Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Konsultan - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Bagaimana Kampus seharusnya berkontribusi bagi Masyarakat

29 November 2024   21:28 Diperbarui: 29 November 2024   21:28 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Medanheadline.com

Kampus sering kali terasa seperti menara gading---tinggi menjulang, tampak megah, tetapi jauh dari jangkauan masyarakat. Di dalamnya, para akademisi sibuk memproduksi tulisan demi tulisan untuk dipublikasikan di jurnal internasional. Semakin banyak publikasi, semakin tinggi peringkat kampus di mata dunia. Namun, apa manfaatnya bagi masyarakat?

Kampus sebenarnya didirikan bukan hanya untuk mencetak gelar atau membangun reputasi. Peran utamanya adalah menjadi pusat pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Sayangnya, pengabdian sering kali hanya menjadi formalitas, dilaksanakan sekadarnya untuk memenuhi laporan, sementara penelitian dan publikasi menjadi fokus utama.

Scopus, indeksasi jurnal bereputasi internasional, telah menjadi semacam "dewa" di dunia akademik. Setiap tahun, kampus berlomba-lomba menambah jumlah publikasi di sana. Dosen pun dikejar target, dipaksa menulis tanpa memikirkan apakah hasilnya bermanfaat bagi orang banyak. Tekanan ini membuat tugas lain, seperti mengajar dan mengabdi, terlupakan.

Namun, siapa yang bisa menyalahkan mereka? Peringkat kampus di dunia internasional adalah kebanggaan bagi banyak orang. Mahasiswa merasa lebih percaya diri, rektor pun mengangkat kepala lebih tinggi. Tetapi, mari kita bertanya: apakah peringkat itu mencerminkan kualitas sesungguhnya dari kampus? Atau sekadar angka tanpa makna?

Sementara itu, masyarakat di sekitar kampus menghadapi masalah nyata setiap hari. Petani bergulat dengan hasil panen yang rendah. UMKM kesulitan bersaing dengan produk impor. Desa-desa tertinggal jauh dari kota. Mereka menunggu solusi yang tidak kunjung datang. Ironisnya, banyak penelitian sebenarnya relevan dengan masalah-masalah ini, tetapi berakhir sebagai tumpukan kertas di perpustakaan atau data dalam jurnal yang sulit diakses.

Penelitian memang penting untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, tetapi tujuan akhirnya haruslah menghasilkan perubahan nyata. Jika hanya berfokus pada publikasi tanpa aplikasi, kampus kehilangan esensi utamanya.

Lihatlah kampus-kampus besar dunia seperti MIT atau Stanford. Mereka dikenal bukan hanya karena penelitian mereka, tetapi juga karena bagaimana hasil penelitian itu diterapkan. Teknologi-teknologi yang mereka kembangkan digunakan langsung oleh industri atau masyarakat. Banyak inovasi lahir dari sana, dari produk sederhana hingga perusahaan raksasa seperti Google dan Apple.

Kampus-kampus di Indonesia bisa mengikuti jejak ini. Fokus mereka seharusnya tidak hanya pada publikasi internasional, tetapi juga pada bagaimana menyelesaikan masalah di sekitar mereka. Ada banyak cara yang bisa dilakukan.

Pertama, kampus harus mendorong penelitian terapan yang langsung menyasar kebutuhan masyarakat. Misalnya, teknologi sederhana untuk membantu petani meningkatkan hasil panen, atau aplikasi digital yang dapat meningkatkan literasi di desa. Penelitian seperti ini tidak hanya relevan, tetapi juga memberi dampak nyata.

Kedua, kampus harus lebih aktif menjalin kerja sama dengan masyarakat dan pemerintah. Ada banyak program yang bisa dikembangkan bersama, seperti pelatihan untuk UMKM, pendampingan bagi petani, atau penyuluhan kesehatan. Selain membantu masyarakat, kegiatan ini juga menjadi media pembelajaran yang baik untuk mahasiswa.

Ketiga, cara menilai keberhasilan kampus perlu diubah. Bukan hanya jumlah publikasi atau peringkat internasional, tetapi juga dampaknya terhadap masyarakat. Misalnya, berapa banyak desa yang menjadi mandiri karena program kampus? Berapa banyak UMKM yang tumbuh? Berapa banyak masyarakat yang terbantu?

Keempat, insentif untuk pengabdian masyarakat harus diperbesar. Tidak hanya untuk dosen, tetapi juga mahasiswa. Mahasiswa yang aktif dalam kegiatan sosial perlu mendapatkan penghargaan, seperti kredit akademik tambahan atau peluang karier yang lebih baik.

Kelima, teknologi harus dimanfaatkan secara maksimal. Kampus bisa menjadi inkubator inovasi yang mengembangkan alat atau aplikasi sederhana tetapi sangat bermanfaat bagi masyarakat. Misalnya, aplikasi untuk memonitor kesehatan atau alat pengolahan sampah yang murah dan efektif.

Keenam, kurikulum harus dirancang untuk menanamkan kesadaran sosial kepada mahasiswa. Mata kuliah tentang pemberdayaan masyarakat atau proyek nyata di lapangan bisa menjadi salah satu caranya. KKN (Kuliah Kerja Nyata) juga harus diarahkan untuk menyelesaikan masalah lokal secara konkret, bukan sekadar formalitas.

Langkah-langkah ini memang membutuhkan waktu. Budaya akademik yang sudah lama terbentuk tidak mudah diubah. Namun, perubahan harus dimulai. Jika tidak, kampus akan semakin jauh dari masyarakat dan hanya menjadi simbol tanpa fungsi.

Kita tidak bisa terus-menerus mengejar pengakuan dari luar sementara masyarakat di sekitar kampus justru merasa tidak diuntungkan. Kampus seharusnya menjadi tempat di mana ilmu pengetahuan bertemu dengan kehidupan nyata. Tempat di mana perubahan dimulai, bukan sekadar tempat menulis dan mencatat angka. Scopus memang penting, tetapi  masyarakat jauh lebih penting.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun