Dalam era digital ini, jurnalisme dan teknologi komunikasi sedang berada di persimpangan jalan yang menentukan arah masa depan penyampaian informasi yang akurat dan terpercaya. Sebagai mahasiswa komunikasi, kita dihadapkan pada pemandangan yang penuh dinamika: informasi berlimpah di ujung jari, tetapi kepercayaan publik terhadap media justru menurun. Pertanyaannya sederhana tapi mendalam: apakah teknologi menjadi ancaman bagi jurnalisme, atau justru menjadi penyelamatnya?
Kita hidup di zaman ketika semua orang bisa menjadi 'jurnalis dadakan' hanya dengan ponsel di tangan. Kecepatan penyebaran informasi melalui media sosial seperti Twitter, Instagram, dan TikTok mengubah cara kita mengonsumsi berita. Di satu sisi, ini adalah hal yang positif karena siapapun bisa berbagi informasi dengan cepat. Namun, di sisi lain, munculnya fenomena clickbait, misinformasi, dan disinformasi menjadi efek samping yang sulit dihindari.
Salah satu dampak besar dari teknologi komunikasi terhadap jurnalisme adalah bergesernya fokus dari kualitas ke kuantitas. Banyak media saat ini berlomba-lomba untuk menjadi yang tercepat dalam memberitakan sebuah peristiwa. Akibatnya, verifikasi informasi sering kali diabaikan. Kita bisa melihat banyaknya berita hoax yang beredar di tengah masyarakat, terutama ketika isu-isu sensitif seperti politik atau bencana alam mencuat.
Di sisi lain, teknologi komunikasi sebenarnya membawa peluang emas bagi dunia jurnalistik. Kehadiran Artificial Intelligence (AI), misalnya, telah membantu dalam analisis data yang kompleks, pembuatan laporan otomatis, hingga mendeteksi berita palsu. Dengan AI, jurnalis dapat lebih fokus pada penyusunan narasi yang mendalam daripada hanya mengejar eksklusivitas semata.
Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa perkembangan teknologi ini juga membawa ketidaksetaraan. Akses terhadap teknologi canggih dan literasi digital yang memadai masih belum merata di seluruh lapisan masyarakat. Di kota besar, mungkin kita sudah terbiasa dengan akses informasi yang cepat dan transparan, tetapi bagaimana dengan mereka yang berada di daerah terpencil? Teknologi seharusnya menjembatani kesenjangan ini, bukan justru memperlebar jarak.
Lalu, bagaimana seharusnya kita sebagai mahasiswa menyikapi realitas ini? Pertama, penting untuk memiliki kesadaran kritis dalam mengonsumsi informasi. Jangan hanya menjadi konsumen pasif, tetapi juga jadilah pembaca yang aktif dan kritis. Kedua, bagi kita yang nantinya akan terjun ke dunia jurnalistik, mari kita kembali pada esensi dasar jurnalisme: menyampaikan kebenaran dengan cara yang bertanggung jawab.
Selain itu, pendidikan tentang literasi digital harus diperkuat di semua jenjang pendidikan. Mahasiswa, sebagai agen perubahan, memiliki peran besar dalam menyebarkan pemahaman ini. Kolaborasi antara teknologi dan jurnalisme harus dioptimalkan, bukan untuk mengejar keuntungan semata, tetapi untuk memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Pada akhirnya, teknologi komunikasi adalah alat, bukan tujuan. Masa depan jurnalisme tidak ditentukan oleh teknologi itu sendiri, melainkan oleh bagaimana kita, sebagai calon jurnalis atau komunikator, memanfaatkannya. Mari kita jadikan teknologi sebagai teman, bukan ancaman.
Refleksi ini bukan sekadar keluhan atau kritik kosong, melainkan ajakan untuk kita semua khususnya mahasiswa untuk berpikir lebih dalam tentang peran kita di tengah arus perubahan ini. Jika jurnalisme adalah tiang demokrasi, maka teknologi adalah angin yang bisa membawa kapal ini ke arah yang lebih baik, atau justru menenggelamkannya. Pilihan ada di tangan kita.
Raushanfikr Qurany, Mahasiswa Semester 5 Program Studi Jurnalistik, UIN Syarif Hidayatullah JakartaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H