Mohon tunggu...
Moeh Zainal Khairul
Moeh Zainal Khairul Mohon Tunggu... Konsultan - Penjelajah

Tenaga Ahli Pendamping UKM Dinas Koperasi dan UKM Kota Makassar 2022 dan 2023 Coach Trainer Copywriting LPK Magau Jaya Digital

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Review Film Uang Panai 2

13 Agustus 2024   15:23 Diperbarui: 13 Agustus 2024   15:38 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah uang dapat membeli cinta? Atau justru tradisi uang panai dan status sosial menjadi penghalang cinta sejati?

Pertanyaan inilah yang menjadi inti dari "Uang Panai 2," sebuah film yang menggali lebih dalam tentang tradisi pernikahan Bugis Makassar yang kaya akan makna namun penuh tantangan. Dengan sentuhan komedi yang segar dan drama emosional yang mendalam, film ini berhasil membawa penonton ke dalam dilema yang dihadapi oleh mereka yang terjebak antara cinta dan tradisi. 

"Uang Panai 2" adalah kelanjutan dari cerita yang penuh warna dari film pertamanya, membawa kita kembali ke dunia tradisi pernikahan Bugis Makassar yang sarat dengan adat dan nilai-nilai budaya. Film ini meneruskan kisah setelah Ancha dan Risna akhirnya bersatu berkat bantuan dalam urusan uang panai, sebuah tradisi yang mengharuskan calon mempelai laki-laki untuk memberikan sejumlah uang kepada keluarga mempelai perempuan sebagai bentuk komitmen. Kali ini, cerita berfokus pada usaha Tumming, Abu, dan Ancha yang memulai jasa konsultan uang panai, membantu para pria yang kesulitan dalam memenuhi tuntutan uang panai dari keluarga calon istri.

Klien pertama mereka adalah Iccang, seorang pria yang sedang dihadapkan pada tantangan besar dalam hubungannya dengan Icha, kekasihnya yang baru saja menjadi dokter spesialis. Iccang menyadari bahwa status profesional Icha mungkin mempengaruhi besaran uang panai yang harus disiapkannya. Meskipun Icha sendiri tidak menuntut nominal tertentu, Iccang mencoba mencari tahu melalui internet dan berkesimpulan bahwa uang panai yang pantas untuk calon istri seorang dokter bisa mencapai Rp200 juta. Saat angka ini disampaikan kepada ibu Icha, tanggapannya justru membuat Iccang semakin tertekan, karena ibu Icha berpendapat bahwa angka tersebut bahkan bisa lebih tinggi.

Dilema yang dihadapi Iccang mengungkapkan kompleksitas emosi dan ekspektasi yang sering kali melingkupi tradisi uang panai. Meskipun Iccang dan Icha saling mencintai, tekanan dari keluarga dan rasa rendah diri mulai menggerogoti hubungan mereka. Iccang merasa bahwa ia berjuang sendirian untuk memenuhi tuntutan tersebut, sementara ibu Icha justru menunjukkan ketidaksukaan terhadap dirinya. Konflik ini membawa Iccang ke titik terendah dalam hidupnya, di mana ia merasa kelelahan secara emosional dan finansial.

Namun, di balik kesulitan ini, Tumming dan Ancha terus berusaha membantu Iccang mengumpulkan uang panai. Perjuangan mereka penuh dengan liku-liku, menghadirkan berbagai situasi yang tak terduga dan menguji kesabaran semua pihak yang terlibat. Komedi yang dibawa oleh Tumming dan Abu tetap menjadi elemen penting dalam film ini, menghadirkan momen-momen yang menghibur di tengah-tengah ketegangan cerita.

Sebagai film yang berakar pada budaya lokal, "Uang Panai 2" dengan cermat menggambarkan bagaimana tradisi uang panai serta status sosial calon mempelai wanita dapat menjadi beban emosional yang berat, tetapi juga bagaimana cinta dan kesetiaan dapat menjadi kekuatan pendorong yang luar biasa. Film ini menawarkan pandangan mendalam tentang bagaimana tekanan sosial dan ekspektasi keluarga dapat mempengaruhi hubungan, terutama ketika tradisi seperti uang panai menjadi faktor penentu dalam proses pernikahan.

Namun, meskipun komedi yang dihadirkan oleh Tumming dan Abu sangat menghibur, film ini masih menunjukkan kelemahan dalam pengembangan karakter-karakter pendukung lainnya. Beberapa karakter terasa kurang hidup dan gagal memberikan dampak komedi yang seimbang, yang sedikit mengurangi kekuatan narasi.

Dari segi sinematografi, film ini menunjukkan peningkatan kualitas dibandingkan dengan film pertamanya. Pengambilan gambar yang lebih matang dan setting yang autentik membantu penonton untuk lebih merasakan atmosfer budaya Bugis Makassar. Namun, editing film ini kadang terasa kurang halus, terutama dalam transisi antaradegan yang bisa sedikit mengganggu alur cerita. Musik latar yang digunakan cukup efektif dalam mendukung suasana, meskipun ada beberapa momen di mana scoring terasa kurang menonjol.

Pesan moral dari Ustad Das'ad Latif tentang pentingnya menyegerakan pernikahan ketika ada lelaki yang baik datang melamar, sekali lagi menjadi salah satu momen kunci yang memberikan kedalaman pada cerita. Ini adalah pengingat bagi penonton bahwa di balik tradisi dan tekanan sosial, terdapat nilai-nilai yang lebih tinggi yang perlu dijunjung.

Secara keseluruhan, "Uang Panai 2" adalah film yang menghibur dengan pesan budaya yang kuat, layak ditonton bagi mereka yang ingin menyelami tradisi Bugis Makassar dengan cara yang menghibur namun tetap reflektif. Dengan sedikit perbaikan dalam pengembangan karakter dan keseimbangan komedi, film ini bisa mencapai potensi penuhnya. Saya memberikan nilai 8/10 untuk "Uang Panai 2" dan berharap sekuel berikutnya akan mampu menghadirkan cerita yang lebih mendalam dan karakter yang lebih kaya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun