Portofolio. Sewaktu masih duduk di bangku SD-SMP, hal pertama yang saya ingat setelah mendengar kata portofolio adalah kertas. Biasanya guru menyuruh untuk mengerjakan tugas di kertas portofolio. Lalu saya dan segerombolan teman-teman membelinya di tempatfotocopy. Ada beberapa juga yang menyebutnya folio. Yang saya tahu macamnya ada dua; polos dan bergaris.
Tapi kali ini kita tidak sedang membahas macam-macam portofolio yang saya pikir saat itu artinya hanya sebuah kertas. Tapi sebuah portofolio yang artinya meluas menjadi;sekumpulan informasi pribadi yang merupakan catatan dan dokumentasi atas pencapaian prestasi seseorang dalam pendidikannya.
Portofolio bisa berupa ijazah, piagam penghargaan, sertifikat, atau bukti dari hasil mengikuti kursus. Portofolio juga bisa diajukan saat hendak melamar pekerjaan atau juga saat melanjutkan pendidikan. Sebagai dokumen yang bisa menjadikan alasan mengapa kita layak untuk diterima di tempat tersebut.
Saat kelulusan SMA (saya anak kejuruan jadi SMK), saya ingin melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Saat itu saya mengajukan beasiswa karena keadaan ekonomi orang tuaku. Jadilah saya diminta untuk mengumpulkan dokumen portofolioku. Yang saya punya saat itu hanya ijazah dan beberapa sertifikat peserta, bukan juara. Tidak ada bukti mengikuti kursus karena memang seumur hidupku belum pernah mengikuti kursus/les, bahkan lembaga semacam bimbingan belajar. Nilai rapot juga tergolong standart. Karena terus terang, pelajaran akademikku memang tidak begitu bagus. Saya tidak tahu harus mengumpulkan apa saat itu. Kalau hanya berkas ini saja yang dikumpulkan, saya rasa pihak kampus tidak memiliki alasan untuk menerima saya.
Sampai pada akhirnya ibu memberi saran untuk mengumpulkan karya-karya saja. Dulu saya pernah menulis cerpen untuk salah satu surat kabar terkenal di Indonesia. Saya juga pernah menulis beberapa buku antologi. Jadilah saya mem-fotocopykarya saya tersebut. Termasukcoverbuku dan bagian di mana saya menulis. Awalnya agak minder dan ragu-ragu. Mungkin terkesan agak terlalu memaksakan bila mengumpulkan portofolio berupafotocopybuku terbit semacam ini. Tapi keraguan saya dipatahkan oleh ibu yang berkata, "Dicoba saja dulu".
Akhirnya dokumen saya kirim. Dan beberapa hari kemudian saya melakukan wawancara sampai pada akhirnya hari itu juga saya resmi menjadi mahasiswa baru tanpa menjalani tes apapun lagi.
Entah hal utama apa yang membuat penyeleksi menerima saya. Mungkin selain keberuntungan, karya-karya tersebut juga berperan serta. Tidak pernah terpikir olehku bahwa karya yang pernah saya buat bisa membantuku hingga sejauh ini. Siapa yang menyangka, cerpen galauku yang pernah masuk buku antologi bisa menjadi salah satu alasan agar saya diterima di kampus ini dan menikmati segala fasilitas secara gratis – bahkan mendapat uang saku setiap bulannya?
Portofolio.
Kini artinya bukan hanya sekadar kertas bergaris yang biasa saya cari di tempat fotocopy semasa SD. Tapi sebuah karya yang bisa saya buat sendiri. Yang bila membuatnya dengan niat baik, maka hasilnya baik pula untukku.
Memang benar. Karya itu seperti anak. Yang senakal apapun dia, yang di awal dia lahir seperti tidak berguna dan tidak memberikan apa-apa. Namun suatu hari, anak-anak tersebut akan datang sendiri untuk mencari lalu memberi yang terbaik bagi orang tuanya. Tidak ada satu anakpun yang mengecewakan. Tidak ada satu karyapun yang sia-sia setelah dibuat. Banyak anak banyak rejeki. Banyak karya banyak pula rejeki.
Pada intinya, kalau kita tidak ada biaya untuk mengikuti kursus agar memiliki portofolio, jangan khawatir. Portofolio bisa kita buat sendiri. Bahkan bisa jadi, portofolio itu sendiri yang menghasilkan uang untuk kita. Tapi syaratnya, jangan berkarya dengan tujuan utama mencari uang. Sebab ketidaktulusan tidak akan menghasilkan hal baik.
Dan belakangan ini, saya jadi ketagihan untuk membuat karya-karya yang lainnya lagi. Siapa tahu berguna untuk kemudian hari.
Lalu, bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda membuat portofolio?
Terima kasih telah menyempatkan membaca. Maaf bila ada kata yang keliru.
-@raravivitata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H