Mertua Mira, Bu Jumi, juga menambah konflik dengan selalu meragukan keputusan menantunya. "Mira, kamu ini sudah punya anak, harusnya kerja yang benar, bukan cuma ngurusin tanaman di pekarangan. Kalau suamimu tidak bisa cari nafkah yang cukup, kamu harusnya bantu lebih banyak," kritiknya tajam.
"Bu, saya sudah mencoba berbagai cara. Tapi saya percaya berhemat adalah langkah awal yang penting," jawab Mira dengan sabar, meski hatinya terasa terbakar. Namun, Bu Jumi tidak pernah puas. "Coba lihat keluarga Joko, mereka bisa hidup lebih baik. Apa kamu tidak malu?"
Meskipun begitu, Mira tak pernah menyerah. Di malam yang sunyi, dia kembali ke meja makannya dengan secarik kertas dan pena, mencatat setiap rupiah yang keluar dan masuk. "Aa, kita harus tetap berhemat. Rezeki memang sudah ada yang ngatur, tapi kita juga harus pintar mengatur apa yang kita punya."
Waktu berjalan, dan perlahan tapi pasti, usaha Mira mulai menunjukkan hasil. Mereka tidak lagi harus meminjam uang dari tetangga setiap kali ada kebutuhan mendadak. Anak-anak mereka pun mulai belajar untuk hidup sederhana dan tidak meminta barang-barang yang tidak perlu. Bahkan, mereka bisa menabung sedikit demi sedikit untuk masa depan.
Suatu sore, Dedi pulang dengan senyum lebar di wajahnya. "Neng, Aa dapat pekerjaan tetap di pabrik sebelah. Gajinya lumayan," katanya dengan penuh semangat. Mira merasa seperti mendapat angin segar di tengah terik matahari. "Alhamdulillah, Aa. Tapi jangan lupa, kita harus tetap berhemat. Jangan sampai kita kembali ke masa-masa sulit lagi."
Malam itu, mereka duduk bersama di meja makan, merencanakan masa depan dengan lebih optimis. Mira tahu, jalan masih panjang dan penuh tantangan. Namun, dengan berhemat dan mengelola keuangan dengan bijak, mereka yakin bisa menghadapi apapun yang datang. Bagaimanapun, hemat adalah pangkal kaya, dan di tengah ketidakpastian hidup, itulah pelajaran berharga yang mereka pegang teguh.
Beberapa bulan kemudian, ketika Bu Jumi datang berkunjung, dia melihat perubahan nyata dalam kehidupan keluarga Mira. Rumah yang lebih rapi, anak-anak yang terlihat lebih sehat, dan suasana yang lebih damai. "Mira, ternyata usahamu tidak sia-sia. Maafkan Ibu yang selama ini meragukanmu," kata Bu Jumi dengan mata berkaca-kaca.
Mira tersenyum, merasakan beban yang selama ini menghimpit hatinya perlahan-lahan terangkat. "Tidak apa-apa, Bu. Semua ini berkat kerja keras kita bersama dan keyakinan bahwa kita bisa mengubah keadaan."
Tetangga-tetangga yang dulu mencibir kini mulai mengikuti jejak Mira dalam berhemat. Mereka mulai menanam sayuran di pekarangan, memanfaatkan sumber daya dengan lebih bijak, dan berhenti mengejek. Mereka melihat hasil nyata dari usaha keras dan ketekunan Mira.
Mira memandang suaminya dengan penuh cinta dan rasa syukur. "Aa, kita mungkin tidak bisa mengontrol berapa banyak rezeki yang datang. Tapi, kita bisa mengontrol bagaimana kita menggunakannya. Itu yang membuat kita kuat. Itu yang membuat kita kaya." Dan dengan tekad bulat, mereka melangkah maju, bersama-sama menghadapi masa depan yang penuh harapan.
Dan begitulah, di tengah kampung yang kecil, di rumah sederhana mereka, Mira dan Dedi membuktikan bahwa dengan berhemat, mereka bisa mengubah hidup mereka. Mereka menjadi inspirasi bagi orang-orang di sekitarnya, menunjukkan bahwa di tengah ketidakpastian hidup, selalu ada cara untuk bertahan dan menjadi lebih baik. Hemat memang adalah pangkal kaya, dan di tangan orang-orang yang bijak, kekayaan itu tidak selalu diukur dengan harta, tetapi dengan kebahagiaan dan kedamaian yang mereka ciptakan.