Mohon tunggu...
raudatul intan balkis
raudatul intan balkis Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar sekolah

Memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reformasi Gereja A, John Calvin dan Islam Jurnal dari Markus Dominggus Lere Dawa

27 Oktober 2024   20:15 Diperbarui: 27 Oktober 2024   21:45 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jurnal ini mengkaji hubungan antara Islam dan Reformasi Gereja abad ke-16, dengan menyoroti peran Kekaisaran Ottoman dalam konteks sejarah Eropa Barat. Meskipun Islam, yang direpresentasikan oleh Kekaisaran Ottoman, bukanlah penyebab langsung dari Reformasi Gereja, invasi mereka ke Eropa memberikan kontribusi tidak langsung terhadap terjadinya, kelangsungan, dan penyebaran Reformasi. Invasi ini menciptakan situasi yang tidak dapat direspons dengan memadai oleh kekuatan politik dan militer Katolik, sehingga memungkinkan gerakan Reformasi yang diinisiasi oleh Martin Luther untuk berkembang.

John Calvin, salah satu tokoh utama Reformasi, memiliki pandangan negatif terhadap Islam. Dalam karyanya, ia sering menyamakan Muslim dengan Katolik dan Yahudi, serta menyebut mereka sebagai penyembah berhala karena tidak mengakui Kristus. Calvin menolak kemungkinan persekutuan antara Kristen dan Muslim, dan pandangannya tentang Islam banyak tersebar dalam karya-karyanya seperti "Institutio," tafsiran Alkitab, dan khotbah-khotbahnya. Calvin berpendapat bahwa Muslim, karena tidak percaya bahwa Allah dapat memanifestasikan dirinya di dalam daging, menggantinya dengan "Mahomet". Meskipun sangat negatif, ada kalanya Calvin menganggap keadaan Muslim dan Yahudi sedikit lebih baik daripada orang-orang Katolik.

Persepsi negatif terhadap Islam di Eropa Barat telah terbentuk sejak penaklukan Spanyol oleh tentara Islam pada awal abad ke-8. Penaklukan ini membawa Islam ke dalam kesadaran orang-orang Eropa Barat dan membentuk respons serta persepsi mereka tentang Islam sebagai ancaman. Stereotip negatif tentang Muslim muncul dalam literatur, menggambarkan mereka sebagai pengecut dan penyembah berhala, yang meningkatkan citra diri orang Kristen Eropa. Perjumpaan orang-orang Eropa Barat dengan orang-orang dari Timur sudah terjadi jauh sebelum Islam lahir pada abad ke-7 di jazirah Arab, menghasilkan persepsi tersendiri tentang "orang lain" dari Timur.

Meskipun demikian, Kekaisaran Ottoman juga dihormati dan dikagumi oleh orang-orang Eropa karena keberanian, disiplin, dan keadilan mereka. Kekaisaran ini dibangun oleh Osman dari puing-puing peradaban Islam di Asia Tengah hingga Barat dan terus tumbuh menjadi kekuatan imperial yang besar dan ditakuti. Kekaisaran Ottoman dipandang sebagai gambaran ideal dari bagaimana seharusnya sebuah kerajaan Kristen yang kuat, dan orang-orang Turki dipuji karena keberanian mereka dalam bertempur, ketaatan pada penguasa, disiplin, ketekunan, keadilan, dan ketertiban.

Penulis jurnal ini menekankan pentingnya dialog yang mendalam dan terbuka antara Kristen dan Islam untuk mengatasi prasangka dan membangun pemahaman yang lebih baik. Dialog ini harus merupakan percakapan yang terus-terang dan mendalam, di mana dimensi-dimensi iman masing-masing pihak dapat dibicarakan dengan bebas dan tanpa tekanan. Selain itu, jurnal ini juga mencatat bahwa persepsi negatif terhadap Islam sering kali dikembangkan tanpa adanya kontak personal yang intens dengan orang-orang Islam. Tidak ada dialog langsung dengan pemikir-pemikir Islam yang sezaman atau respons langsung dari pihak Islam, yang menyebabkan pandangan-pandangan ini berkembang secara sepihak.

Dengan demikian, jurnal ini menggarisbawahi pentingnya mengatasi prasangka melalui dialog yang jujur dan terbuka, serta pentingnya menyediakan ruang-ruang yang aman dan nyaman bagi kedua belah pihak untuk berdiskusi. Penulis juga menyoroti bahwa pengalaman buruk yang dialami orang terhadap orang lain adalah pemicu yang mudah untuk mengeluarkan sikap dan prasangka buruk, dan penting bagi orang-orang Kristen di Indonesia untuk memeriksa persepsi-persepsi mereka sendiri terhadap Islam dan orang-orang Islam.

Lebih jauh, istilah-istilah yang digunakan oleh Calvin untuk menyebut orang-orang Muslim dan Islam, seperti Turks, Saracens, dan Mahomet, menunjukkan bagaimana persepsi negatif ini terwujud dalam bahasa dan terminologi yang digunakan pada masa itu. Dalam "Institutio," istilah Turks muncul sebanyak empat kali, sementara dalam buku tafsirannya, istilah ini tersebar di hampir tiga puluh halaman yang berbeda. Istilah Mahomet juga ditemukan di dua puluhan halaman berbeda dalam buku tafsirannya, serta dalam khotbah-khotbahnya dari Kitab Ulangan. Istilah Saracens lebih jarang digunakan, muncul di lima halaman terpisah dalam buku tafsirannya dan sekali dalam khotbahnya.

Calvin juga mengaitkan Islam dengan kecurangan, seperti yang terlihat dalam pandangannya tentang Nabi Muhammad yang dikatakan mengakui dirinya menerima wahyu yang lebih tinggi dari Injil, namun hasil dari wahyu tersebut dianggap tidak sebanding dengan klaim tersebut. Dalam keseluruhan tulisannya, Calvin sering menyamakan Muslim dengan Katolik dan Yahudi, serta dengan orang-orang Heathen dan Paynim, yang menunjuk kepada penyembah berhala.

Meskipun pandangan Calvin terhadap Islam sangat negatif, ada kalanya ia menganggap keadaan Muslim dan Yahudi sedikit lebih baik daripada orang-orang Katolik. Dalam salah satu khotbahnya, Calvin menyatakan bahwa orang-orang Turki dan Yahudi tidak lebih berapi-api dan berbisa terhadap Tuhan dibandingkan dengan orang-orang Katolik.

Persepsi negatif terhadap Islam di Eropa Barat juga dipengaruhi oleh perbedaan-perbedaan yang muncul antara gereja-gereja Barat dan Timur, seperti perbedaan bahasa, konteks intelektual, dan arah teologis. Gereja-gereja di Barat akhirnya menyusun interpretasi dan respons mereka sendiri terhadap Islam, yang sering kali tidak didasarkan pada pemahaman yang mendalam atau dialog langsung dengan Islam.

Penulis jurnal ini menekankan pentingnya dialog yang mendalam dan terbuka antara Kristen dan Islam untuk mengatasi prasangka dan membangun pemahaman yang lebih baik. Dialog ini harus merupakan percakapan yang terus-terang dan mendalam, di mana dimensi-dimensi iman masing-masing pihak dapat dibicarakan dengan bebas dan tanpa tekanan. Selain itu, jurnal ini juga mencatat bahwa persepsi negatif terhadap Islam sering kali dikembangkan tanpa adanya kontak personal yang intens dengan orang-orang Islam. Tidak ada dialog langsung dengan pemikir-pemikir Islam yang sezaman atau respons langsung dari pihak Islam, yang menyebabkan pandangan-pandangan ini berkembang secara sepihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun