Mohon tunggu...
Raudhatul Ilmi
Raudhatul Ilmi Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer & Script Writer

Jangan Pernah Protes pada Proses

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Berakhirnya Generasi Emas Belgia, Tersingkirnya Timnas Jerman, dan Pelajaran atas Sikap Arogan

2 Desember 2022   16:05 Diperbarui: 2 Desember 2022   16:09 979
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Neuer mecoba menghibur rekannya setelah tersingkir dari piala dunia/getty images

Babak penyisihan grup Piala dunia hampir selesai, hanya laga terakhir dari grup G dan H saja yang belum dimainkan. Akan tetapi sejauh ini banyak menghadirkan kejutan.

Banyak tim-tim unggulan harus angkat koper lebih cepat. Diantaranya itu Belgia, yang tak lain adalah peringkat dua dunia.

Eden Hazard cs hanya kalah dari Brazil jika dilihat dari sisi peringkat FIFA. Namun peringkat FIFA ternyata bukanlah segalanya, karna setiap tim sepakbola akan berevolusi dari waktu ke waktu.

Yang mana ada yang mengalami kemajuan dan banyak pula yang mengalami kemunduran. Begitulah yang kita lihat sekarang. 

Pemain Belgia tampak lesu/Reuteurs
Pemain Belgia tampak lesu/Reuteurs

Dengan demikian generasi emas Belgia pun berakhir dengan tidak memberikan sesuatu yang membanggakan Setelah tersingkir dengan cara yang menyakitkan

Sebenarya yang paling layak mendapatkan sorotan bukan hanya timnas Belgia, melainkan juga timnas Jerman.

Jika dulunya Jerman adalah tim yang di perhitungkan, namun sekarang Jerman bukan lagi tim yang menakutkan. Peraih 4 gelar piala dunia ini bahkan harus tersingkir di fase grup dalam dua edisi piala dunia secara berturut-turut.

Tahun 2014 sepertinya menjadi akhir dari generasi terbaik Jerman. Saat dimana negara benua Eropa ini mengangkat trofi di Brazil untuk keempat kalinya bahkan begitu gagah membungkam Brazil dengan skor telak 7-1.

Sampai pada akhirnya di final juga ikut membuyarkan impian Messi mengangkat trofi piala dunia pertama kali sepanjang kiprahnya dalam dunia sepakbola.

Memang dari masa ke masa Jerman bukanlah sebuah negara yang terlalu menonjolkan bakat individu. Seluruh dunia juga tau jika timnas Jerman selalu memainkan permainan kolektif.

Kerjasama tim berada diatas segalanya. Sehingga biarpun mereka tidak punya pemain seperti Messi dan Ronaldo, akan tetapi mereka bisa berbicara lebih banyak di kancah dunia.

Isu rasisme terhadap Ozil seakan menjadi awal kehancuran dari der panzer. Bersamaan dengan keputusan pemain berdarah Turki tersebut untuk pensiun dari timnas. Jerman pun seolah kehilagan tajinya sebagai salah satu raksasa sepakbola eropa.

Inkonsistensi menjadi milik Jerman. setelah tidak mampu melangkah jauh di Euro 2020, bukannya memperbaiki keadaan Jerman malah terjungkal dari piala dunia lebih awal.

Kehancuran pada piala dunia Qatar di mulai ketika kalah di laga pertama menghadapi Jepang sehingga hasil imbang dan kemenangan di laga selanjutnya menjadi tidak berarti.

Memang sedikit mengherankan ketika Muller cs harus takluk dari tim samurai padahal level Jerman sangat jauh diatas Jepang. Mungkin banyak yang akan mengatakan kalau bola itu bundar sehingga wajar saja akan ada banyak kejutan di lapangan

Aksi tutup timnas Jerman/Skor.id
Aksi tutup timnas Jerman/Skor.id
Itu tidak salah memang, hanya saja yang lebih tepat kenapa itu terjadi karna Jerman adalah tim yang arogan dan tidak pernah mau belajar dari kesalahan. Dan yang paling parah lagi mereka selalu merasa dirinya paling benar.

Bukankah di piala dunia 2018 mereka kalah dari Korea Selatan yang tak lain adalah wakil Asia? Dan sekarang mereka kembali dikalahkan wakil Asia lainnya.

Ini jelas menunjukkan bahwa Jerman tidak pernah mau belajar dari kesalahan sehingga mereka jatuh kelubang yang sama dengan cara yang hampir sama.

Sama-sama gagal bedanya hanya sedikit saja. Sama-sama dikalahkan oleh wakil Asia yang beda cuma negara yang mengalahkannya.

Kenapa penulis bilang mereka arogan dan merasa diri paling benar? Itu terlihat dengan apa yang mereka tampakkan di laga perdana.

Mereka meremehkan tim samurai. Bahkan saking remehnya Jepang, mereka pun lebih fokus memikirkan cara tepat menunjukkan protes karna larangan kampanye LGBT dibandingkan memikirkan peforma mereka di lapangan.

Hasilnya mereka mendapatkan pelajaran dari apa yang mereka lakukan. Pulang dari Qatar adalah hal terbaik untuk timnas Jerman. Karna kembali ke negara asal adalah hal yang pantas bagi negara yang tidak pernah menghargai negara lainnya.

Karna tim yang berkelas itu menghargai perbedaan budaya yang ada bukan malah menuntut sesuatu yang tak seharusnya yang bahkan mereka tidak pernah sadar akan rasisme dan ketidak adilan yang mereka perbuat kepada pemain timnasnya sendiri.

Mengkampanyekan keadilan tapi tidak pernah sadar dengan apa yang mereka lakukan. Mungkin makna keadilan bagi Jerman adalah apa yang mereka lakukan bukan apa yang benar bagi hak seluruh manusia.

Goodbye timnas Jerman, semoga kedepan bisa belajar dari kegagalan dan terbebas dari sifat arogan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun