Skizofrenia merupakan kondisi mental yang sulit dan berkelanjutan yang membutuhkan perawatan terutama dari anggota keluarga penderita tersebut karena keluarga adalah unit terdekat dengan pasien. Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2018 menjabarkan skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan psikosis yang prevalensinya di Indonesia sebanyak 6,7 per 1000 rumah tangga. Artinya, dari 1.000 rumah tangga terdapat 6,7 rumah tangga yang mempunyai anggota rumah tangga (ART) pengidap skizofrenia/psikosis. Orang dengan masalah mental sering mendapat stigma dan diskriminasi oleh orang-orang di sekitar mereka sehingga keluarga memiliki beban tersendiri.
Beban tersebut terdiri dari beban obyektif dan subyektif. Beban obyektif adalah beban yang dialami keluarga, seperti masalah dalam keluarga, pembatasan aktivitas sosial, stigma masyarakat terhadap keluarga, dan kesulitan ekonomi atau masalah keuangan untuk pengobatan. Sedangkan beban subyektif merupakan beban yang dialami anggota keluarga seperti frustasi, depresi, ansientas, ketidakberdayaan dan keputusasaan. Hasil telaah artikel penulis dari 9 artikel memaparkan beban dan stigma pada pengasuh dan keluarga sangat dominan.Â
Beban
Beban menjadi hal yang paling utama yang dirasakan penagsuh keluarga karena hal ini terjadi karena pengasuh harus merawat pasien setiap saat yang kadang pengasuh tidak tahu merawat pasien. Selain itu pengasuh mengalami kelelahan fisik, kurangnya waktu untuk istirahat, dan terbatasnya aktivitas yang berdampak pada status kesehatan keluarga yang lebih buruk yang terus menerus disertai dengan masalah psikologis dan emosional. Tenaga kesehatan perlu melakukan screening pada pengasuh terkait beban yang dialami dan melakukan edukasi terkait perawatan pasien dan efikasi diri pada pengasuh. Pengetahuan tentang perawatan pasien dan pengobatan dapat meningkatkan kepercayaan diri / efikasi diri (self-efficacy) dalam keluarga.
Penelitian yang dilakukan oleh (Ramzani et al., 2019) menunjukkan bahwa ketika efikasi diri meningkat maka beban pengasuh akan berkurang. Sangat penting tenaga kesehatan perlu mengkaji terkait beban yang dirasakan keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia guna dapat dilakukan penanganan yang tepat dalam meningkatkan partisipasi keluarga dalam merawat pasien. Apabila beban tersebut tidak dideteksi dan tidak segera ditindaklanjuti, hal ini akan berpengaruh pada partisipasi perawatan keluarga yang rendah dan berdampak pada terhambatnya proses pengobatan pasien
Stigma
Selain beban yang dialami, pengasuh dan keluarga sering mendapat stigma yang kurang baik dari masyarakat. Dalam penelitian (Gater et al., 2014) pengasuh percaya bahwa mereka harus tinggal di dalam rumah dan mereka tidak ingin lingkungan mereka melihat kondisi orang dengan skizofrenia karena keyakinan pengasuh bahwa mereka adalah beban sosial.
Tiga pendekatan untuk menghapus stigma publik yaitu protes, pendidikan, dan kontak (Corrigan & Penn, 1999). Protes adalah himbauan moral kepada masyarakat untuk menghentikan stigma terhadap penderita gangguan jiwa dan keluarga mereka. Pendidikan memiliki tantangan tersendiri terkait mitos di masyarakat terkait proses gangguan jiwa dengan fakta ilmiah, dan kontak merupakan tindakan mencakup membangun interaksi antara individu dengan gangguan mental dan masyarakat.
Maka dari itu sangat penting bagi tenaga kesehatan untuk mengetahui beban keluarga dalam merawat anggota keluarga dengan skizofrenia untuk meningkatkan ketangguhan keluarga. Tenaga kesehatan perlu memberikan penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi atau meminimalkan beban yang dialami keluarga agar partisipasi perawatan keluarga dan proses pengobatan pasien meningkat. Tenaga kesehatan juga perlu memperhatikan bahwa di masyarakat masih kurang memahami tanda dan gejala gangguan jiwa sehingga tenaga kesehatan dapat membuat program di komunitas berupa edukasi, penyuluhan, hingga pembentukan kader kesehatan jiwa di masyarakat. Pengetahuan masyarakat sangat penting dalam mendasari terbentuknya sikap dalam penerimaan tehadap Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Pengetahuan tersebut dapat diperoleh secara alami maupun secara terencana yaitu melalui proses pendidikan maupun penyuluhan. Selain pendidikan perlu adanya kesadaran juga dari masyarakat sendiri, sehingga masyarakat memiliki pengetahuan yang baik agar terciptanya stigma yang positif terhadap orang dengan gangguan jiwa yang berada disekitar lingkungannya.
Referensi :
Corrigan, P. W., & Penn, D. L. (1999). Lessons from social psychology on discrediting psychiatric stigma. American Psychologist, 54(9), 765--776. https://doi.org/10.1037/0003-066X.54.9.765
Gater, A., Rofail, D., Tolley, C., Marshall, C., Abetz-Webb, L., Zarit, S. H., & Berardo, C. G. (2014). "Sometimes It's Difficult to Have a Normal Life": Results from a Qualitative Study Exploring Caregiver Burden in Schizophrenia. Schizophrenia Research and Treatment, 2014, 1--13. https://doi.org/10.1155/2014/368215
Kemenkes RI. (2018). Riskesdas (2018th ed.). https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-2018_1274.pdf
Ramzani, A., Zarghami, M., Yazdani Charati, J., Bagheri, M., & Azimi Lolaty, H. (2019). Relationship between Self-efficacy and Perceived Burden among Schizophrenic Patients' Caregivers. Journal of Nursing and Midwifery Sciences, 6(2), 91--97. https://doi.org/10.4103/JNMS.JNMS_13_19
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H