Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Konsultan - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Beban PPN 12 % di Depan Mata Konsumen dan Pelaku Usaha

19 November 2024   04:53 Diperbarui: 19 November 2024   05:00 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: Pixebay.com

Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen kembali memantik perdebatan. Para pelaku usaha di sektor manufaktur dan ritel angkat bicara, meminta kebijakan ini ditunda.

Sebagai pengamat ekonomi, saya memahami kegelisahan mereka. Perekonomian baru saja mulai bernapas setelah pandemi, kini harus dihadapkan pada kebijakan yang dianggap bisa memperberat beban.

Kebijakan ini direncanakan mulai berlaku Januari 2025. Namun, ancaman terhadap daya beli masyarakat sudah mulai terasa sejak wacana kenaikan diumumkan.

Salah satu asosiasi, Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia), dengan tegas menyebut kebijakan ini perlu dievaluasi. Apalagi, ekonomi belum sepenuhnya stabil, khususnya sektor ritel.

Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) juga menyuarakan hal serupa. Mereka khawatir daya beli masyarakat akan semakin melemah.

Tidak hanya ritel, sektor manufaktur pun merasakan ancaman. Kenaikan PPN akan memengaruhi harga barang yang pada akhirnya berdampak pada penjualan.

Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan Indonesia (Asrim) bahkan memprediksi lonjakan harga produk minuman. Beban pajak tentu akan berpindah ke konsumen.

Saya bisa membayangkan dampaknya. Harga minuman ringan yang naik Rp 500 hingga Rp 1.000 bisa mengubah kebiasaan konsumsi masyarakat.

Kebijakan pajak memang selalu menjadi dilema. Di satu sisi, negara membutuhkan pendapatan tambahan. Di sisi lain, dampaknya terhadap ekonomi tidak bisa diabaikan.

Peningkatan tarif PPN ini memang bagian dari Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, situasi ekonomi harus menjadi pertimbangan utama.

Ekonomi Indonesia saat ini sedang berusaha pulih. Banyak usaha kecil yang baru mulai bangkit dari keterpurukan akibat pandemi.

Sebuah kebijakan pajak yang tidak tepat waktu dapat membuat mereka kembali terpuruk. Daya beli yang melemah hanya akan memperpanjang masa pemulihan.

Berdasarkan data Bank Indonesia, indeks penjualan ritel memang menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Penurunan terus terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

Kenaikan tarif PPN jelas akan menambah tekanan. Ketika barang menjadi mahal, konsumen akan menunda pembelian, atau bahkan mengurangi konsumsi.

Jika konsumen berhenti membeli, roda ekonomi akan melambat. Itu hukum dasar ekonomi yang tidak bisa diabaikan.

Pemerintah tentu menyadari hal ini. Namun, mungkin mereka terjebak antara kebutuhan pendapatan negara dan tekanan ekonomi global.

Pertanyaan yang perlu dijawab adalah: apakah ini waktu yang tepat untuk menaikkan PPN? Apakah manfaatnya sepadan dengan risikonya?

Bagi pelaku usaha, waktu adalah segalanya. Ketidakpastian adalah musuh utama bisnis, terlebih saat ekonomi belum stabil.

Jika pemerintah ingin melindungi perekonomian, ada baiknya kebijakan ini ditunda. Setidaknya hingga ekonomi benar-benar pulih.

Penundaan ini akan memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk beradaptasi. Mereka butuh waktu untuk merencanakan strategi menghadapi beban pajak tambahan.

Selain itu, pemerintah perlu mencari alternatif lain untuk meningkatkan pendapatan negara. Kreativitas dalam kebijakan fiskal sangat dibutuhkan saat ini.

Misalnya, mengoptimalkan penerimaan pajak dari sektor digital. Potensi dari transaksi digital masih belum sepenuhnya digali.

Atau, memperbaiki efisiensi pengelolaan anggaran. Mengurangi pemborosan bisa menjadi sumber pendapatan negara yang tak kalah besar.

Yang jelas, kenaikan PPN saat ini bukan solusi yang ideal. Beban pajak tambahan hanya akan memperlambat pemulihan ekonomi.

Masyarakat butuh kebijakan yang mendukung daya beli. Pelaku usaha butuh kepastian agar bisa terus berkembang.

Pemerintah, tentu saja, butuh pendapatan untuk menjalankan roda negara. Namun, semuanya harus dilakukan dengan bijak.

Dialog antara pemerintah dan pelaku usaha bisa menghasilkan solusi terbaik. Kita tidak perlu tergesa-gesa dalam membuat keputusan.

Kebijakan ekonomi, pada akhirnya, harus berpihak kepada rakyat. Dan rakyat butuh ekonomi yang stabil untuk bisa bertahan.

Kenaikan PPN ini adalah ujian bagi pemerintah. Apakah mereka akan mendengarkan suara pengusaha? Atau tetap maju dengan kebijakan yang bisa membawa risiko besar?

Kita tunggu keputusan mereka. Harapannya, keputusan itu diambil dengan pertimbangan yang matang, demi kebaikan bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun