Lahan adalah investasi moneter jangka panjang yang selalu diminati karena harapan akan kenaikan nilai pada masa depan, memberikan pengembalian yang stabil bahkan dalam krisis ekonomi. Tidak hanya memiliki nilai intrinsik, lahan menggambarkan mosaik kompleks antara materialitas, individu, dan ruang, yang dicari oleh masyarakat desa dan kota untuk beragam kepentingan. Motivasi utama membeli dan mempertahankan lahan adalah potensi keuntungan moneter yang terkait dengan keterbatasan sumber daya ini dan meningkatnya permintaan.
Perdesaan sebagai wilayah yang cenderung memiliki peluang terbatas dalam hal sumber mata pencaharian tentu mengandalkan pemanfaatan lahan pertanian sebagai investasi lintas generasi. Sebagai aset, lahan pertanian di perdesaan memiliki banyak makna yang mendalam. Sebagai salah satu contoh penting, melalui lahan pertanian, keluarga dapat memproduksi pangan baik untuk dikonsumsi secara subsisten maupun komersil, sehingga mampu bertahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Narasi dominan terkait lahan biasanya berkisar pada nilai jualnya, potensi pengembangannya, atau keuntungan yang dapat dihasilkan dari investasi di atasnya. Namun, ini hanyalah satu sisi dari cerita kompleks tentang hubungan manusia dengan lahan. Kita masih memiliki satu sisi pembahasan lainnya yaitu nilai non-moneter yang dimiliki oleh suatu lahan. Sumber daya non-moneter seringkali tersisih dalam diskusi mengenai lahan, terutama dalam konteks ekonomi modern yang sangat berorientasi pada pasar. Dalam dunia yang semakin terkomodifikasi, di mana segala sesuatu tampaknya melekat pada suatu harga, nilai non-moneter dinilai lumrah untuk diabaikan.
Lima aspek non-moneter yang membuat pemilik lahan mempetahankan lahannya direfleksikan melalui penelusuran spesifik pada komunitas ekosistem pertanian kelapa di lahan gambut. Aktor-aktor yang membentuk komunitas ini tersebar hingga penjuru Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, Indonesia. Dengan julukan "Negeri Seribu Parit, Hamparan Kelapa Dunia," petani kelapa mewakili entitas terbesar dengan jumlah mencapai 80.264 jiwa yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik kabupaten pada 2015, mewakili luas lahan produktif sekitar 261.690 hektar pada tahun yang sama. Jumlah petani kelapa ini belum dikalahkan oleh wilayah manapun di Indonesia dan menjadikan Indragiri Hilir sebagai wilayah penghasil kelapa terbesar secara nasional. Sifat alamiah tanaman kelapa yang lebih cocok dimiliki oleh petani karena berbagai faktor pendorongnya membuat tanaman ini sebagian besar tetap dimiliki oleh rakyat, bukan oleh industri pengolahan. Kelima aspek non-moneter yang melekat pada perkebunan kelapa yaitu sentimen tradisi, keterkaitan emosional, kehidupan sosial dan sumber pembelajaran, nilai religi, dan keamanan investasi.
Sentimen tradisi
Permintaan kelapa di panggung internasional mengalami lonjakan sejak dekade 1880-an, dikatalisasi oleh ekspansi industri minyak dan lemak Eropa yang mengidentifikasi kopra sebagai komponen esensial dalam manufaktur sabun dan mentega. Berlanjut pada periode 1909-1937, Hindia Belanda berhasil berkontribusi hingga sepertiga dari ekspor kopra global. Kebutuhan bagi kepentingan pemerintah kolonial tersebut sebagian besar dipenuhi oleh Indonesia bagian Timur, khususnya Kepulauan Maluku dan Sulawesi. Sayangnya, dimulai pada tahun 1930an hingga 1950an, terjadi depresi ekonomi kelapa di Indonesia Timur yang membuat ekonomi perdagangan kopra bertransisi ke pantai timur Pulau Sumatra, dengan fokus spesifik di Indragiri Hililr. Daerah ini mengalami ekspansi signifikan dalam pengembangan dan produksi kelapa dimulai dari 1980-an, yang kemudian menetapkan Indragiri Hilir sebagai wilayah penghasil kelapa terkemuka di Indonesia, meskipun dalam proses perjalanannya, ekosistem ini bukan tanpa kendala.
Memelihara kebun kelapa di Indragiri Hilir, bagi sebagian besar petani, bukan hanya sekedar menjalankan aktivitas ekonomi. Lebih dari itu, mempertahankan kebun kelapa sama artinya dengan mempertahankan warisan bersejarah yang telah berlangsung lintas abad. Perkebunan kelapa telah menjadi lebih dari sekedar sumber daya; ini menjadi simbol dari sentimen tradisi yang dalam, dan bagi banyak petani, kebun kelapa merupakan relik-relik nenek moyang yang memiliki nilai kesakralan. Perkebunan kelapa menjadi entitas yang menyatukan dimensi fisik dan simbolis, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan meneruskan warisan budaya kepada generasi mendatang dalam bentuk yang paling nyata dan bermakna
Keterikatan emosional
Mengacu pada poin sebelumnya, perkebunan yang sebagian didapatkan dari cara diwariskan menyimpan kenangan bagi pengelolanya kini. Banyak petani yang telah menghabiskan sebagian besar hidup mereka dengan bekerja di lahan yang sama dan memiliki keterikatan emosional yang kuat. Bagi mereka, perkebunan kelapa menjadi saksi atas berbagai kenangan hidup.
Tiga batang kelapa ini udah ditanam sejak saya belum lahir, makanya udah tinggi banget, umurnya sekitar 80 tahun. Memang sudah tak bisa diambil hasilnya karena terlalu tinggi, alat panen tak sampai, tapi tak saya tebang karena kenang-kenangan, suka ingat emak bapak. Masih berbuah lebat, tapi diambil saat jatuh saja (Solehudin, Petani Kelapa di Desa Pulau Burung).