Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Konsultan - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ketika Guru Lebih Pentingkan Medsos daripada ngajar

29 Desember 2024   18:12 Diperbarui: 29 Desember 2024   19:16 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkah Anda membayangkan seorang guru yang lebih sibuk memikirkan konten media sosial ketimbang rencana pembelajaran? Di era digital ini, peran guru tidak lagi sekadar menyampaikan ilmu. Guru kini harus menjadi entertainer, influencer, bahkan public relations untuk dirinya sendiri. Tidak heran jika muncul istilah baru: "Guru Selebgram".

Guru Selebgram adalah istilah untuk menggambarkan situasi guru masa kini. Mereka merasa perlu menjadi penghibur di media sosial di luar kelas. Mereka membuat video adegan belajar yang ceria, namun ternyata penuh kepalsuan dan rekayasa yang sesuai script. Semua ini dilakukan demi mendapatkan perhatian publik atau memenuhi ekspektasi program seperti Merdeka Belajar.

Salah satu tuntutan terbesar era ini adalah kehadiran digital. Program pemerintah sering mendorong guru menjadi selebriti mikro. Guru harus tampil di media sosial seperti dalam drama komedi yang ceria. Fokus yang seharusnya pada pembelajaran otentik justru bergeser ke citra yang menarik.

Masalah muncul saat siswa digunakan sebagai properti dalam video. Guru merekam momen belajar tanpa persetujuan penuh siswa atau orang tua. Video tersebut diedit agar terlihat menarik, kadang dengan adegan yang diatur ulang. Realitas kelas tergantikan oleh narasi palsu, merusak esensi pendidikan.

Guru juga sering diarahkan menjadi duta program pemerintah. Media sosial mereka penuh konten yang mendukung kebijakan pendidikan terbaru. Alih-alih mengkritisi atau memberi masukan, mereka menjadi perpanjangan humas. Pendidikan perlahan berubah dari alat pembebasan menjadi alat propaganda.

Namun, tidak semua guru menerima fenomena ini dengan tangan terbuka. Ada yang melihatnya sebagai peluang berkreasi. Mereka menganggap konten sebagai cara baru untuk menginspirasi siswa dan masyarakat. Tetapi, ada juga yang merasa ini adalah eksploitasi. Profesi guru kehilangan fokus dan martabatnya.

Di sisi lain, orang tua dan masyarakat mulai mempertanyakan arah pendidikan. Banyak yang khawatir tentang pelanggaran privasi siswa. Anak mereka muncul di video yang tersebar tanpa kontrol. Profesi guru pun mulai dipandang sebelah mata karena citra yang ditampilkan kurang serius.

Fenomena guru kreatif bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain, tren serupa juga muncul. Guru influencer menawarkan konten seperti tips belajar atau hiburan. Namun, masalah etika tetap menghantui. Ketika pendidikan menjadi komoditas, nilai-nilai dasarnya mulai memudar.

Konsekuensinya, guru menghadapi tekanan tambahan. Mereka harus terus inovatif, baik di kelas maupun media sosial. Kesibukan mereka memproduksi konten dianggap prestasi. Namun, banyak guru merasa lebih dihargai sebagai content creator, hingga memilih meninggalkan profesi.

Tren ini membawa risiko jangka panjang. Ketergantungan pada media sosial membuat profesi guru rentan terhadap perubahan tren. Apa yang hari ini relevan, besok bisa saja dilupakan. Guru yang sibuk di dunia maya berisiko kehilangan jiwa dan ruh dengan siswa mereka.

Apa yang bisa dilakukan? Guru perlu kembali pada inti profesi mereka, yaitu mendidik. Media sosial harus digunakan bijak, tanpa mengorbankan nilai pendidikan. Pemerintah juga perlu mengevaluasi kebijakan. Jangan sampai tekanan membuat profesi guru kehilangan esensinya.

Fenomena guru kreatif adalah tantangan besar bagi profesi ini di era digital. Dunia memang berubah, tetapi esensi pendidikan tidak boleh hilang. Guru dan pemangku kepentingan harus bekerja sama menjaga keseimbangan. Pendidikan harus tetap menjadi alat pembebasan, bukan sekadar hiburan.

Karena di balik layar digital itu, ada siswa yang berharap. Bukan pada konten yang berkilau, tetapi pada guru yang peduli. Pendidikan adalah tentang membentuk manusia, bukan menjadi bintang media sosial. Masa depan bangsa ada di tangan mereka yang mendidik dengan hati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun