Jepang, negara yang digadang-gadang sebagai salah satu raksasa ekonomi dan inovasi dunia, ada cerita yang jarang diperdengarkan. Di balik layar gemerlap kemajuan teknologi, ada sisi gelap masyarakat yang hidup dalam keterasingan. Fenomena ini disebut "hikikomori." Bayangkan seseorang yang memilih untuk mengunci diri dalam kamar selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, enggan menghadapi dunia luar. Mereka adalah para hikikomori, potret generasi yang hilang, orang-orang yang bahkan lupa bagaimana rasanya tersenyum pada orang lain.
Di balik pintu-pintu kamar yang tertutup rapat, para hikikomori menjalani hidup yang sunyi. Mereka tidak berangkat kerja, tidak berinteraksi, bahkan jarang sekali keluar dari kamar. Di kamar itulah mereka menghabiskan waktu, terjebak dalam rutinitas tanpa arah. Banyak dari mereka adalah pemuda-pemudi yang seharusnya memiliki masa depan cerah, namun justru terperangkap dalam kesendirian. Jepang mungkin berpikir bahwa kemajuan teknologi adalah segalanya, tetapi jutaan hikikomori yang tersembunyi di balik dinding-dinding kamar membuktikan sebaliknya.
Kementerian Kesehatan Jepang mencatat pada 2019 ada sekitar 1,15 juta orang yang hidup sebagai hikikomori. Angka ini tentu bukan sekadar statistik, melainkan sebuah alarm tentang betapa seriusnya masalah keterasingan ini. Mereka yang seharusnya menjadi bagian dari angkatan kerja produktif justru memilih untuk mengurung diri. Ekonomi Jepang menderita akibat mereka yang memilih jalan hikikomori ini, kehilangan potensi yang sangat dibutuhkan di tengah krisis tenaga kerja. Bank of Japan memperkirakan bahwa kerugian akibat fenomena ini mencapai miliaran dolar setiap tahun, karena mereka yang seharusnya bekerja dan berkontribusi malah bersembunyi dari dunia.
Para hikikomori, mereka mungkin tidak menyadari, tapi mereka adalah produk dari masyarakat yang menuntut kesempurnaan tanpa menawarkan dukungan emosional. Di Jepang, kesuksesan adalah segalanya. Ketika seseorang gagal, seolah-olah satu-satunya pilihan adalah menyembunyikan diri, berharap dunia lupa akan keberadaan mereka. Stabilitas ekonomi dianggap sebagai ukuran utama kesuksesan, dan mereka yang gagal mencapainya tidak lebih dari beban.
Di balik itu semua, ada beban sosial yang harus ditanggung keluarga. Para hikikomori sering kali masih tinggal bersama orang tua mereka, bahkan hingga usia dewasa. Problem 8050 adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana orang tua yang sudah berusia 80-an masih harus merawat anak-anak mereka yang sudah berusia 50-an, yang terjebak dalam kehidupan hikikomori. Mereka yang seharusnya menikmati hari tua justru dihadapkan pada tanggung jawab yang semakin berat. Kecemasan tak berujung menghantui mereka: apa yang akan terjadi pada anak-anak ini setelah mereka tiada?
Kesehatan mental adalah masalah lain yang menghantui para hikikomori. Mereka hidup dalam tekanan dan keterasingan, yang sering kali memicu depresi dan gangguan kecemasan. Studi dari Kyoto University menunjukkan bahwa sebanyak 70% dari para hikikomori mengalami masalah kesehatan mental yang serius. Namun, mencari bantuan bukanlah pilihan mudah. Dalam masyarakat yang menganggap kesehatan mental sebagai hal yang tabu, menerima perawatan sering kali dianggap sebagai tanda kelemahan. Maka, mereka lebih memilih berdiam diri, membiarkan luka batin semakin dalam.
Dan dalam kesendirian itu, banyak dari mereka yang akhirnya menyerah pada kodokushi --- kematian dalam kesendirian. Kodokushi adalah fenomena di mana seseorang meninggal dalam isolasi, tanpa ada yang menyadarinya hingga beberapa waktu kemudian. Di Tokyo, tercatat lebih dari 4.000 kasus kematian seperti ini setiap tahun. Ini bukan sekadar angka; ini adalah bukti nyata dari ikatan sosial yang semakin lemah di tengah masyarakat Jepang. Di tengah gemerlap kehidupan kota, kodokushi adalah kematian yang sunyi, tak terdengar, tenggelam dalam hiruk-pikuk yang seolah tak peduli.
Tekanan untuk selalu sukses, budaya malu, dan ekspektasi yang tak kenal ampun adalah bahan bakar yang memperparah fenomena hikikomori. Sejak kecil, anak-anak di Jepang dipaksa untuk berprestasi di lingkungan yang penuh kompetisi. Ujian demi ujian harus dilalui, dan kegagalan dianggap sebagai aib. Budaya malu yang sangat kuat ini membuat mereka yang gagal merasa lebih baik menghilang daripada menghadapi cibiran dan sorotan.
Bahkan di sekolah, ijime atau perundungan sering kali menjadi akar dari fenomena hikikomori. Tahun 2020, tercatat lebih dari 612.000 kasus perundungan di sekolah-sekolah Jepang. Banyak dari para hikikomori adalah korban dari perundungan yang tidak pernah sembuh dari trauma. Mereka yang pernah dipermalukan oleh teman-temannya memilih mengurung diri, menghindari risiko terluka lagi di dunia luar. Di dalam kamar yang sepi itu, mereka merasa aman, meski kesendirian itu perlahan membunuh mereka.
Hikikomori bukan hanya masalah individu, tetapi juga cerminan dari masyarakat Jepang yang gagal memberikan dukungan bagi warganya yang paling rentan. Ini adalah sinyal bagi pemerintah dan masyarakat untuk membuka mata dan melihat bahwa mereka butuh lebih dari sekadar teknologi canggih. Dukungan emosional dan perhatian pada kesehatan mental sangat dibutuhkan untuk membantu para hikikomori keluar dari keterasingan. Jepang mungkin unggul dalam ekonomi dan teknologi, tetapi kegagalannya dalam menyediakan ruang bagi mereka yang berbeda, yang rentan, adalah sesuatu yang perlu direnungkan.