Mohon tunggu...
Mohamad RaviVasandany
Mohamad RaviVasandany Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Brawijaya

Senang Berdiskusi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Maraknya Kasus Mahasiswa Terpapar Paham Radikal dan Fanatisme dalam Beragama di Indonesia

7 Juni 2022   14:01 Diperbarui: 9 Juni 2022   15:20 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kasus radikalisme,fanatisme dan terorisme di Indonesia sudah lama terjadi, apalagi mengingat Indonesia adalah negara yang sangat religius, yang artinya sangat rentan terhadap paham radikalisme dan fanatisme dalam beragama. 

Fanatisme dalam Beragama dan Khilafah

Paham radikal yang mengarah kepada terorisme, dan yang mengarah pada fanatisme harus dibedakan, karena belum tentu mahasiswa yang terpapar paham radikal kemudian menjadi pro-terorisme.  Misalnya di Institute Pertanian Bogor (IPB) dulu ada cukup banyak oknum mahasiswa yang mengikuti ide khilafah gaya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) , tapi mereka tetap anti dengan terorisme (cnnindonesia.com). Para oknum tersebut masih terobsesi dengan konsep khilafah yang berjaya di masa lalu dan ingin mengubah Indonesia menjadi Negara khilafah. Ide mengubah Indonesia menjadi Negara Khilafah itu terus mengakar kuat sampai organisasi HTI tersebut dibubarkan pada tahun 2017  

Para mahasiswa di Indonesia harusnya mengerti bahwa Indonesia adalah Negara yang sangat majemuk, konsep khilafah tentu tidak cocok dengan kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk. Agama Islam sendiri tidak mewajibkan setiap pemerintahan di dunia ini untuk menggunakan konsep Khilafah. Hal ini selaras dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Prof Mahfud MD, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia .

"Semua setuju bahwa sistem bernegara itu hasil ijtihad yang selalu berbeda. Mengapa? Karena memang tidak ada. Coba tunjukkan kepada publik secara runut dan logis berdasar secara fikih, kapan dan dimana pernah ada sistem khilafah Islam yang baku? Carilah sejak zaman Abu Bakar sampai sekarang," ungkapnya.

Namun tentu tidak semua orang setuju atas pernyataan Prof Mahfud MD tersebut. Ada belasan orang merekam video mereka tepat berada di halaman luar Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat pada jumat (22/4/2022). Mereka menentang dan meminta untuk bisa berdiskusi secara langsung dengan Prof Mahfud MD. Mereka juga ingin bertemu Mahfud dengan tujuan diadakan simposium membahas penerapan khilafah di Indonesia. Mereka beranggapan, dengan diterapkannya khilafah, maka nasib Indonesia akan terselamatkan. Mereka juga berharap Mahfud dapat menginisiasi agenda simposium tersebut.

"Kalau bisa ditindaklanjuti dengan simposium nasional untuk membahas proposal khilafah ajaran Islam yang agung, yang akan menyelamatkan bangsa Indonesia bahkan dunia. Lebih baik sekali kalau Kemenko Polhukam bisa menginisiasi agenda itu," ucapnya.

Merespons hal tersebut,  Mahfud beranggapan hal itu adalah bagian dari penyampaian aspirasi. Menurut dia, pihak yang menyampaikan narasi tersebut tak dapat membedakan antara sistem dan nilai kekhilafan.

"Mereka tak tahu apa yang mereka katakan. Mereka tak tahu bedanya nilai dan sistem, tapi biarlah mengalir itu sebagai aspirasi," jelas Mahfud kepada wartawan.

Lebih lanjut disampaikan, dirinya kerap kali melangsungkan dialog dengan ormas Islam terkait sistem bernegara. Kata Mahfud, tak ada sistem khilafah Islam yang baku berdasarkan fikih.

Memang, untuk menyelesaikan permasalahan khilafah dan fanatisme dalam beragama ini masih diperlukan adanya diskusi yang intens dan panjang agar masyarakat bisa paham dan mengerti.

Kasus Radikalisme dan Terorisme di Indonesia

Baru-baru ini terjadi kasus tentang adanya mahasiswa Universitas Brawijaya (UNIBRAW) salah satu perguruan tinggi negeri di Malang yang ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri pada senin, 23 Mei 2022 karena terindikasi terpapar paham radikalisme dan terorisme dan diduga sudah terlibat dengan ISIS sejak tahun 2019.

Kasus seperti ini tidak hanya terjadi sekali saja di Indonesia, tapi sudah berkali-kali. Bahkan Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kebanyakan mahasiswa yang terpapar adalah yang berasal dari perguruan tinggi negeri di Indonesia. Hal ini tentu menjadi ironi karena mahasiswa yang masuk ke sana adalah mahasiswa yang sudah diseleksi ketat, seharusnya mereka dapat menggunakan intelegensinya untuk menyaring mana hal yang positif dan negatif. Namun entah kenapa mereka masih tetap bisa terpapar paham radikalisme dan terorisme. Pihak kampus sudah sewajarnya mewaspadai hal ini karena mungkin ada yang salah dalam sistem pendidikan di perguruan tinggi di Indonesia sehingga tidak dapat mencegah masuknya paham radikalisme dan terorisme ke dalam pemikiran mahasiswanya.

Agama Islam sendiripun tidak mengajarkan tentang radikalisme dan terorisme, banyak ulama-ulama di Indonesia yang menentang radikalisme dan terorisme dan mengatakan hal tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Paham radikalisme dan terorisme bisa dengan mudah menjangkiti mahasiswa karena adanya  oknum yang memiliki keinginan  mendirikan negara  agama,  seperti  fenomena  radikalisme  yang  masuk  ke  kampus-kampus,  fenomena ISIS  dengan  model  rekrutmen  yang  menggunakan media  sosial  yang  dapat  memikat  generasi  muda,  dan adanya  pemimpin daerah yang tidak cakap dalam memimpin.

Kebanyakan mahasiswa yang terpengaruhi paham radikalisme dan terorisme terlihat tidak memahami apa makna dari ayat-ayat al-Qur'an dan mayoritas dari mereka terpengaruh karena ada pihak yang menyusupi paham-paham tersebut. 

Oleh karena itu sudah waktunya patriotisme dan peningkatan pemahaman dalam beragama bagi generasi muda di dalam setiap perguruan tinggi harus lebih ditingkatkan lagi untuk mengantisipasi mereka agar tidak terpapar paham radikalisme dalam beragama. Generasi  penerus  bangsa ini harus dipersiapkan dengan nasionalisme dan  karakter yang unggul, karena  mereka  akan menjadi pemimpin negara yang sangat majemuk ini di masa depan.

Model Pencegahan Radikalisme di Kampus.

Setelah negara berdiri, seharusnya nasionalisme menjadi kekuatan  sosial  dan  masih  tetap  berfungsi  dalam  pembangunan negara dan karakter bangsa, sementara dalam praktik selama ini hanya terbatas pada  retorika  dan  ketentuan  formal  sehingga  penerapannya  banyak melenceng  dari  sasaran.

Hal  ini  membuat  konsep  nasionalisme  yang bercirikan  wawasan  kebangsaan  jauh  dari  praktik  kehidupan  berbangsa dan bernegara.

Faktor penghambat tumbuhnya nasionalisme adalah kemiskinan, kebodohan,  korupsi,  lunturnya  identitas  budaya  masyarakat,  masalah keadilan   sosial   yang   belum   tercapai,   dan   semakin   menguatnya individualism. Membangun  spirit  cinta  tanah  air  dengan  tujuan  membangun generasi   yang   berbudaya   unggul,   bangga   berbangsa   dan   berbahasa Indonesia  pada  saat  ini  menjadi  masalah  pokok  dan  penting  dalam membentuk  karakter  bagi  generasi  muda  yang  memiliki  daya  tahan dalam  menghadapi  dinamika  perubahan dan  dalam  upaya  pencegahan radikalisme yang gencar tumbuh di kampus-kampus tersebut.Tampaknya nasionalisme kita memang sedang diuji, khususnya dikalangan  generasi  muda  yang  masih  mencari  format  nasionalisme yang paling ideal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun