Di sebuah kampung kecil, hidup seorang ibu rumah tangga bernama Mira yang setiap harinya bergulat dengan kenyataan hidup yang keras. Seperti layaknya pejuang, Mira selalu berusaha untuk memastikan kebutuhan keluarganya terpenuhi meski dengan segala keterbatasan. Suaminya, Dedi, seorang buruh harian lepas, sering kali pulang dengan wajah lesu tanpa membawa kabar baik soal pekerjaan. Kadang ada, kadang tiada, rezeki memang tidak pernah bisa dipastikan.
Suatu hari, ketika sedang menunggu suaminya pulang, Mira duduk di teras rumah sembari menatap hamparan sawah di depannya. Angin sore yang sepoi-sepoi tidak mampu menghalau kegelisahan yang menggelayut di pikirannya. "Kita tidak bisa terus begini," gumamnya. "Tidak ada yang bisa menjamin pemasukan kita, tapi setidaknya, pengeluaran itu bisa kita kontrol, bukan?"
Mira teringat nasihat almarhum neneknya yang selalu menekankan pentingnya berhemat. "Hemat adalah pangkal kaya, Nak," suara neneknya terdengar jelas di telinga Mira. Kata-kata itu seperti mantra yang selalu mengingatkannya untuk berhati-hati dalam mengelola keuangan. Meskipun hidup dalam kondisi serba kekurangan, Mira bertekad untuk membuat perubahan kecil demi masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Di malam yang sunyi, ketika Dedi sudah tertidur setelah seharian bekerja keras, Mira duduk di meja makan dengan secarik kertas dan pena di tangannya. Ia mulai mencatat semua pengeluaran harian mereka, dari kebutuhan pokok hingga hal-hal kecil yang sering kali dianggap remeh. "Mulai sekarang, kita harus lebih disiplin," bisiknya kepada dirinya sendiri.
Namun, ketekunan Mira tidak selalu mendapat sambutan baik dari Dedi. Suatu malam, setelah pulang dari bermain kartu dengan tetangganya, Dedi menemukan Mira sibuk menghitung sisa uang belanja. "Neng, ngapain sih ngitung-ngitung terus? Hidup ini udah susah, jangan bikin tambah pusing!" Mira menoleh dengan sabar, meski hatinya sedikit tersulut. "Aa, ini demi kebaikan kita. Kalau kita tidak hati-hati, kita bisa jatuh ke lubang yang lebih dalam."
"Ya, tapi hidup ini harus dinikmati, bukan cuma dihitung-hitung! Aa juga mau punya waktu buat bersenang-senang, bukan cuma mikirin uang terus," jawab Dedi dengan nada frustrasi.
Tetangga-tetangga mereka juga tidak selalu simpatik. "Dedi itu tidak bertanggung jawab, Mira yang terlalu keras. Mereka itu pasangan yang tidak cocok," komentar salah satu tetangga. Mira menelan kekecewaannya dan berusaha lebih keras lagi untuk menjaga agar keluarganya tetap bertahan.
Ketegangan semakin memuncak ketika Dedi, dengan nada sinis, berkata, "Neng, Aa baru dengar dari tetangga, si Joko mau beli motor baru. Dia bilang dia juga buruh, tapi kok bisa ya? Mungkin karena istrinya nggak ngatur-ngatur seperti kamu."
Mira terdiam, mencoba menahan amarahnya. "Aa, kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu rumah orang lain. Mungkin mereka berhutang, mungkin mereka punya cara lain. Yang penting kita tetap pada prinsip kita."
Satir tajam mencuat dari situasi sehari-hari mereka. Ketika Mira berusaha menanam sayuran di pekarangan, tetangganya mengejek, "Wah, sudah jadi petani sekarang? Jangan lupa, petani juga butuh modal."
Mira tersenyum getir, merasakan ironi di balik kata-kata itu. Di saat banyak orang berlomba-lomba menghabiskan uang untuk barang-barang mewah, Mira hanya berusaha menanam benih harapan di tanah yang keras.