Dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan akan diadakan pemilihan kepala daerah provinsi sulawesi tenggara. Pemilihan kali ini terbilang istimewa paling tidak untuk beberapa daerah, yang mana dalam kegiatan pemilihan nanti akan dilangsungkan secara bersamaan antara pemilihan pasangan calon kepala daerah pada tingkat provinsi dan juga pada tingkat kabupaten / kota.
Hiruk pikuk siapa yang berniat maju dan hendak menggunakan "pintu" apa telah gencar diberitakan melalui berbagai media. Bagaikan air yang mendidih, pemberitaan-pemberitaan itu lalu menjadi buih yang meletup tanda tingginya suhu politik yang ada. Semua ikut berpartisipasi dalam perannya masing-masing.
Rutinitas 5 tahunan yang mulai bergelora sejak dibukanya keran reformasi hampir dua dekade silam, menjadi ritual wajib yang selalu diikuti oleh kebanyakan penduduk sesuai dengan kadar kesanggupannya masing-masing. Ada yang menjadi penyokong dana kampanye, lobitor partai-partai, penerima order atribut, tim pemenangan, pemilih yang menunggu didatangi, pedagang-pedagang yang meramaikan perkumpulan massa, hingga kandidat yang siap bertarung.
Berbicara pemilihan kepala daerah pasca lahirnya aturan tentang otonomi daerah pada tahun 1999 akan selalu terkait erat dengan etnisitas, paling tidak dalam hal struktur dominasi. Berkaca pada penelitian disertasi yang dilakukan oleh Sofyan Sjaf (Ketua Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan -- Institut Pertanian Bogor) pada tahun 2011 -- 2012 studi kasus di Kendari, ditemukan bahwa betapa etnisitas sangatlah berperan pada perebutan kekuasaan di Sulawesi Tenggara.
Melalui penelitian tersebut digambarkan bahwa Sulawesi Tenggara tersusun oleh 28 etnis penduduk, selain itu pula pada ruang ekonomi dan politik lokal didominasi oleh mereka yang berasal dari 4 etnis mayoritas antara lain Buton, Tolaki, Muna, dan Bugis berikut dinamika konstelasi yang berkembang pada etnis yang ada. Penelitian tersebut menunjukan bahwa untuk menemukenali fenomena politik identitas dalam arena ekonomi politik lokal, maka dibutuhkan pemahaman tentang pembentukan identitas etnik, praktik dominasi (identitas) etnik, ruang pertarungan, strategi aktor, dan formasi identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal.
Upaya pembentukan identitas dalam arena politik lokal sangat dipengaruhi oleh adanya etnisitas yang direproduksi sehingga menciptakan habitus (tindakan naluriah) pada aktor. Pada pembentukan identitas etnik akan menentukan posisi dan peran aktor pada praktik dominasi (identitas) etnik dalam arena ekonomi politik lokal.Â
Sedangkan praktik dominasi meliputi kekuasaan simbolis, kekuasaan politik, dan kekuasaan ekonomi, yang mana kesemuanya dilakukan dalam arena ekonomi dan politik skala lokal.Â
Sedangkan strategi yang dijalankan oleh para aktor antara lain berupa reproduksi simbolik, investasi simbolik, invasi ekonomi, dukungan wacana, invasi kekuasaan, dukungan simbolik, penyusupan simbolik, perlawanan, reproduksi wacana, aliansi strategis, dan edukatif. Formasi identitas etnik dalam arena ekonomi politik lokal terbagi menjadi dua yakni formasi dominasi dan formasi terdominasi.
Bila melihat perpolitikan Sulawesi Tenggara dalam pemilihan gubernur tahun 2018, kiranya hasil penelitian Sofyan Sjaf layak dijadikan sebagai alat analisis yang dengannya dapat memberi informasi bagaimana menjadi aktor potensial, tindakan yang perlu dilakukan, pada ruang seperti apa akan berlaga, strategi apa yang akan dimainkan, dan proyeksi formasi yang akan dihasilkan nantinya. Setiap nama pasangan calon gubernur yang beredar informasinya di Sulawesi Tenggara dapat dengan mudah diketahui asal etnisnya, representasi daratan -- kepulauan, keterwakilan gender, dan lain sebagainya.
Dengan memanfaatkan identitas etnik, pasangan kandidat dapat meraih simpati keberpihakan dari para pemilih. Tidak dapat dipungkiri bahwa etnisitas bukan merupakan satu-satunya pendekatan isu yang dapat digoreng untuk disajikan kepada para pemilih, namun isu etnisitas selalu menjadi bahan pertimbangan utama sehingga mendapat porsi perhatian yang lebih dari para kontestan.
Melalui berbagai pemberitaan hingga saat ini tercatat minimal 5 pasangan yang memberikan informasi niat mengikuti perhelatan kepala daerah Sulawesi Tenggara, antara lain (1) Asrun -- Hugua, (2) Ali Mazi -- Lukman Abunawas, (3) Wa Ode Nurhayati -- Andre Darmawan, (4) Rusda Mahmud -- La Ode Muhammad Sjafei Kahar, dan (5) Laode Muhammad Rusman Emba -- Asnawati Hasan.Â
Dari 5 kandidat yang ada hanya satu pasangan yang benar-benar memastikan keikutsertaannya dalam pemilihan gubernur kali ini melalui jalur independen yakni pasangan Wa Ode Nurhayati -- Andre Darmawan, sedangkan empat pasangan lainnya masih saling berebut surat dukungan partai pengusung.
Walaupun para kandidat yang ada telah mengumumkan pasangan calonnya namun komposisi personal dari masing-masing pasangan masih memiliki peluang untuk berubah hingga tiba hari pendaftaran ke KPU nantinya. Hal yang menarik adalah dinamika dukungan partai yang melanda pasangan Ali Mazi -- Lukman Abunawas, yang mana mendapat hambatan dari internal partai pengusungnya.
Sedangkan pada pasangan Rusda Mahmud -- La Ode Muhammad Sjafei Kahar juga masih harus berusaha untuk keluar dari bayang-bayang penugasan berjangka padanya, plus tarik menarik dukungan partai yang juga sama diperebutkan oleh pasangan Asrun -- Hugua. Pada pasangan Laode Muhammad Rusman Emba -- Asnawati Hasan, walaupun masih belum terdengar kepastian "pintu" segegap gempita pasangan lainnya namun hingga saat ini masih tetap mantap menunjukan itikad untuk maju melalui sebaran informasi via media massa.
Politik yang cair dan adanya pilkada DKI Jakarta baru-baru ini telah memberi pelajaran bahwa kandidat yang sejak jauh hari telah mempersiapkan diri dapat saja kalah oleh kandidat yang melakukan pendaftaran ke KPU di saat-saat terakhir pada masa pendaftaran. Olehnya semua kandidat gubernur haruslah waspada karena keadaan dapat saja berubah di luar kendali. Selain itu pula isu dominasi pribumi dan non pribumi demikian derasnya mengalir ke kantong-kantong suara dan mempengaruhi psikologi para pemilih dalam menentukan pilihannya di Jakarta. Maka jadilah kemenangan Anies -- Sandi sebagai simbol kebangkitan penduduk asli Indonesia di Jakarta.
Memperebutkan suara dari daerah yang berpenduduk 2.551.008 jiwa (BPS Sultra 2016) bukanlah merupakan hal yang mudah. Masyarakat Sulawesi Tenggara yang kini telah terpecah-pecah hingga 17 daerah kota dan kabupaten masih memegang teguh adat dan istiadatnya, yang mana hal ini berarti etnik sebagai identitas dan produk budaya masih akan diakui dan diperhitungkan sebagai modal dalam meraih kekuasaan nantinya.
Tergantung para kandidat sajalah yang menentukan, atas seberapa mampu isu etnik dapat dikelola secara bijak. Pengelolaan isu etnik yang tepat dapat memunculkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang mendapat penerimaan oleh etnik-etnik mayoritas, serta disambut oleh etnik-etnik lainnya. Olehnya rumus pakem pasangan kandidat gubernur seperti (1) [Tolaki -- Bugis] + Buton. (2) Buton + [Tolaki -- Bugis], (3) Buton -- [Tolaki -- Bugis], (4) [Tolaki -- Bugis] + Buton, dan (5) Muna + [Tolaki -- Bugis] akan selalu digunakan dalam pemilihan kepala daerah Sulawesi Tenggara.
Dalam rumus etnik pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur Sultra kali ini, Tolaki dan Bugis mau tidak mau harus bersatu di semua kandidat yang berasal dari daratan pulau Sulawesi agar dapat menang. Hal yang benar-benar berbeda adalah antara etnik Buton dan Muna. Di mana di antara keduanya tidak dapat disatukan menjadi pasangan kandidat. Pertimbangan historikalitas etnik yang hampir sama, serta keberadaan etnik lainnya membuat rumusan etnik pasangan kandidat kepala daerah asal etnik Buton dan Muna menjadi sebagaimana tergambar pada penjelasan tersebut di atas.
Melihat komposisi etnik pada pasangan kandidat yang ada, isu yang paling hangat disajikan tentunya adalah isu pemekaran daerah. Sebagaimana telah diketahui bahwa lebih dari satu dekade terakhir perjuangan pembentukan provinsi baru yang dinamakan Buton Raya lalu kemudian berubah menjadi Kepulauan Buton, terus digelorakan. Melalui isu ini para kandidat yang mampu menangkap sisi emosional warga etnis Buton memiliki kesempatan yang lebih besar dalam meraup simpati masyarakat.
Kabar gembira sekaligus menyedihkan adalah adanya dominasi etnis Tolaki-Bugis pada semua kandidat pasangan kepala daerah Sulawesi Tenggara, terlepas dari posisinya apakah 01 atau 02. Di urutan kedua terdapat etnik Buton yang dengan sebaran personilnya sebanyak 4 orang baik sebagai calon gubernur maupun sebagai calon wakil gubernur. Pada posisi paling akhir terdapat 1 orang dengan etnik yang berasal dari Muna. Bila diskoring maka akan nampak nilainya seperdi demikian, Tolaki -- Bugis (5), Buton (4), dan Muna (1).
Skoring yang dilakukan dapat memberi informasi betapa (pasangan) etnik tertentu memiliki pengaruh yang sangat besar di Sulawesi Tenggara. Selain itu pula etnik mayoritas di Sulawesi Tenggara memerlukan dukungan etnik lainnya (Buton atau Muna) untuk menjadi pasangan yang pas sehingga dapat maju dalam pemilihan kepala daerah.Â
Berdasarkan penjumlahan kandidat melalui pola rumusan etnik di atas, didapatkan proyeksi pasangan kandidat dengan kemungkinan tingkat elektabilitas yang prospektif, hal ini tentunya menjadi impian, yang mana dapat tercapai hanya oleh kerja keras oleh para kandidat bersama tim pemenangannya, Â yang dituntut untuk mampu meyakinkan masyarakat Sulawesi Tenggara akan baik dan tepatnya melabuhkan pilihan suara pada salah satu kandidat gubernur Sultra yang tengah diusung.
Dalam pekat malam di kaki gunung Salak
Bogor, 13 November 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H