Pada kesempatan musim dingin beberapa waktu lalu saya dan anak-anak mendapat kesempatan ikut suami tugas ke Ho Chi Minh, Vietnam. Hitung-hitung menghangatkan diri dari dinginnya negeri padang pasir. Kami tiba di sana malam hari jadi hanya kami isi dengan makan malam di warung makan pinggir jalan dekat hotel. Udara yang hangat agak lembab seperti di tanah air membuat kami berkeringat usai berjalan kurang lebih 1 kilometer dari hotel ke lokasi warung makan. Di lokasi tersebut berderet warung-warung makan yang sebenarnya menempati jalan raya yang bila pagi hingga sore hari sangat padat kendaraan lalu lalang. Selain warung makan di sisi berlawanan berderet pula penjaja kaki lima yang menawarkan pakaian, asesoris wanita, mainan, yang kurang lebih sama dengan pasar kaget di tanah air saat malam hari. Kepulan asap dari wajan para pedagang mengeluarkan aroma sedap mengundang selera makan. Kami sangat ketat memilih makanan halal tiap kali bepergian ke negara lain maka kami memesan hanya makanan makanan laut seperti: nasi goreng cumi, udang goreng saus tiram, ikan bakar, dan cumi bakar. Rasanya sama persis dengan sajian warung tenda di tanah air. Ada pilihan makanan sehat khas Vietnam, udang atau ikan dicampur bihun rebus dan sayuran lalu dibungkus rice paper. Tak lupa air kelapa muda pilihan minum kami yang tidak ada di Qatar. Dalam perjalanan pulang ke hotel kami menemukan restoran halal justru tak jauh dari hotel. Sebelumnya saya yakin pasti ada komunitas muslim di sini karena saya melihat seorang pedagang kaki lima menjajakan mukena, perlengkapan salat untuk wanita muslim.
[caption id="attachment_196943" align="aligncenter" width="404" caption="Penjaja kaki lima di Vietnam"][/caption] Hari pertama kami menuju agen wisata dalam kota untuk mengikuti wisata Mekong River menggunakan bus bersama turis-turis lain. Sebelum tiba di sungai Mekong kami mampir sejenak di lokasi industri kerajinan tangan dari kayu dan gerabah yang mana para pekerjanya adalah korban perang Vietnam. Umumnya mereka memiliki cacat fisik seperti kaki atau tangannya hanya satu. Ada juga yang tak memiliki kaki sama sekali jadi ia bekerja menggunakan kursi roda. [caption id="attachment_196951" align="aligncenter" width="300" caption="Pengrajin cacat fisik "]
[/caption]
Walau menyesakkan dada melihat pekerja yang cacat tetapi saya kagum dengan hasil karya mereka. Kalau tidak melihat bengkel kerjanya hampir tidak percaya bahwa kerajinan tangan yang dipajang di showroom dibuat oleh mereka. Perjalanan dilanjutkan ke sungai Mekong. Bus berhenti di pelabuhan kecil yang cukup rapi dan bersih. Kami menuju sebuah perahu motor berkapasitas kurang lebih 20 penumpang. Perjalanan 15 menit menuju sebuah daratan di tengah sungai mengingatkan saya akan kampung halaman ayah di Pontianak, Kalimantan Barat. Seandainya pemerintah daerah setempat dapat menjadikan sungai Kapuas sebagai objek wisata turis asing pasti akan menguntungkan pemerintah dan warga di sana. Toh sungainya sama-sama lebar dan berwarna coklat. Kami menepi di daratan seberang menyaksikan atraksi ular berbisa. Semua turis diijinkan memegang atau mengalungkan seekor ular sendok yang telah dibuang bisanya ke leher. Masih di kawasan yang sama para turis dapat menyaksikan pembuatan coconut candy yang dikenal di kampung saya sebagai dodol. Cara pengolahannya pun sama persis dengan dodol yang ada di tanah air menggunakan kelapa dan daun pandan. Para turis dapat ikut serta membuat dodol tersebut dari mulai awal pembuatan hingga pengemasan yang siap dijual. Duuh, lagi-lagi teringat kampung halaman, andai saja dodol durian dari Pontianak bisa dikenal turis mancanegara.
[caption id="attachment_197056" align="aligncenter" width="404" caption="Tur sungai Mekong"]
[/caption]
[caption id="attachment_197052" align="aligncenter" width="404" caption="Proses pembuatan coconut candy (dodol)"]
[/caption] Menjelang siang kami menyantap buah-buahan tropis seperti pepaya, nanas, dan mangga sambil disuguhi kelompok musik daerah setempat. Postur tubuh dan wajah orang Vietnam hampir serupa dengan orang Indonesia mungkin karena sama-sama di kawasan Asia Tenggara. Dari situ kami naik delman ke tepi sungai untuk naik sampan - perahu kecil menggunakan dayung -untuk menuju perahu besar yang semula mengantar kami ke lokasi tersebut. Tanpa terasa hampir seharian kami berada di tepi sungai Mekong. Menjelang sore kami kembali ke hotel. Hari ke dua kami mengunjungi Chu chi tunnel, lokasi bersejarah bangsa Vietnam di mana pada masa perang mereka membuat kota di bawah tanah untuk menghindari penyerangan negara adikuasa Amerika.
Nggak kira-kira mereka membangun gua hingga 3 lapis di mana lapis ke-3 adalah tempat pertahanan terakhir bila lapisan 1 dan 2 diserang oleh bom. Di kota bawah tanah tersebut mereka membuat posko kesehatan berupa rumah sakit kecil untuk pejuang korban perang. Cara masuk ke kota tersebut melalui lubang kecil yang hanya cukup seukuran tubuh orang Vietnam agar tentara Amerika yang tubuhnya berukuran besar tidak dapat masuk ke lubang tersebut. Beberapa gua yang ada di bawah tanah tersebut akan berujung di beberapa titik sungai. Lubang tempat mereka masuk akan ditutupi daun-daunan untuk menyamarkan agar seperti tanah biasa. Di lokasi gua-gua kecil tersebut banyak terdapat perangkap-perangkap buatan untuk mengelabui tentara Amerika. Dapur umum masa perang pun masih dipertahankan keberadaaannya, masuk ke lubang lapisan pertama, asapnya mengepul di sisi yang jauh dari dapur agar tidak diketahui tentara Amerika pada masa perang. Mereka memasak di pagi hari saat embun masih turun agar kepulan asap dapur tersamarkan embun pagi. Di lokasi dapur umum para turis disuguhi singkong rebus yang masih hangat dan teh tawar panas. Hmm, lagi-lagi membayangkan kampung halaman.... Dari lokasi dapur umum terdengar suara-suara tembakan senjata api membuat susana perang sangat terasa. Turis dapat menggunakan senjata api di lokasi
shooting range dengan membeli beberapa butir peluru. Dari Chu chi tunnel kami menuju museum perang Vietnam. Saya tak dapat berkata apa-apa menyaksikan foto-foto sejarah perang yang diabadikan oleh beberapa wartawan perang masa itu. Melihat akibat bom kimia ternyata berakibat cacat fisik dan mental terhadap beberapa anak keturunan tentara dan korban perang.
[caption id="attachment_197053" align="aligncenter" width="404" caption="Lubang bawah tanah menuju underground city di Chu chi tunnel"]
[/caption] [caption id="attachment_197055" align="aligncenter" width="404" caption="Perangkap masa perang "]
[/caption] Hari ke tiga di Ho Chi Minh bertepatan dengan hari Jumat kami berencana melaksanakan salat Jumat di masjid dekat hotel. Informasi masjid kami dapat dari restoran halal dekat hotel. Sebelum memasuki waktu salat kami singgah di depan gedung opera teater Saigon yang dibangun tahun 1897 oleh arsitek Perancis Ferret Eugene. Dari gedung teater di jalan Dong Du kami berjalan kaki ke masjid yang di depannya berderet restoran-restoran halal. Tak ada yang unik dari bangunan masjid tersebut. Saya melihatnya hampir sama dengan masjid-masjid yang ada di pulau Jawa. Apalagi tempat berwudhu sama persis dengan tempat wudhu masjid jaman dulu di pulau Jawa. Beberapa wanita lokal telah siap mengikuti salat Jumat di bagian teras samping masjid. Sayangnya tak satupun yang dapat berbahasa Inggris atau Melayu. Jadi saya tak dapat berkomunikasi untuk menyerap informasi apapun mengenai bangunan masjid dan populasi warga muslim di Vietnam. Saat khatib menyampaikan khutbah saya sangat terkejut karena khutbah disampaikan dalam bahasa Indonesia campur Melayu. Yang saya heran dari jamaah wanita semuanya tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia. Saya kebingungan mencari orang yang bisa dijadikan nara sumber tapi semuanya memasang wajah bingung juga. Kembali ke hotel kami memanggil taksi yang ada di depan masjid. Si sopir melipat sajadah dan meletakkan di
dashboard mobil, lagi-lagi ia juga tak dapat berbahasa Inggris atau Melayu. Puas dengan jalan-jalan kali ini walau menyisakan kebingungan mengapa bahasa Indonesia digunakan khatib Jumat di Vietnam. [caption id="attachment_197057" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid di kawasan Dong du"]
[/caption] [caption id="attachment_197058" align="aligncenter" width="300" caption="Tempat berwudhu pria"]
[/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya