring.
Hanya saja tetap harus menjadi perhatian, jangan karena mengejar target lantas alih fungsi lahan baik dari subsektor pangan lain maupun dari hortikultura dan perkebunan masif terjadi dan justru membahayakan ketahanan kita di komoditas lain. Apalagi sampai membuka hutan yang sudah semakin sedikit.
Kita menunggu kehadiran nyata pengelola negara kita untuk komoditas yang satu ini.
Â
Catatan: Pernah dimuat di Majalah Agro Swakarsa, Edisi September 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H